Haruskah Menyalahkan Cinta?

1083 Kata
Siapakah yang patut disalahkan dari seorang yang patah hati? Mereka yang tak membalas cintanya atau Si pecinta yang harusnya tahu diri dan tak meneruskan cinta yang tak berbalas itu? Pada akhirnya, kau tak bisa menyalahkan perasaan itu. Hati bukanlah hal yang bisa kau kendalikan begitu saja. Tak juga mau mendengarkan perintah dari otakmu. Pada akhirnya, kau tak bisa mencegah kegilaan dan juga kebodohan yang merusak akal sehatmu. Cantika masuk ke dalam kamarnya. Ia merebahkan tubuhnya di kasur dengan posisi telangkup. Tangisnya semakin menjadi-jadi. Cinta mengapa bisa sesakit ini? Seperti menarik paksa jantungmu sendiri dari tempatnya. Tak ada rasa lain, selain sakit. Entah sampai kapan dirinya harus menahan semua rasa itu seorang diri. Tampaknya, waktu tak seajaib apa yang orang-orang katakan. Semua hal itu tak mampu menumbuhkan cinta yang sama di hati suaminya. Cantika tak tahu apa yang harus dilakukannya untuk memperbaiki semua ini? Dirinya memang tak berarti apa pun bagi Tian. Kini, wanita yang dicintai pria itu sudah kembali, maka harapan yang sempat hadir di dalam hati Cantika pun harus segera dipadamkan. Sampai kapan pun cintanya tak mungkin bisa dirasakan oleh Tian. Pernikahan yang dirinya pikir akan memperbaiki semuanya, malah berakhir menjadi bom bunuh diri bagi dirinya sendiri. “Harusnya, aku nggak bersikap nekad dan menerima pernikahan ini. Harusnya, aku nggak egois dan berpikir bila kehidupan nyata bisa seindah cerita dongeng. Harusnya, aku nggak mempercayai banyak drama yang ku tonton. Kisah mainstream di mana orang yang dijodohkan akan berakhir dengan jatuh cinta. Sampai kapan aku mau hidup di dalam dunia penuh kepalsuan ini? Sampai kapan aku mau hidup menderita seperti ini hanya demi cinta?” Cantika mengubah posisinya menjadi duduk, lalu mengusap air matanya. Ia menatap kosong ke depan. Mata Cantika menangkap figura foto berukuran besar yang dipajang di hadapan tempat tidurnya. Satu-satunya foto yang selalu membuat Cantika merasa kuat dan juga kembali berharap, foto pernikahan yang tak diinginkan oleh pria itu. Semua terlihat jelas di sana. Hanya dirinya yang tersenyum bahagia sembari memeluk lengan suaminya, sedangkan wajah pria itu terlihat begitu datar. Semua terlihat begitu jelas, akan tetapi Cantika dengan bodohnya masih menjadikan foto tersebut penyemangat dan juga harapannya untuk cinta yang tak diharapkan. Harusnya, Cantika tak menggantung foto itu di sana seperti apa yang dikatakan Tian saat melewati kamarnya, namun dengan bodohnya, Cantika menjawab; “Kita membutuhkan foto ini agar nggak ada yang curiga dengan pernikahan kita. Setidaknya, kalau orang tua kita menginap, tempat ini nggak terlihat aneh. Bukankah kita juga harus tidur sekamar bila ada yang berkunjung? Aku mengatakan ini hanya agar nggak ada yang tahu tentang kita.” Saat itu Tian tertawa mengejek, menatapnya dengan tatapan merendahkan, seolah dirinya adalah seorang p*****r yang ingin ditiduri. Pria itu berjalan meninggalkannya tanpa sepatah katapun. Selalu seperti itu, hanya dirinya yang menatap pria itu, sedangkan Tian selalu membuang wajah. Menatap Cantika, begitu menjijikkan bagi Tian. Apa pun yang dilakukannya, Tian tak ‘kan menginginkannya sebagaimana Cantika menginginkan pria itu. Bila cintanya salah, haruskah kesalahan itu dihukum sekejam ini? Tak bisakah menjadikan salah menjadi benar? “Pernikahan ini memang salah, tapi aku nggak bisa menyalahkan cinta. Mungkin memang beberapa cinta nggak akan berakhir dengan bahagia. Apakah ini saatnya aku melepaskanmu?” Cantika tersenyum lirih pada sosok Tian yang diabadikan oleh kamera. Cantika melirik ke arah nakas dan menemukan piring berisikan buah apel. Sebilah pisau buah diletakkan di samping apel tersebut. Dengan tangan bergetar Cantika mengambil pisau itu. Cantika menatap nanar pisau tersebut. Selama ini, Cantika bingung mengapa ada orang yang memilih untuk mati, bila dunia adalah tempat yang indah? Sejak kecil, hidupnya sempurna. Ia memiliki dua orang tua yang begitu mencintai, memiliki paras cantik dan disukai banyak pria, dan selalu ada tawa di hidupnya. Namun semua itu berubah saat dirinya menikah dengan Tian. Pria yang ia pikir akan memberikannnya kebahagiaan, malah menjadi pria yang menghancurkan dunia dan juga mimpi-mimpi indahnya tentang cinta. Pada akhirnya, cinta bukanlah hal yang mudah untuk dimengerti. Perasaan yang mampu membunuh setiap sel dalam darahmu. Cantika mendekatkan pisau tersebut ke pergelangan tangannya. Menekan pisau tersebut ke kulitnya, hingga tergores dan berdarah. Anehnya, wanita itu tak merasa sakit sama sekali. Cantika berpikir, mungkin ini yang terbaik bagi semua orang. “Sepertinya, kematianku bisa menyelesaikan semuanya. Dengan begini, kamu bisa mendapatkan kebahagiaanmu dan aku pun nggak perlu terus tersiksa karena patah hati. Toh, aku nggak lagi merasa hidup karena sakit ini.” Suara ketukan pintu membuat Cantika tersadar. Wanita itu menggeleng dan segera mencampakkan pisaunya ke lantai. “Tidak, apa yang ku pikirkan? Bagaimana bisa aku memilih sesuatu yang akan membuatku tenggelam dalam dosa. Ini salah!” Cantika mengusap wajahnya. Meski cinta itu menyakitkan, tak seharusnya ia turut mengorbankan nyawanya demi cinta. “Tika … aku butuh sesuatu,” Suara Tian yang disertai dengan ketukan itu terdengar. Cantika menarik napas panjang dan menghelanya perlahan, mencoba mengendalikan rasa sakit yang menguasai sanubarinya. Pria itu tak ‘kan membiarkannya tenang dan ia tahu benar, bila tujuan Tian membawa kekasihnya ke rumah mereka agar bisa menyiksa Cantika. Wanita itu segera bangkit berdiri dan membukakan pintu kamarnya untuk Tian. Pria itu menatap Cantika tajam. “Apa yang kamu lakukan di dalam kamar? Kenapa begitu lama membuka pintu? Harusnya kamu tahu kalau aku sedang menyambut tamu dan tugasmu adalah melayaniku bersama dengan tamuku,” Pria itu berkata dengan datar, “Jangan memulai drama yang nggak diperlukan yang mengatakan kamu adalah korban atau kamu adalah manusia. Kamu yang menerima pernikahan ini. Harusnya, kamu tahu kalau ini semua adalah konsekuensi atas pilihanmu sendiri,” Tatapan pria itu begitu dingin. Tatapan yang selalu diberikannya pada Cantika tanpa mempedulikan perasaan wanita itu. Terlukah dia? Rasanya, tanya itu tak pernah singgah di hati Tian. Yang ia inginkan adalah rasa penyesalan yang membunuh Cantika. “Maaf karena aku benar-benar lelah,” Wanita itu mengulum senyum tipis, “Apa yang kamu butuhkan. Aku sedang nggak mau berdebat,” Lanjut Cantika dengan putus asa. Percuma untuk marah ataupun beradu urat dengan pria itu karena pada akhirnya telinga pria itu tak ‘kan mau mendengarkan pedih di hatinya. Hati pria itu tak bisa mengiba dengan dirinya yang selalu mengemis cinta. Hingga akhirnya, Cantika hanya ingin menyerah dan berhenti berusaha. “Rapikan kamar untuk kekasihku. Dia akan menginap di sini.” Perkataan pria itu membuat jantung Cantika seakan diremas kuat, begitu menyakitkan. Apakah tak cukup dengan mengajak wanita itu ke rumah mereka? Mengapa harus membiarkan wanita itu juga menginap di rumah yang harusnya bisa Cantika sebut dengan bangga sebaga istananya. Namun sayang, rumah ini tak ‘kan pernah menjadi istananya. Dirinya bahkan tak boleh menyebut rumah itu sebagai tempatnya untuk pulang. Dirinya hanya menumpang di sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN