14. Sedih Dan Rasa Takut

1520 Kata
Di Perancis, Aris sudah bersiap akan pulang ke tanah air setelah beberapa minggu berada di negeri orang demi pendidikan. Aris mengecek semua barangnya agar tak ada yang ketinggalan. "Ada tuh ris yang lo tinggal," ucap Arif yang sedang duduk santai. Ia lebih dulu selesai di bandingkan yang lain karena bangun lebih awal. Aris menoleh menatap Arif bingung. "Apanya yang gue tinggal?" "Rindu lo sama Allisya ketinggalan," jawab Arif tersenyum menggoda. Aris hanya menggeleng heran. Ada-ada aja gombalannya. "Udah selesai semua kan?" tanya Javas memastikan. "Kalau ada yang ketinggalan atau rindunya ambil aja sendiri nanti gak usah balik lagi," ujarnya galak. "Pagi-pagi lo udah marah aja jav. Slow dong yang sabar," sahut Arif. Ia tau Javas belum sarapan makannya jadi marah-marah. *** Di dalam pesawat, Aris kali ini duduk dengan Arif sedangkan Javas memilih sendiri. Entah kenapa cowok itu marah di pagi hari ini. "Kangen banget pingin ketemu Allisya," ucap Aris dengan nada sedihnya. Ia sangat merindukan gadisnya itu. "Bentar lagi juga lo bakalan ketemu sama Allisya. Sabar aja ris, rindu itu pasti terobati," Arif menenangkan. Bukan Aris saja yang merindukan pujaan hati, ia juga rindu dengan Kaila. Gadis periang dengan sejuta perhatiannya. "Gue pingin peluk Allisya lama. Rif, kapan kita sampai ke Indonesia?" Aris tak sabar, rasanya seperti bertahun-tahun menahan rindu dengan Allisya-nya. "Ya ampun ris masih lama. Kurang 10 jam lagi. Lo tidur aja deh nanti gue bangunin kalau sampai," Arif mengerti Aris begitu mencintai Allisya sampai tak mau berpisah sejauh ini kalau bukan karena tugas kuliah. Aris mengangguk. Mungkin dengan tidur ia bisa bermimpi dengan Allisya. Pikirannya sedikit tenang. *** Allisya di hari Sabtu ini berada di rumah dengan memakan camilan dan duduk di depan TV bersama sang mama. Ayahnya seperti biasa kerja pagi pulang malam. Sesibuk apapun tapi berkumpul di pagi harinya saat sarapan saja sudah cukup bagi Allisya. "Mama itu aku belum nyobain jajan daritadi. Sini ma, aku laper banget," Allisya berusaha menggapai jajan ciki dari tangan Selena yang telah memegang kekuasaan makan camilan. Selena menggeleng dan menjauhkan jajan ciki dari Allisya. "Kamu gak boleh makan yang ini sya. Nanti batuk lagi. Mending-" Selena memberikan roti tawar yang harganya dua ribuan pada Allisya. "Ini aja biar kamu kenyang makan roti," Selena tersenyum senang. Pasti Allisya menahan rasa kesalnya sekarang. Tak apa, asalkan Allisya tetap sehat dan menjaga pola makannya. Hanya itu yang Selena mau. "Mama ih. Gak mau makan apa-apa. Gak jadi laper udah kenyang aku," Allisya cemberut, salah sendiri mamanya itu melarang jajanan kesukaannya. "Pemirsa telah terjadi kecelakaan sebuah pesawat dengan tujuan Perancis-Indonesia pada pukul 2 siang. Saat ini-" Allisya tediam. Sekujur tubuhnya tiba-tiba kaku tak bisa bergerak. Pesawat tujuan Perancis-Indonesia? Bukankah itu yang di gunakan Aris untuk pulang? Dan cowok itu tak mengabarinya jika akan pulang ke tanah air. "Sya? Kok diem?" Selena melambaikan tangannya di depan wajah Allisya yang sedang melamun itu. "Hei! Jangan ngelamun gitu ah. Mama siram air mau?" Allisya tersadar, kedua matanya berkaca-kaca. Apakah berita itu hanyalah mimpi dan bohong semata? Jika mimpi, Allisya ingin bangun sekarang juga dan semua itu tidaknya nyata! "Mama. Itu beritanya gak pernah bohong kan? Prank gak ma?" tanya Allisya tersenyum hambar. Tatapannya sendu tak ada harapan lagi. Kecelakaan pesawat seperti itu dalam pikirannya adalah tidak ada yang selamat. Apakah Aris termasuk juga? Selena menatap layar TV tersebut yang menampilkan berita tentang jatuhnya pesawat Lion Air dengan keterangan Perancis-Indonesia. Dan di pikiran Selena hanya satu, Aris yang pulang ke tanah air. Aris? "Sya? Sini mama peluk. Kamu nangis aja," Selena mendekap Allisya, menguatkan anaknya itu. Pasti begitu terpukul mendengar kabar duka ini. Selana hanya berharap semoga Aris baik-baik saja mekispun sangat sulit kemungkinan akan selamat. Allisya menangis dengan perasaan yang begitu sesak. Berita itu seperti mimpi di siang bolong. Baru saja kemarin ia saling bertukar kabar dengan Aris, bahkan tak lupa video call untuk melihat wajah tampan yang Allisya rindukan itu. Hampa, sepi, dan merasakan kesendirian. Itulah yang Allisya rasakan ketika Aris mengalami musibah. "Ma, kak Aris bakalan sehat kan?" Allisya mendongak menatap wajah sang mama dengan memelas. Selena mengangguk, meskipun ia tidak tau ke depannya nanti Aris akan selamat atau tidak. Hanya Tuhan yang berkehendak. "Kamu pasti kuat sya. Mama akan bantu doa." Sedangkan Zahra menagih uang tambahan kepada Luna namun ketua bos angkuhnya itu justru tidak mau tak bisa di tawar. "Enak aja lo minta nambah. Itu gak cukup 10 juta? Gak bersyukur banget sih," Luna bersidekap d**a. Pandangannya menatap jendela yang menampilkan panorama indah kota Jakarta dengan segala kesibukan-nya. "Gak cukup? Itu bonusnya! Gue udah susah-susah nelepon pihak luar negeri buat sabotase pesawatnya dengan bahasa Perancis yang susah banget sampai lidah gue keseleo," keluh Zahra kesal. Memangnya bahasa asing itu mudah? Dalam sehari saja ia mempelajari bahasa Perancis demi hal itu. Luna tersenyum miring berbalik menatap Zahra. "Itu sih derita lo. Emang gue pikirin?" langkah Luna berlalu pergi. "Awas aja! Kalau suatu saat lo di tangkap karena kelakuan busuk dan jahat lo itu, gue gak mau ikut campur!" Zahra benar-benar frustasi. Luna menghela nafasnya. Memangnya Zahra bisa mengungkap segala kedok kejahatan-nya? Tak ada bukti, ia masih aman. "Sok-sokan mau jeblosin gue ke penjara. Yang ada lo duluan Zahra," gumam Luna. Terlanjur kesal dengan anak buah satunya itu yang susah diatur. *** Kabar pesawat jatuh itu juga diketahui oleh Kaila dan Aqila meskipun hanya melalui radio di sebuah kafe. Kaila seketika lemas dan selera makannya hilang, sedangkan Aqila masih melamun tak percaya. Itu berarti semuanya termasuk Aris. Entah bagaimana dengan kondisi Allisya. Aqila baru sadar. "Kai? Kita ke rumah Allisya yuk? Gue takut dia kenapa-napa kalau tau berita ini." Kaila menggeleng lemah. "Lo aja yang kesana. Gue mau sendiri dulu," Kaila beranjak dari duduknya dan berlalu pergi. Ia harus menenangkan pikirannya. Pasti Arif akan baik-baik saja. Hanya itu, cowok yang memberikannya kebahagiaan sedikit meskipun lebih banyak berselisih karena mantan di masa lalunya yang gila itu. Tapi Kaila tetap mencintai Arif apa adanya. Saat di rumah Allisya, Aqila tak bisa bertemu dengan sahabatnya itu setelah Selena mengatakan bahwa Allisya perlu istirahat karena kondisinya melemah setelah pingsan. "Allisya pasti syok banget ya?" Selena mengangguk. "Padahal tadi pagi seneng-seneng nonton TV sama makan jajan tapi berita itu bikin Allisya syok dan nangis," Selena tak bisa menyembunyikan raut kesedihannya itu. Aris adalah laki-laki pilihannya yang pas untuk menggantikan Allister sebagai penjaga Allisya sekaligus memberikan kenyaman dan tempat pulang suatu saat nanti. Namun jika sudah takdir berkata lain, mau tidak mau Selena menerima hal ini dengan lapang d**a. Hanya rencana Tuhan. "Kamu pulang aja ya? Udah mau malem." Dan Aqila juga merasakan kesedihan itu. Javas, adalah laki-laki yang memberinya kebahagiaan meskipun cowok itu memiliki sifat dingin dan kaku. Menurutnya Javas itu tulus dan tak pernah berpaling sedikit pun darinya demi wanita lain yang cantik dan sempurna. Aqila harap Javas akan kembali dengan sehat dan bisa membuatnya tersenyum lagi. *** Allisya tak kunjung sadar meskipun sudah pingsan selama 2 jam. Ya, Selena hanya berbohong pada Aqila bahwa Allisya hanya istirahat tapi sebaliknya pingsan. Allister juga tau berita itu. "Apa keluarga Aris udah-" "Udah yah. Mereka sekarang berada di rumah sakit. Untung aja semua korban ketemu dan gak ada yang hilang," jawab Selena cepat. "Semoga keluarga Aris di berikan kekuatan ya ma?" Selena hanya mengangguk tak menjawab. *** Di rumah sakit, Inez yang baru saja sembuh dari koma dan masa kritis itu kembali melemah kondisinya setelah Andre memberitahukan bahwa Aris sedang mengalami musibah kecelakaan. Andre hanya menunggu Inez kembali sadar. Ini salahnya, tak seharusnya ia memberitahukan hal ini pada Inez agar istrinya itu sehat dan pulih seperti sedia kala. "Maafin aku. Lebih baik kamu gak perlu tau," Andre sangat menyesalinya. Ia menunduk menangis. Aris adalah anak satu-satunya. Rasa takut tak ingin kehilangan, hanya Aris harta paling berharganya daripada materi. Aris itu sumber kebahagiaannya. Andre sangat bangga dengan prestasi Aris hingga bisa ke Perancis untuk pertukaran mahasiswa. Namun saat pulang ke tanah air tidak selamat. Kondisi Aris belum diketahui secara pasti karena semua korban baru saja di evakuasi. "Ma, aku cuma mau Aris hidup. Bukan meninggal," rintih Andre tanpa suara. Tenggorokannya terasa serak, rongga dadanya sangat sesak. "Aku mau kita kumpul lagi dan bahagia kayak dulu. Andai aja aku selalu jaga kalian berdua dan gak terlalu sibuk sama kerja," Andre merasa bersalah, akhir-akhir ini sangat jarang memperhatikan Inez dan Aris. Dunia kerja mengalihkannya dari keluarga. "Bahkan anak kita jadi pelampiasan balas dendam sama orang yang gak punya hati. Dia seumuran sama Aris ma. Benci, dan demi uang. Aku gak habis pikir sama dia," Andre jadi teringat Zahra, entahlah bagaimana kabar gadis itu setelah ia kunci di rumah kosong yang berada di tengah hutan belantara tak berpenghuni. Jika kabur maka akan berulah lagi. "Aku akan cari tau kenapa bisa kecelakaan seperti ini. Aku janji, kalau ini emang murni karena kesalahan teknis atau yang lain itu masuk akal. Tapi kalau Aris yang pulang dan itu kayak kebetulan menurut aku gak masuk akal," Andre tak bisa di bohongi. Ia akan mencari tau di balik misteri ini. Jika pesawat lain mengapa masih selamat bahkan sampai tujuan tidak ada terjadi hal apa-apa? Sedangkan tujuan Perancis-Indonesia sebaliknya. Menurut Andre ini pasti sudah di rencanakan namun ia belum tau siapa di balik ini semua. Dan Andre sangat yakin pasti ada hubungannya dengan gadis yang bernama Zahra itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN