Ada beberapa hal di dunia ini yang lebih baik disimpan untuk dirimu sendiri dan tak perlu dibagikan kepada orang lain karena belum tentu mereka yang mengetahuinya bisa ikut bahagia ataupun menerima kebenaran yang kau simpan dengan baik itu. Terkadang, menyembunyikan perasaan ataupun kebenaran adalah pilihan yang tepat untuk melindungi hatimu sendiri dari rasa sakit akan penolakan ataupun cemooh mereka yang tak bisa menerima perasaanmu. Pada akhirnya, rasa yang tak diinginkan tak perlu kau pamerkan pada siapa pun. Kau tak mungkin bisa memaksakan orang lain untuk mengerti ataupun menerima perasaanmu. Jadi yang bisa kau lakukan adalah menyimpan rahasia itu untuk dirimu sendiri dan bersandiwara.
Cantika segera memeriksa pakaian yang baru saja tiba. Ia memastikan ulang tentang jumlah dan juga kualitas produk sebelum memamerkan pakaian-pakaian baru itu di dalam butiknya. Cantika memulai bisnis ini setelah dirinya lulus kuliah. Ia diberikan modal oleh ayahnya agar perempuan itu tak harus bekerja dengan orang lain. Ayahnya tak ingin bila putri tunggalnya itu harus diperintah. Begitu besar cinta ayahnya tersebut pada Cantika dan perempuan itu tahu benar bila ayahnya pun berpikir Tian adalah pria yang akan menjaganya dengan baik. Ketika tahu Cantika jatuh cinta pada Tian, pria itu berusaha untuk mewujudkan keinginan cantika. Namun sayang, tak semua yang Cantika inginkan akan berdampak baik bagi dirinya sendiri. Sayangnya, ayahnya tak tahu bila Cantika menderita dalam pernikahan itu.
“Putri Papa bekerja dengan sangat keras,” Suara dalam seorang pria membuat Cantika menghentikan kegiatannya dan langsung membalik tubuhnya ke sumber suara. Ia tersenyum saat menemukan ayahnya yang segera membentangkan kedua tangannya. Tanpa menunggu lagi, Cantika segera berhamburan di dalam dekapan ayahnya itu. Ingin rasanya ia mencurahkan segala isi hatinya, akan tetapi ia tak bisa melakukan hal itu. Lidahnya terasa kelu dan ia tahu benar bila dirinya yang memutuskan untuk menikah dengan Tian. Cantika tak boleh menjadi anak manja yang membuat ayahnya itu mengkhawatirkan dirinya terus-menerus. Ia tak boleh terlihat lemah.
“Aku sangat merindukan Papa,” Ucap Cantika seraya melepaskan pelukannya, “Papa terlambat dalam acara minum teh kita pagi ini,” Cantika mengerucutkan bibirnya sembari melipat kedua tangannya di depan dadanya dan berpura-pura merajuk pada pria paruh baya itu.
Pria itu mengusap lembut puncak kepala putrinya. “Maafkan Papa, Sayang. Mamamu memasak omelet, roti bakar, dan juga sosis goreng. Dia membungkusnya untuk kita habiskan bersama,” Pria paruh baya itu menunjukkan kotak bekal makanan yang dibawanya pada Cantika, “Kata mamamu, kamu harus sarapan di rumah. Dia mulai cemburu pada papa yang selalu memulai pagi dengan menikmati teh hangat bersamamu. Dia sangat merindukanmu karena sejak menikah, kamu sudah jarang sekali main ke rumah. Diajak menginap pun susah,” Kali ini, pria paruh baya itu yang berpura-pura merajuk dengan mengerucutkan bibirnya, membuat Cantika tertawa dan segera memeluk lengan ayahnya itu. Cantika bukannya tak merindukan kedua orang tuanya ataupun ingin menghabiskan waktu bersama mereka berdua.
Permasalahan terbesarnya adalah Tian. Dirinya tak sanggup untuk terus berpura-pura terlihat seperti pasangan harmonis di depan orang tuanya. Ia tak mau menunjukkan senyum palsu dan menunjukkan bila pernikahannya begitu bahagia. Sebisa mungkin, Cantika ingin menghindari situasi di mana mereka dituntut untuk bersandiwara. Cantika takut bila pedih di dalam hatinya tak lagi bisa disembunyikan dan menyebabkannya mengatakan semua kebenaran yang pastinya tak ingin didengar oleh kedua orang tua yang mengira dirinya bahagia.
“Semua ini memang salah papa,” Keduanya mulai berjalan menuju ruangan Cantika, “Harusnya Papa mengajak mama ke butikku agar kita bisa menikimati teh bersama agar Mama nggak cemburu,” Cantika berpura-pura kesal. Ia tahu bila tak selamanya ia bisa menghindar untuk menginap di rumah kedua orang tuanya atau membiarkan mereka berdua menginap di rumahnya. Hanya saja, Cantika berusaha untuk tak terlalu sering melakukan hal itu. Lebih baik, kedua orang tuanya mengunjunginya di butik agar dirinya tak harus berusaha keras untuk terlihat bahagia. Lagipula, Tian sering sulit diajak bekerja sama bila suasana hatinya tidak baik. Pria itu lebih suka bila mereka masuk ke dalam kamar karena tak tahan untuk terus bersandiwara, membuat Cantika tak bisa menghabiskan banyak waktu bersama orang tua yang begitu dirindukannya. Oleh karena itu, Cantika tak suka bila mereka harus menginap.
“Harusnya, papa dan mama itu ditawari untuk mengunjungi rumahmu, bukan butikmu,” Pria itu mendengkus kesal yang membuat Cantika tertawa polos, mencoba menyembunyikan keenganannya untuk dikunjungi oleh kedua orang tuanya. Ia tak ingin kedua orang tuanya bisa mencium masalah di antara rumah tangganya dengan Tian. Ia takut mereka tahu kebenarannya.
Cantika membukakan pintu ruangannya dan mempersilahkan ayahnya untuk masuk ke dalam ruangan. Kemudian perempuan itu meminta asistennya untuk menyiapkan teh untuk mereka berdua seperti rutinitas keduanya. Setelah mendapatkan jawaban dari asisten yang tadi berdiri di samping pintu ruang kerjanya, Cantika ikut masuk ke dalam ruangannya dan bergabung dengan ayahnya yang sudah lebih dulu menempati sofa di dekat jendela besar yang ada di ruangannya. Pria itu tersenyum pada Cantika yang duduk di sofa depannya.
“Aku hanya berpikir kalau Papa dan Mama pasti nggak ada waktu untuk main ke rumah, makanya aku menawarkan kalian untuk datang ke butik ini,” Seperti biasa, Cantika harus memutar otak untuk mencari alasan agar kedua orang tuanya tak berkunjung ke rumah mereka, “Aku tahu kalau Papa dan mama itu sibuk banget. Butikku lebih dekat dari rumah kita, Pa. Lagipula, waktuku lebih banyak di butik dari pada di rumah. Tempat ini juga nyaman,” Lanjut Cantika dengan senyum manis di hadapannya. Perempuan itu berusaha untuk menunjukkan kebahagiaan yang tak lagi pernah dirasakannnya. Ia bahkan lupa bagaimana rasanya bahagia.
“Papa dan mama memang sibuk, tapi bukan berarti semua pekerjaan itu jauh lebih penting dari anak kami,” Pria itu tersenyum lembut, membuat hati Cantika berdesir hangat. Dirinya begitu beruntung. Di balik penderitaannya menjadi istri dari Tian, dirinya masih memiliki dua orang yang begitu mencintainya. Ayah dan ibu yang tak pernah lelah mendukung dan memberikannya begitu banyak cinta. Mereka berdua memperlakukannya bak putri raja, hingga Cantika pikir semua orang di sekitarnya pun akan memperlakukannya sama. Setidaknya, pria yang akan menjadi suaminya akan mencintainya sebesar cinta kedua orang tuanya. Namun semua mimpinya itu salah dan dirinya tak pernah mendapatkan cinta yang diinginkannya.
“Iya, Pa. Aku tahu itu,” Cantika tersenyum pada ayahnya, “Selama ini, Papa dan Mama memberikanku banyak cinta. Sedangkan, aku terlalu sibuk menikmati statusku sebagai seorang istri. Maafkan aku, Pa,” Cantika berkata dengan nada penuh penyesalan, membuat pria di hadapan Cantika segera menggenggam tangan Cantika yang berada di atas meja, “Aku belum bisa membalas budi kalian dan aku merasa menjadi anak yang nggak berguna,” Lanjut Cantika dengan mata berkaca-kaca. Selama ini, dirinya hanya menerima dan tak memberikan apa pun bagi kedua orang tuanya. Hal ini yang membuat Cantika tak ingin membuat orang tuanya semakin khawatir dengan menceritakan kehidupan pernikahannya yang tak bahagia.
“Apa yang kamu katakan, Sayang,” Pria itu mengusap air mata Cantika yang jatuh tanpa perempuan itu sadari. Sejujurnya, yang membuat Cantika paling bersedih adalah dirinya yang terjebak dalam pernikahan bak neraka. Yang membuatnya sedih adalah dirinya selalu membuat kedua orang tuanya susah dengan segala keinginannya. Yang membuatnya hancur adalah dirinya bersikap keras kepala dengan sesuatu yang tak seharusnya ia miliki. Bagian terparahnya adalah, ia tak bisa menceritakan semua dukanya itu pada ayahnya. Tak memiliki tempat untuk mengadu.
“Kamu bukanlah anak nggak berguna. Kamu memberikan kami banyak kebahagiaan di hari pertamamu lahir ke dunia ini, Tika,” Pria itu berkata dengan lembut, “Jangan lagi mengatakan hal yang menyakitkan ini karena apa pun yang terjadi, kami sangat mencintaimu. Papa nggak peduli, kamu harus menginap di rumah saat ulang tahun Mama. Kamu pasti ingat kalau akhir pekan ini, Mamamu ulang tahun, bukan?” Pria itu menatap anaknya dengan tatapan meneliti, Cantika yang sudah bisa menguasai kesedihannya itu segera mengangguk.
Tentu saja, ia mengingat ulang tahun ibunya. Cantika bahkan sudah membelikan hadiah untuk ibunya itu. Namun ia bermaksud untuk mengirimkan hadiah itu agar tak perlu menginap di rumah orang tuanya karena Cantika tahu bila Tian tak ‘kan menyukai ide untuk menginap di rumah orang tuanya. Tampaknya, mereka berdua sudah lelah untuk bersandiwara.
“Tentu aku ingat ulang tahun Mama, tapi aku nggak yakin kalau kami bisa menginap, Pa,” Cantika menunjukkan wajah sedih, “Mas Tian harus keluar kota hari Jumat nanti, Pa. Dia harus meninjau sebuah proyek di Bandung. Aku nggak yakin kalau kami bisa menginap,” Lanjut Cantika yang berusaha untuk mencari alasan agar tak harus menginap di rumah orang tuanya.
“Kamu nggak mungkin bisa menghindar untuk menginap Tika atau Mamamu akan marah besar. Kamu tahu sendiri kalau Mamamu itu bisa merajuk selama berbulan-bulan,” Ujar pria paruh baya itu dengan gusar, “Papa akan menghubungi Tian dan memintanya untuk datang,” Belum sempat Cantika memprotes, pria itu sudah menggerak-gerakkan tangannya di udara, meminta Cantika tak lagi beralasan. Kemudian pria itu mengeluarkan ponsel dan meletakkan benda pipih itu di telinganya, “Papa akan meminta Tian meluangkan waktu untuk mamanya juga. Dia harus belajar menjadi pria yang mendahulukan keluarga, jadi kamu tenang saja dan biarkan Papa yang bicara,” Lanjut pria itu yang membuat Cantika tak lagi bisa berdebat.
“Halo Tian. Ini Papa,” Ucap pria itu yang membuat Cantika langsung tersenyum kikuk. Rasa cemas menjalar ke penjuru hati Cantika. Pria itu pasti akan kembali marah padanya karena permintaan ayahnya itu. Mereka pasti akan kembali berdebat dan Tian akan terus menyalahkannya. Padahal, Cantika sudah berusaha keras untuk menghentikan ayahnya itu.
“Sabtu ini datang dan menginaplah di rumah karena Mamamu ulang tahun. Papa tahu kalau kamu harus keluar kota, tapi Papa mohon urungkan dan di re-schedule. Papa dan Mama sangat merindukan kalian. Mama juga pasti akan merajuk berbulan-bulan kalau sampai kalian tidak datang,” Pria paruh baya itu langsung mengatakan semua keinginannya, membuat Cantika tersenyum kikuk. Wanita itu bisa membayangkan bila Tian di seberang sana pasti merasa kesal padanya. Pria itu pasti menganggap bila Cantika menyetujui dan menyukai ide ayahnya itu. Padahal, Cantika sendiri merasa tak senang untuk membohongi kedua orang tuanya.
Senyum merekah di wajah pria di hadapan Cantika, membuat wanita itu menduga bila Tian menyetujui permintaan ayahnya. “Baiklah, Papa senang sekali mendengarnya. Kamu harus paham bila kita memang bekerja untuk keluarga, tapi jangan sampai melupakan apa yang paling penting,” Pria itu mengambil jeda sebelum melanjutkan perkataannya, “Keluarga yang utama. Uang bila hilang masih bisa dicari, tapi tidak dengan kehilangan orang yang berharga dalam hidup kita,” Pria itu menatap putrinya lembut, membuat Cantika tersenyum, “Baiklah. Terima kasih banyak. Papa akan memberitahukannya pada Cantika. Selamat bekerja kembali,” Pria itu tersenyum pada Cantika begitu panggilan mereka terputus. Cantika tahu bila Tian kesal padanya.
“Tian bilang dia akan menginap di hari ulang tahun mamamu dan masalah sudah terselesaikan,” Pria itu tersenyum senang, sedang Cantika tersenyum dan mengangguk, “Kita hanya akan makan malam di rumah dan menghabiskan waktu seharian di rumah. Bercerita dan minum teh bersama. Sudah lama sekali kita nggak berkumpul dan Papa sangat menantikan hari Sabtu nanti,” Lanjut pria itu dengan gembira. Kebahagiaan ayahnya itu membuat Cantika merasa sedikit sedih. Ia khawatir bagaimana bila dirinya mengecewakan kedua orang tuanya itu.
“Ya, Pa. Kita akan menghabiskan waktu bersama. Seharian,” Cantika menunjukkan wajah bahagianya, “Aku juga nggak sabar untuk tidur kembali di kamarku. Menghabiskan waktu bersama dengan papa dan mama sembari bercerita santai. Aku merindukan moment itu.”