Suara langkah menggema di koridor RS terlihat Titania berlari mencari ruang operasi tempat Ji Eun terbaring lemah sekarang.
"Kakak!" Daniel berdiri menahan Titania ketika ingin masuk lalu menjelaskan apa yang terjadi.
Titania merasa tubuhnya lemas tak bertenaga, ia merosot di lantai dengan memegang tangan Daniel.
Apa yang harus ia katakan pada orang tua sahabat nya, sedangkan dia sudah mendapat tanggung jawab untuk selalu menjaga gadis itu.
Lalu sekarang, amanah mendiang paman dan bibi Shin tak bisa ia lakukan.
Titania lagi-lagi menangis.
Kenapa, kenapa selalu dia yang merasakan sakit ini, KENAPA!!
Biarkan orang lain merasakan nya Tuhan, kenapa harus dia.
Daniel mendongak ikut menangis menatap ruang operasi.
Setelah satu jam menunggu dokter pun keluar dengan mimik wajah tak biasa.
"Dokter, bagaimana keadaan sahabat saya? Dokter jangan diam aja dong, gimana sih!"
Daniel mendiamkan Titania yang kesal melihat dokter nya hanya diam.
"Ck, ya lu diem dulu. Gimana dokter mau ngomong kalo— "
"Niel diem."
Daniel memutar bola mata nya kesal.
"Tahan dulu ya, jadi begini karena ini sangat sensitif jadi kami perlu bertemu orang tua nya."
"Ya udah dokter mati aja sana!"
Dokter melotot.
"Apa sih lu kayak anak kecil tau gak, dokter nya nanya baik-baik juga. Maaf dokter, kakak saya lagi kalut." dokter hanya bisa mengangguk kaku, "Orang tua pasien sudah meninggal dok, dan dia cuma kakak saya. Jadi katakan saja, bagaimana keadaan Ji Eun." Tangan Daniel merangkul menahan beban Titania yang sedikit oleng.
"Huh… baiklah. Jadi begini, pasien mengalami kritis. Dan juga, kami sangat menyesal harus mengatakan jika pasien akan mengalami kelumpuhan akibat tabrakan dan benturan keras tepat mengenai saraf bagian pinggang belakang pasien."
DEG!! Rangkulan Daniel melonggar membuat Titania kembali merosot dengan pandangan kosong.
Dokter dan perawat hanya bisa menunduk me minta maaf. "Kami harap ini hanya bersifat sementara. Dan sebelum pasien melewati masa kritis nya, kami tidak bisa melakukan observasi lebih lanjut." Tambah dokter.
"Kami akan memindahkan pasien ke ruangan intensif agar tetap berada dalam pengawasan. Baiklah, Permisi Tuan." Dokter pun pergi disusul beberapa perawat.
Jantung Titania berdenyut sakit mendengar kabar yang menimpa sahabat nya.
Ia meluruskan punggung menengadah kemudian bersandar memeluk kedua lututnya.
Daniel ikut melakukan hal yang sama, duduk di samping sang kakak menaruh kepalanya di pundak Titania.
Kedua nya diam, tak ada tangisan hanya tatapan kosong menatap ruangan operasi.
***
Kediaman Jeon, kedua orang tua Titania tengah duduk khawatir setelah mendapat kabar keadaan Ji Eun.
Tak berselang lama Maria masuk kerumah diikuti oleh Jung. Walau melihat kedekatan mereka, pasangan Krish Jeon dan Layla Amarilis Jeon tak masalah karena percaya calon menantu nya tidak akan melakukan hal bodoh.
"Mam, kenapa kok pada khawatir gitu? Kakak sama Niel mana, tumben gak di rumah." Maria duduk di susul Jung.
"Kalian gak dapat kabar dari Niel," Jung dan Maria saling menatap kemudian menggeleng. "Ji Eun kecelakaan!" Kedua nya melotot.
"Astaga, kok bisa!" Seru keduanya bersamaan.
"Papa tidak tau, kata Niel dia di tabrak lari." Ujar Krish.
Jung berdiri, "Pa, Mam, Jung permisi dulu ya mau ke rumah sakit. Titan pasti butuh aku sekarang." Ujar nya segera berlari pergi.
"Eh, kak aku ikut dong." Langkah Jung berhenti lalu berbalik.
"Gak usah, kamu jagain papa sama Mama aja. Mereka juga shock dengar kabar ini. Permisi pa, mam."
"Hati-hati nak."
Jung membungkuk hormat kemudian berbalik pergi meninggalkan rumah calon mertua nya.
'Sial! Kenapa dia harus khawatir sama Titan sih. Tadi aja mendesah manggil nama gue, sekarang malah sok perhatian di depan papa.'
"Kamu kenapa, kok kayak pucat gitu. Kamu gak lupa minum obat, 'kan?" Tanya Nyonya Jeon khawatir dengan gagal ginjal kronis yang Maria alami sejak kecil.
"Sedikit nyeri sih mam, tapi gapapa kok."
"Obat nya jangan telat, ingat seminggu lagi kakak kamu menikah. Kita harus sehat biar dia tidak khawatir."
Mendengar penuturan papa, Maria semakin pucat karena kesal.
"Maria ke kamar dulu mau istirahat. Kalau papa sama Mama mau jenguk kak Ji Eun, ajakin ya." Ujar nya melenggak pergi ke kamar dengan perasaan panas.
Panas mendengar sesuatu yang sangat ia benci. Ck, kalau saja dia lebih dulu bertemu Jung, dia tidak akan menjadi yang kedua disini. Pikir nya menutup pintu kamar sedikit keras.
"MARIA, ADA APA?" Teriak Nyonya Jeon mendengar suara keras.
"GAPAPA MA, CUMA CAPEK." Jawab Maria.
"Udah ma, mungkin dia memang capek. Yaudah lebih baik mama masakin anak-anak, entar malam kita ke rumah sakit."
Nyonya Jeon mengangguk mengerti kemudian meminta bibi menemani nya untuk masak.
Sedangkan Tuan Jeon mengusap wajah lelah nya, beliau mengeluarkan dompet dan terdapat foto dua pemuda saling merangkul.
"Joon, maaf aku tidak bisa menjaga putrimu. Kau pasti sedih di atas sana 'kan, maafkan aku teman."
Nyonya Jeon yang ingin mencari ponsel nya terhenti melihat punggung sang suami bergetar mengusap foto sahabat nya.
***
Kembali ke rumah sakit, kedatangan Jung hanya menambah kesedihan Titania begitu juga Daniel yang segera menjauh tak ingin bercengkrama dengan lelaki itu.
Walau merasa bingung melihat perubahan Daniel, Jung hanya mengangkat bahu masa bodoh duduk di samping Titania.
"Sayang," meraih tangan Titania, "Aku yakin Ji Eun bakalan sadar, kamu yang sabar ya." Ujar Jung mencoba menenangkan Titania yang hanya diam.
Ia beralih mengusap pipi Titania kemudian memeluk nya.
"Jangan sakit ya, ingat seminggu lagi kita nikah loh. Masa calon pengantin nya malah sakit, jangan ya." Jung mengecup pucuk kepala Titania yang lagi-lagi diam menerima semua perhatian Jung.
Hampa sama sekali tidak ada rasa nyaman atas semua nya.
Rasa sayang ingin berada dalam dekapan Jung benar-benar pudar seiring berjalan nya waktu.
Tidak ada lagi yang bisa menyembuhkan rasa sakit yang disimpan selama dia tau penghianatan Jung.
Lelah, Titania lelah ingin mengakhiri semua kepura-puraan nya. Namun ia masih memikirkan sesuatu, yaitu dia akan membuat laki-laki ini bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan nya.
Ia sudah berjanji akan mengakhiri semua nya ketika hari H tiba, jadi bertahanlah sebentar lagi. Pikir nya.
"Ah sayang," Jung melepaskan pelukan mereka, "Ini cincin nikahan kita, seperti yang kamu mau tiga tahun lalu 'kan?" Ujar nya mengeluarkan Ring Box dan memberikan pada Titania.
Gadis itu tersenyum tipis membuka cincin impian nya, cincin White Gold Celtic Flower yang sangat indah.
Titania sedikit menoleh pada Jung yang tersenyum kemudian menatap cincin tersebut, ia memejamkan mata mengecup cincin itu.
Jung tertawa, "Harus nya yang di cium orang yang ngasih dong, kok malah cincin nya sih." sedikit merajuk mempoutkan bibir nya. "Kok cincin nya di buka, gak nanti aja sayang?" Bingung melihat Titania membuka cincin lamaran nya dua tahun lalu.
Titania mengangkat tangan nya, terlihat pergelangan jari manis nya berbekas.
"Gak pernah sedikit pun aku rela buka cincin lamaran kamu."
Jung meraih tangan Titania lalu mengecupnya lembut.
"Makasih sayang, terima kasih selalu ada buat aku. Maaf jika seandai nya aku punya salah sama kamu, aku gak bisa tanpa kamu."
"Seandainya?"
Jung mengangguk tersenyum mengatur anak rambut Titania.
"Kalau seandai nya aku gak bisa maafin kamu, gimana?"
Gerakan Jung sejenak berhenti, namun beralih mengusap pipi Titania. "Kamu tau aku 'kan, apapun bisa aku lakuin buat kamu tetap sama aku. Ingat sayang, apapun bisa kulakukan. Jadi tetap di samping aku, oke." ia terkekeh melihat Titania sedikit menjauh. "I know it's selfish, but getting you is hard so I will never want you to leave me. Not even a step." Mengecup kening gadis itu.
Kalimat itu terdengar seperti ancaman bagi Titania, ia hanya tersenyum menunduk mengusap bekas cincin di jari manis nya.
"Kenapa, Hem? Kamu takut atau— "
"Ji Eun lumpuh, bahkan keadaan nya sekarang lagi kritis. Aku ngerasa gagal jagain sahabat aku."
Titania berusaha mengalihkan perbincangan mereka. Ia mendongak berkaca-kaca menatap Jung, berharap lelaki itu lupa pembahasan mereka.
"Ssstt, bukan salah kamu sayang. Udah dong jangan nangis terus, aku jadi sedih liat air mata kamu."
Titania dengan cepat memeluk Jung ketika Jung itu ingin mengusap pipi nya.
Mata, mata Jung terlihat berbeda setelah obrolan nya ia alihkan tadi. Dia Takut, takut jika keadaan tidak berjalan sesuai yang telah ia rencanakan.
Jung membalas pelukan nya tersenyum lebar, "Ululu calon istri aku makin cantik aja sih, jangan nangis terus ya sayang." Ujar Jung kembali mengecup pucuk kepala nya.
"Kan ada kamu di sini."
"Nah pintar, hehehe."
Titania terkekeh, mata nya tak sengaja menangkap sosok adik bontot nya yang tengah mengepalkan tangan.
Titania melempar isyarat pada Daniel untuk tetap mengontrol diri nya di hadapan Jung, agar Jung tidak berpikir jauh.
Daniel hanya memutar bola mata kesal, segera berdehem keras membuat pelukan mereka terlepas.
"Dia kenapa?" Bisik Jung melihat Daniel yang lagi-lagi menghiraukan kehadiran nya.
"Ssstt, dia lagi sensitif jadi biarin aja ya."
Jung pun mengangguk mengerti kemudian meraih tangan Titania dan menautkan kedua tangan mereka.
Sedangkan gadis itu berusaha untuk tetap tenang, berharap Jung tidak tau jika dirinya tengah takut sekarang.
'Tenang Titan, tenang. Lu pasti bisa.'
Batin Titania tersenyum tipis melihat tautan tangan mereka.