Kamar yang seharusnya menjadi kamar pengantin mereka kini dihuni oleh sepasang manusia menjijikan itu tak berbusana, tubuh Tama penuh dengan peluhnya yang masih terlihat menetes melewati jajaran otot kekarnya. Saat itu Rima bisa melihat dengan jelas wajah bersemu merah Tama berkat wanita lain tersebut, lalu gulungan tisu dan juga pengaman yang berserakan di lantai bahkan di atas kasur tersebut, kamar itu bahkan berbau menjijikkan. Sungguh sesuatu yang sangat membuat Rima muak.
"Menjijikkan!" ucap Rima dengan tegas.
"Sayang, jangan seperti itu!"
Tama langsung menyanggah ucapan Rima, ia pun berusa untuk meraih Rima yang sebenarnya berada tepat dalam jangkauannya itu.
"Ka-kapan kamu pulang?"
"Kenapa tidak mengabari aku?"
"Kalau aku tahu, aku akan menjemputmu di bandara!"
Tergesa-gesa Tama bertanya seperti itu pada Rima, entah karena panik, atau memang karena penasaran. Tapi, yang jelas itu semua tidak ada artinya lagi bagi Rima.
"Kamu masih sempat-sempatnya bertanya di situasi yang seperti ini?" sedikit mencemooh, Rima terkekeh kecil. Tidak habis pikir dengan tingkah tunangannya itu.
Akan tetapi, jawaban dari Tama pun malah semakin membuat Rima naik darah.
"Tentu saja, aku merindukanmu!"
"Aku ingin segera bertemu denganmu, melepas rindu, dan berbagi kisah!"
"Aku menunggumu setiap saat, Rima!" kata Tama seraya tersenyum lebar pada Rima dengan wajah polos seolah ia tak berbuat kesalahan apa pun.
Merekatkan giginya erat, Rima hanya bisa tersenyum pada tunangannya itu. Lalu, sembari menggelengkan kepalanya, Rima kembali menggerutu, "Ini benar-benar menjijikkan!"
Bukannya menjelaskan situasi, Tama malah dengan polosnya menyatakan rindu, menyerangnya dengan perhatian, seakan Rima lah yang salah telah membiarkan seorang pria kekar yang merindukan kekasihnya itu kesepian di rumah. Sungguh, tingkah Tama yang tak bisa ia terima oleh akal sehatnya sendiri.
"Jadi maksudmu, aku telah membuatmu kesepian karena merindukan aku?"
Iseng bertanya seperti itu, Tama malah menganggukkan kepalanya dan itu membuat Rima benar-benar geram. Ia pun memandangi wanita yang masih ada di atas tubuh Tama.
Sedangkan wanita itu, hanya tertunduk sembari merengkuh tubuh Tama, mencari perlindungan dari Tama, seolah dialah yang korban dan paling tersakiti saat itu. Parahnya lagi, mereka berdua masih bersatu dan tak ada tanda-tanda dari keduanya untuk beranjak dari posisi tersebut. Hanya mematung dengan sesuatu yang benar-benar membuat Rima sakit hati. Sementara Rima malah terlihat seperti wanita kejam yang akan menerkam wanita tersebut.
"Ah, ini tidak jangan menatapnya seperti itu! Dia jadi ketakutan, kan! Dia tidak salah, Rima!"
Tama malah dengan tidak tahu malu semakin mendekap wanita itu. Ia berusaha melindungi wanita itu dan seakan tidak ada yang salah dari hal tersebut.
"Lagian, aku janji hanya kamu yang akan aku nikahi!"
"Setelah menikah, aku janji tidak akan melakukannya dengan wanita lain selain kamu!"
Ucapan itu terdengar enteng dari Tama, padahal Rima sudah menahan dirinya sebisa mungkin. Ia tidak menyangka pria baik yang lembut dan selalu mengatakan cinta dengan penuh perhatian itu bisa mengatakan hal sehina itu dengan mudah.
"Apa itu artinya selama ini kamu memang sering tidur dengan para wanita lain?"
"Apa menurutmu aku serendah itu?"
Seketika itu, suara Tama langsung meninggi. Ia kembali meraih tangan Rima dan dengan tergesa-gesa ia mengatakan, "Tidak ada yang namanya para wanita. Aku hanya melakukannya dengan Lessi dan kamu jangan membandingkan dirimu dengan Lessi."
"Kamu istimewa untukku, aku mencintaimu. Makanya aku tidak pernah menyentuhmu. Karena aku akan menikahimu!"
"Aku janji setelah menikah aku tidak akan melakukannya dengan wanita mana pun, karena saat itu aku sudah bisa melakukannya denganmu!"
Air mata pun mungkin tak lagi mau menetes setelah mendengar ucapan dari Tama tersebut. Rima bisa langsung menyimpulkan jika Tama menganggap pelampiasannya itu adalah hal wajar, pengganti dirinya yang tidak bisa memenuhi harapannya, lalu ketika Rima sudah sah menjadi miliknya maka dengan mudahnya Tama membuang wanita tersebut. Sungguh, sesuatu yang tak pernah Rima duga dari Tama.
Akhirnya, karena tidak lagi tahan dengan sikap aneh sang tunangannya, Rima menarik dagu Tama yang senyumannya tak lekang tersebut.
"Tama, singkirkan tangan kotormu. Kamu kira aku mau disentuh oleh pria menjijikkan seperti kamu?"
"Aku tidak akan menikah denganmu, mulai sekarang hubungan kita berakhir Tama!"
Tatapan Tama terlihat tidak fokus, Rima kira saat ini Tama terguncang dengan ucapan kasar Rima yang juga tak seperti biasanya. Karena biasanya Rima memang akan selalu berkata lembut pada tunangannya itu. Namun, setelah di perhatikan baik-baik Tatapan Tama memang terlihat berbeda. Matanya sayu dan terlihat kosong, meski ia menatap ke arah Rima, tetapi tatapan matanya itu tak memiliki cahaya kehidupan sama sekali. Lalu, Tama sedari tadi hanya tertawa kecil, sembari sesekali tersenyum tipis sambil terus memanggil nama Rima berulang kali.
"Ayo lah, Rima!"
"Aku berusaha keras agar tidak menodaimu, aku menjaga calon istriku dengan baik!"
"Aku tidak ingin menyakitimu. Kamu itu istriku, wanita yang akan melahirkan anak-anakku. Aku tidak ingin membuatmu kotor."
Rima sungguh tak mengerti dengan isi pikiran Tama, semua ocehannya itu benar-benar diluar nalarnya. Membuatnya semakin yakin, bila ia dan Tama sudah tak lagi sejalan. Namun, satu hal yang pasti. Tama benar-benar terlihat tidak waras saat ini dan akhirnya Rima pun bisa menyimpulkan dari seluruh ucapan melantur Tama sedari tadi.
"Kamu teler?"
"Tama, kamu mabuk?" Rima mengulang kembali pertanyaannya setelah pertanyaan sebelumnya hanya di jawab oleh kekehan tawa kecil Tama saja. Lalu, jawaban dari Tama pun malah kembali membuat emosi Rima meledak.
"Iya, aku mabuk asmara, aku dimabuk rindu pada tunanganku yang cantik!"
Rasanya, Rima ingin menampar wajah cengengesan Tama tersebut. Tapi, pukulan rasanya terlalu ringan untuk membalas pria sialan tersebut. Rima pun hanya menghela napasnya dalam, ia mulai berbicara sendiri, bergumam dengan suara rendahnya, "Setelah wanita dan sekarang apa lagi? minuman? obat-obatan?"
Apapun itu, Rima sudah tak mau peduli lagi dengan apapun yang terjadi pada Tama. Rima pun menatap wanita asing itu yang tertunduk dan tak berani mantap mata Rima sedari tadi.
"Kamu masih di sini?" cecar Rima yang sejatinya tak terima jika wanita itu masih berada di kamar Tama setelah kelakuan mereka yang sudah Rima tangkap basah.
Kesal terlihat jelas di wajah wanita itu, ia mengigit ujung bibirnya dan mendekat pada Tama. Menarik Tama agar berhenti bergelayut pada Rima. "Tama, ...," rengek wanita itu tapi Tama tak menggubris wanita itu.
Wanita itu tampaknya mulai memberanikan dirinya, padahal sebelumnya ia hanya tertunduk saja. Lalu dengan angkuhnya, ia pun berteriak pada Rima, "Memangnya kenapa kalau aku masih di sini?"
"Bukankah kamu dengar kata Tama tadi, aku tidak salah!"
"Aku hanya menghibur Tama, lalu seperti yang kamu lihat. Dibandingkan dengan bercinta denganmu. Tama lebih memilih aku!"
"Aku wanita pertamanya dan dia juga pria pertamaku!"
Perkataan itu dengan mudahnya Lessi lontarkan dengan penuh keyakinan dan tidak tahu malu. Sungguh, ia mencoba membuat bahwa semua ini seakan adalah kesalahan Rima yang telah membuat Tama kesepian.