Rumah Yoan begitu ramai dengan tamu yang datang tidak dikenal. Beberapa mobil berjajar di halaman rumahnya. Memang bukan pertama kalinya rumah Yoan ramai seperti ini. Tapi ini cukup menyita perhatian Yoan yang baru saja pulang dari Kampus.
Seperti biasa, kalau rumah ramai dengan tamu. Yoan terpaksa masuk rumah melalui pintu belakang yang langsung menuju pintu dapur.
Suara ramai dari ruang makan begitu terdengar riang sekali. Ada apa sih? Tumben siang -siang ramai. Ini kan hari kerja bukan weekend. Jadi gak mungkin ada acara arisan keluarga. Batin Yoan masih mencari tahu.
Brukk!
"Aw ... Sakit tahu. Badan udah kayak beton!" teriak Yoan dengan galak.
Lelaki yang baru saja keluar dari kamar mandi tamu pun mengangkat kepalanya dan menatap Yoan yang baru saja menabraknya.
Tatapannya begitu datar dan dingin. Yoan menatap lekat ke arah lelaki itu. Kayak pernah lihat tapi di mana. Yoan begitu samar.
Lelaki itu pergi begitu saja setelah menatap Yoan dan kembali ke arah ruang tamu.
"Ganteng sih, tapi sinis banget," batin Yoan lagi.
Yoan bergegas menuju kamarnya dan merebahkan tubuhnya sendiri di kasur empuk. Pikirannya terus tertuju pada lelaki yang cukup berumur tadi. Wajahnya tampan tapi sayangnya tidak memiliki senyum yang bagus. "Eits ... Yoan ... Kenapa harus memikirkan dia sih. Udah lupain. Cowok udah tua gitu masih mau digebet aja. Bagus sama Kak Yuda, Ketua BEM yang lagi deketin kamu." Batin Yoan berbicara sendiri.
Yoan memejamkan kedua matanya.
Diruang tamu begitu ramai. Kakek Darwin sengaja datang ke rumah Hugo, putranya untuk bertemu dengan kawan lamanya yang sudah menetap lama di luar negeri. Mereka ingin menjalin silaturahmi dengan baik seperti dulu lagi dan mewujudkan keinginan mereka untuk menjodohkan cucu mereka.
"Jadi ke mana cucu perempuanmu itu? Aku sudah tidak sabar untuk melihatnya. Biar, Ridho tahu calon istrinya seperti apa," ucap Kakek Yosep yang belim puas melihat cucu semata wayang Darwin hanya melalui foto saja.
"Itu sudah jelas kan. Cantik sekali cucuku itu. Ridho pasti suka," puji Darwin pada cucunya sendiri.
"Yoan masih di Kampus kayaknya. Mungkin lain waktu bisa bertemu ya," ucap Nuri lembut.
Nuri mengajak semua tamunya untu makan siang bersama. Ia sudah memasak banyak makanan untuk menyambut para tamu spesial.
Suasana siang itu sangat menyenangkan. Dua keluarga yang sebentar lagi akan menjadi satu keluarga.
Ridho hanya menyimak dan mengangguk setuju atas perjodohan yang diinginkan Opanya. Ridho sama sekali tidak menolak. Usianya juga sudah hampir kepala tiga. Ia juga baru saja putus dengan kekasihnya. Usia matang seperti Ridho hanya perlu seseorang yang serius dan yakin untuk berumah tangga. Bukan hubungan tanpa status hanya untuk main -main saja.
Saat Oppanya meminta ijin menjodohkan dirinya dengan cucu sahabatnya, Ridho menerima dengan senang hati. Apalagi saat ia melihat foto Yoan yang memang cantik dan masih muda. Sedikit labil itu kan wajar, namanya juga gadis belia.
Semua tamu spesial itu sudah pulang saat sore hari. Mereka memang menunggu Yoan yang tak kunjung datang. Bahkan tidak ada yang tahu kalau Yoan sudah pulang sejak. Tadi dan langsung tidur siang di kamarnya.
"Yoan? Kamu udah pulang?" tanya Nuri terkejut saat Yoan turun dari atas lalu membuka tudung saji untuk mencari makanan katena lapar.
"Udah Ma. Dari tadi juga. Kenapa memang?" tanya Yoan mengambil satu tempe langsung masuk mulut dan dikunyah halus agar bisa masuk tenggorokan dengan aman.
"Tadi padahal ditungguin lho," ucap Nuri lembut lalu ikut duduk bersama Yoan.
"Tungguin siapa? Emang ada tamu buat Yoan?" tanya Yoan cuek.
"Ya gak ada. Tadi kan ada Kakek ketemuan sama sahabatnya. Dia mau ketemu kamu," jelas Nuri harus bisa menyimpan rahasia oerjodohan putrinya dengan Ridho.
"Kok Kakek gak nunggu Yoan sih? Sekarang ke mana?" tanya Yoan pelan.
"Sekarang lagi ke rumah sahabatnya. Mau bikin bisnis baru. Oh ya ... Tadi pesan Kakek, kamu boleh pakai Vilanya untuk acara pesta ulang tahun kamu. Kakek akan membuatkan pesta ulang tahun yang meriah dan besar untuk kamu. Tugas kamu hanya sebar undangan saja. Paham?" titah Nuri pada Yoan.
"Serius Ma? Yoan boleh bikin pesta besar?" tanya Yoan tak percaya.
"Iya. Boleh banget," jawab Nuri ikut bahagia melihat putrinya gembira.
Yoan langsung berdiri dan mencium pipi Nuri lalu naik ke atas lagi untuk memberitahu Anggie sahabatnya untuk membantunya menyebarkan undangan pesta ulang tahunnya untuk minggu depan.
Senyum Yoan pagi ini terbit dengan manis. Ia membawa setumpuk undangan ditangannya dan membagikan pada teman se -angkatannya.
Dengan wajah ceria yang selalu tersenyum, Yoan memberikan satu per satu undangan pesta ulang tahun pada teman -temannya sebelum ia masuk kelas.
"Jangan lupa dateng ya. Tenang aja, akomodasi ditanggung semua. Kita pesta di Vila dan menginap disana."
Pengumuman itu membuat semua teman Yoan senang dan tak bisa menolak untuk hadir ke pesta ulang tahu itu.
Yoan melangkah naik ke lantai dua menuju kelasnya. Kelas sudah ditutup. Yoan mengetuk pelan. Seharusnya ia tidak terlambat. Tapi karena ia sedang senang membagi kartu undangan. Yoan lupa kalau ada kelas baru dengan dosen baru diawal semeter tiga ini.
Tok ... Tok ... Tok ...
Setelah mengetuk pintu, dengan penuh percaya diri, Yoan membuka pintu kelas itu. Yoan mencoba tersenyum di saat genting seperti itu. Biasanya dosen cowok akan luluh melihat senyum Yoan yang begitu manis dan imut.
"Maaf Pak ... Telat ..." ucap Yoan lembut dan ramah sekali.
Yoan begitu kaget saat dosen lelaki itu menoleh ke arahnya. Dosen itu adalah lelaki yang tidak sengaja ia tabrak kemarin. Lelaki yang memiliki tubuh sekeras beton tapi ganteng maksimal. "Mimpi apa Yoan semalam. Lelaki itu malah jadi dosen Yoan." Batin Yoan begitu senang. Rasa senangnya berlipat ganda. Bibir bawahnya sampai digigit keras karena gemas sendiri.
"Udah senyumnya?" ucap dosen itu dengan suara dingin dan tatapannya tajam.
"Eum ... Maaf Pak." Yoan menjadi keki setelah sedikit dipermalukan di depan teman -temannya.
Yoan segera masuk dan mencari tempat duduk dengan asal. Dari pada kena tegur lagi. Sekalian Yoan harus bisa meluluhkan dosennya ini.
Yoan duduk di bagian depan tepat di depan Ridho. Ia meletakan sisa kartu undangan yang belum selesai dibagikan pada teman -temannya. Mungkin nanti selesai kelas bakal ia selesaikan dengan cepat.
Ridho melirik sekilas ke arah kartu undangan yang ada di atas meja lalu mengedarkan pandangannya lagi ke seluruh mahasiswa yang ada di kelasnya.
"Saya ingatkan sekali lagi. Kelas saya adalah kelas yang tertib. Kalau kalian lihat kelasnya sudah tertutup dan materi sudah dimulai. Tolong kalian sadar diri untuk tidak mengikuti kuliah pada hari tersebut. Itu akan amat mengganggu konsentrasi saya dan yang lainnya. Paham?!" jelas Ridho denga wajah yang terlihat garang.
Yoan menunduk dan tak berani lagi menatap Ridho. Hilang semua rasa kagumnya dalam sekejap. Yoan begitu ilfil saat ini.
Suara dosen itu begitu terdengar menyebalkan. Apalagi wajahnya yang sok keren.
"Kalau ada yang gak suka dengan kelas saya. Silakan mengundurkan diri. Dari pada mengumpat tidak jelas di dalam hati. Satu semester itu sangat lama. Bukan waktu sebentar," jelas Ridho lagi sambil melirik ke arah Yoan.
Semua mahasiswa di dalam kelas itu memilih diam dan tetap mengikuti aturan main yang diberikan oleh sang dosen. Dari pada menyerah dan harus mengilang lagi semester depan.
Acara perkenalan dengan dosen itu sudah selesai. Dosen itu sedikit menjelaskan materi yang akan diajarkan selama satu semester ini. Setiap pagi akan selalu dimulai dengan kuis dan pengumpulan tugas minggu lalu. Fungsi kuis agar setiap mahasiswa benar -benar siap dan memahami apa yang diajarkan minggu lalu dan yang akan diajarkan pada hari ini.
Tugas pun dilakukan secara mandiri sebagai bentuk tanggung jawab untuk tambah nilai.
Dua jam setengah berada di kelas yang heningnaya seperti kuburan dan dosennya macam setan yang bikin takut satu kelas. Sungguh membuat mental bar -bar Yoan meluap.
"Nyebelin banget tuh dosen. Hari pertama udah bikin ilfil. Gimana selanjutnya. Amit -amit punya cowok model begitu," ucap Yoan mengumpat sejak tadi.
Suasana hatinya mendadak kesal. Semua kartu undangan itu ia berikan pada Anggie, sahabatnya untuk dibagikan.
Yoan benar -benar sedang tidak fokus. Pandangannya kosong saat berada di Kantin.
Bruk ...
"Maaf ..." ucap Yoan yang tak sengaja menumpahkan minuman kopi pada baju seseorang dan tak lain Ridho.
Ridhi hanya menatap Yoan lekat.
"Pak ... Saya bersihkan ya? Maaf," ucap Litha, rekan kerja Ridho.
Litha mengambil tisu kering dan membersihkan kemeja Ridho.
Yoan menunduk dan pergi begitu saja. Kanti begitu ramai. Tidak mungkin untuk Ridho menegur Yoan.