"Apakah ini definisi tidak tahu malu?" Rima menggelengkan kepalanya, ia bergumam di dalam hati. Saat ia melihat wanita itu malah membela diri dengan menyalahkan Rima. Tentu, Rima juga tidak berniat untuk diam. Emosinya sudah terlanjur meluap dan ia sudah muak dengan segalanya. Jadi, tak ada lagi hal yang patut untuk ia risaukan.
"Yah, setidaknya Tama tahu mana wanita yang bisa di pakai dan wanita yang harus di jaga!"
Tampaknya ucapan Rima itu malah memprovokasi Lessi, ia pun murka dan mulai menarik baju Rima dengan kasar, berteriak padanya dengan segenap emosinya.
"Hei, justru kamu lah yang hanya sebagai penampung bayinya saja!"
"Kamu kira Tama benar-benar mencintaimu?"
"Tama hanya butuh rahimmu untuk melahirkan anaknya!"
"Hentikan!" teriakan Tama tiba-tiba melengking, membuat keheningan tercipta untuk beberapa saat.
Kesadaran Tama tampaknya sedikit pulih oleh sikap kasar dari wanita itu. Pandangan Tama kini berubah kesal, ia pun menarik Lessi dan menjauhkannya dari Rima.
"Hei, tutup mulutmu dan pergi saja, sana!" Tama mengusir wanita itu kasar.
Wanita itu terlihat tidak menyerah, meski ia menatap Rima dengan tatapan kesal ia terus berusaha bergelayut pada Tama.
"Katakan saja yang sebenarnya, lagian Rima juga tidak akan bisa sembarangan menghentikan pertunangan kalian!"
Ekspresi wajah Tama sudah terlihat berbeda, tatapan matanya yang semula hampa kini terlihat penuh emosi. Lalu, sembari mengeram, ia pun berkata.
"Lessi, tutup mulutmu!"
"Bukankah aku sudah bilang, bila ada Rima aku tidak membutuhkanmu lagi."
"Saat ini juga, aku bisa membuangmu selama Rima tetap menjadi milikku!"
"Kamu hanya pelampiasanku. Bila Rima di sisiku, aku tidak butuh kamu!"
"Kamu tahu kan, betapa aku merindukan Rima sampai aku melampiaskannya padamu?"
Berulang kali Tama mengatakan bahwa Lessi adalah pelampiasannya saja. Bertindak seakan berada di pihak Rima, padahal apa yang ia ucapakan itu hanya terdengar bak kotoran binatang bagi Rima.
Tama berusaha melepaskan rangkulan Lessi, orang ketiga yang muncul di hubungan mereka.
"Jangan halu, aku hanya menginginkan Rima. Aku mencintai Rima makanya aku menjaganya. Jika aku hanya mengincar Rima seperti itu, aku sudah menghamilinya duluan agar ia tidak lepas dariku!"
"Kamu tahu apa tentang perasaanku, Lessi!"
Sungguh bak sebuah drama murahan yang Rima saksikan dari pertengkaran pasangan selingkuh tersebut. Rima pun kembali menggelengkan kepalanya, hatinya yang sedari tadi menggebu-gebu itu sekarang malah terasa menggelitik. Lucu dan konyol dengan tingkah mereka berdua.
"Kalian ini benar-benar," Rima menghela napasnya kasar, "apa kamu sadar apa yang kamu lakukan Tama?"
"Seberapa besarnya cinta yang kamu katakan itu, itu tidak bisa memungkiri bahwa kamu mengkhianati hubungan kita!"
Rima kembali mengingat segala yang sepupunya katakan, wanita asing itu sering terlihat masuk ke apartemen Tama. Tak terbayang kelakuan kotor mereka di belakang Rima selama ini. Entah berapa kali mereka melakukan hal seperti ini di belakangnya dan tak tahu seberapa sering Tama berbohong padanya selama ini.
"Aku muak padamu Tama. Kita bicara saja nanti saat kesadaranmu sudah benar-benar pulih!"
Tak tahan lagi dengan segala tingkah Tama, Rima pun menyerah dengan kedua orang yang saling bergelayut manja tak berbusana tersebut. Ia pergi meninggalkan Tama yang masih merengek karena merindukannya dan memohon untuk percaya padanya.
"Rima, aku merindukan kamu."
"Kamu mau kemana? peluk aku Rima!"
"Sungguh aku hanya menginginkan kamu!"
"Aku bisa saja menghamilimu, tapi aku menjagamu. Itu karena aku mencintaimu, Rima!"
Jangankan untuk mengejar Rima, Tama bahkan tak sanggup bangkit dari kasurnya, meski kesadarannya sudah sedikit pulih tapi tubuh Tama terlihat tak berdaya. Tama yang terlalu mabuk itu tak mampu berbuat apapun selain merangkak di lantai yang dingin sambil memanggil nama Rima. Sedangkan Lessi, berusaha keras untuk menghentikan Tama yang mengejar Rima.
"Hmmm.. Rima!! Rima!!!"
Teriakan Tama semakin terdengar samar. Rima terlalu muak mendengarnya. Air matanya yang ia pikir akan menetes begitu jauh dari kedua orang itu ternyata tak juga menetes. Hatinya beku dan kaku akibat rasa jijik akan kelakuan Tama. Tak setetes pun air mata itu jatuh dari pipinya.
Terlalu sakit hati, Tama yang polos dan baik ternyata adalah pria yang seperti itu. Kenyataan terlalu berbanding terbalik dari apa yang selama ini ia bayangkan dan semua hal mengejutkan itu, sama sekali tak membuatnya menangisi pengkhianatan sang tunangan. Justru, ia merasa konyol dengan segala kebodohan dari Rima yang percaya pada seluruh perbuatan baik dan perhatian yang Tama berikan.
"Yah, tidak ada manusia yang terlalu baik!"
"Tidak mungkin ada pria yang tidak memiliki sifat tamak!"
"Mustahil pula bisa ada sebuah hubungan yang tidak pernah bertengkar!"
Jujur saja, Rima harus mengakui bahwa sikap Tama selama ini sudah terlalu baik. Tama selalu mengalah padanya, ia tidak tamak dengan pendapatnya, membiarkan Rima mendapatkan apa yang ia inginkan tanpa perlawanan, ia selalu berbuat baik tanpa pamrih dan selalu melemparkan senyuman ramah pada Rima tak peduli Rima berkata sekasar apa pun. Selain itu, selama mereja menjalin hubungan mereka sama sekali tidak pernah bertengkar. Semua berakhir dengan sikap Tama yang selalu mengalah itu.
Oleh sebab itu, Rima pun baru sadar jika rasanya tidak mungkin ada manusia berhati malaikat seperti itu. Justru jika memang benar sayang maka pasangan akan tetap marah bila ada hal yang tidak baik yang telah dilakukan.
"Sekarang, apa yang harus aku lakukan?"
Begitu masuk ke mobilnya, Rima memendam kepalanya dalam setir mobil. Ia menghela napasnya dengan dalam beberapa kali, rasa sesak di hatinya terus menjeratnya, kenangan manis bersama Tama terus berulang dalam ingatannya.
Senyuman dan tatapan tulus Tama yang penuh cinta dan perhatian seolah hanya tertuju pada Rima kini sirna begitu saja. Suara rendah yang memanggilnya dengan mesra dan lembut berubah menjadi suara parau yang memanggil namanya di sela tubuh Tama yang penuh bekas kecupan wanita lain.
"Tama, kenapa kamu melakukan ini padaku?"
"Apa dia bersikap baik karena di belakangku dia berbuat salah?"
"Mungkin dia pikir dengan memaklumi semua perbuatanku maka aku juga akan memaklumi perbuatannya?"
Apa pun itu, Rima sungguh tak habis pikir dengan tingkah tunangannya dan ingin benar-benar lepas dari pria sialan itu.
Hening sejenak, Rima menahan napasnya. Ia menatap langit-langit mobilnya.
"Ha-Ha-Ha!!"
Tawa Rima seketika pecah, ia menertawakan dirinya yang begitu saja terlena akan cinta palsu Tama.
Retak tak berwujud kenangan indah Rima dan Tama sirna begitu saja. Rasa sakit hatinya sebesar rasa cintanya pada Tama. Begitu dalam dan penuh rasa yang lebih sulit untuk Rima jabarkan.
"Tama, apa aku benar-benar rendah di matamu sehingga kamu bisa menipuku seperti ini?"
Rima mencoba menggali apa yang membuat Tama seperti ini. Menerka mungkin saja memang ada kesalahan yang telah ia lakukan sampai Tama perlu mencari pelampiasan seperti itu.
Jujur, sebelum Rima memantapkan dirinya untuk menikah dengan Tama dan bertunangan. Rima yang memiliki banyak hutang budi pada Tama. Dulu, Tama memang mendekati Rima. Tapi, Rima selalu enggan menerima Tama. Hingga saat orangtua Rima mengalami kebangkrutan dan terpaksa menjual seluruh hotel yang mereka kelola dan itu pun masih tidak cukup untuk membayar bunga hutang yang terus melilit keluarga Rima.
Saat itu, Tama yang mengetahui semua kesulitan yang Rima hadapi langsung berbicara pada orangtua Rima. Ia berniat membantu keuangan keluarga Rima karena perasaanya untuk Rima. Mulanya Rima membenci kenyataan itu, ia tak suka dikasihani. Tapi, Tama memastikan bahwa ia tidak mengharapkan apa pun dan benar-benar tulus untuk membantu Rima saja. Sebagai gantinya, Rima boleh menganggapnya sebagai hutang tanpa bunga dan boleh di bayar kapan saja, dicicil sebisanya pada Tama.