8

816 Kata
Yoan tak sadarkan diri setelah menahan rasa skait terlalu lama. Keringat dingin memenuhi seluruh tubuhnya. Sejak perjalanan pulang, Yoan sudah merasakan sakit luar biasa pada perutnya. Untung saja, Ridho gerak cepat langusng menelepon Nuri dan Hugo. Ridho bisa membuka pintu rumah itu dan membawa Yoan masuk ke kamar tamu yang ada di lantai bawah. Ridho juga langsung menelepon dokter keluarga untuk memeriksa Yoan. Nuri, Hugo, Fera, Beni serta kakek Darwin dan Opa Yosep kemungkinan akan terlambat datang. Mereka sedang mempersiapkan acara untuk pesta ulang tahun Yoan minggu depan dan dilanjutkan acara pernikahan Yoan dan Ridho. Dokter keluarga juga sudah datang dan memeriksa Yoan. Kondisi Yoan stabil hanya saja lambung mulai terserang akibat makanan pedas yang akhir -akhir ini sering dikonsumsi. "Jadi, Yoan akan baik -baik saja?" tanay Ridho begitu panik. "Nanti setelah minum obat juga akan membaik. Ingat, jangan pernah makan makanan pedas dulu untuk sementara waktu. Karena bisa memicu lambung kambuh," jelas dokter itu. "baik dok. Saya akan lebih memperhatikan menu maknaan yang dimakan oleh Yoan," jelas Ridho. Dokter itu sudah memberikan obat dan resep sebagai obat tambahan yang harus dibeli di Apotek. Semalaman ini, Ridho terpaksa mengiap dirumah Yoan. Ia membuat teh manis dan bubur agar lambung Yoan bisa mencerna makanan yang masuk ke dalam tubuh dengan baik. "Yoan ... Bangun dulu. Makan terus minum obat. Nanti kamu bisa tidur lagi," titah Ridho terpaksa membangunkan Yoan. Nasihat dokter, Yoan harus segera meminum obat lambung itu. "Eum ... Yoan dimana?" tanya Yoan yang merasa kepalanya berputar. Perutnya yang melilit seperti ditekan stagen juga sudah terasa reda. Nyeri dibagian ulu ati pun berangsur hilang. "Kamu sudah dirumah. Sekarang makan dulu, lalu minum obat. Kamu bisa duduk? Biar aku bantu?" titah Ridho pada Yoan. "Memang Yoan sakit apa?" tanya Yoan lagi. "Lambung. Ayo duduk," titah Ridho lagi dengan raut wajah datar. Ridho membantu Yoan duduk dan bersandar pada tumpukan bantal dengan sangat nyaman. Yoan menatap Ridho yang begitu lincah dan akhirnya duduk dikursi mulai menyuapi Yoan dengan teh manis sebelum makan bubur putih itu. "Kata dokter, jangan suka makan pedes. Lambung kamu itu gak kuat," jelas Ridho singkat. "Hem ..." jawab Yoan sambil menyuap bubur putih tanpa ada toping apa -apa. Rasanaya enak, gurih dan ngldu banget. "Makannya habiskan, habis itu minum obta itu," titah Ridho lagi dengan sabar menyuapi Yoan. "Bapak gakpulang?" tanya Yoan tiba -tiba. Ridho menggelengkan kepalanya pelan. "Enggak." "Kenapa gak pulang. Ini sudah malam lho," ujar Yoan sambil mentap jam dinding yang sudah menunjukan waktu tepat pukul delapan malma. "Saya harus temani kamu disini. Mama dan Papa kamu, baru pulang besok pagi" jelas Ridho lagi. "Hah? Mama sama Papa baru pulang besok. Ish! Ngeselin banget sih," umpat Yoan kesal. "Ya udah sih. Biarin aja. Tadi, Mama dan Papa kamu juga sudah nitipin kamu pada saya," jelas Ridho lagi. "Tapi ... Bapak gak boleh ada disini. Diluar aja!" titah Yoan ketus. "Iya. Setelah kamu selesai makan dan minum obat," jelas Ridho lagi. Yoan sudah selesai makan dan minum obat. Ridho begitu baik dan tulus melayani Yoan. Raut wajahnya jug atidak se -garang dan se -killer sewaktu berada di Kampus. "Pak .. Hubungan kita, jangan sampai ada yang tahu ya," pinta Yoan penuh harap. Ridho kembali duduk dikursi setelah membereskan mangkuk dan gela skotor yang siap dibawa ke dapur. "Tergantung," jawab Ridho dengan tatapan lekat pada Yoan. "Tergantung? Maksud Bapak?" tanya Yoan bingung. "Ya tergantung kondisi. Kalau memang tidak ada hal yang aneh, saya akan diam. Tapi, kalau menuntut harus menunjukkan, ya terpaksa saya harus jujur," jelas Ridho lagi. Yoan hanya bisa berdeak pelan karena kesal. "Bapak gak bisa gitu dong. Bapak kan tahu, saya ini masih remaja. Temen saya banyak, organisasi Kampus yang saya ikuti juga banyak banget, saya ini wanita sibuk dan butuh status single," jelas Yoan dengan mantap. "Hem ... Sibuk ghibah, nongkrong di Kantin Kampus, paling ke Perpustakaan sesekali saja, itu pun cuma pinjem buku n****+. Males ikut organisasi karena paling gak suka rapat sampai malam. Lagi di deketin sama Ketua BEM, namanya Yuda. Itu kan tentang kamu sebenarnya," jelas Ridho membuka informasi Yoan dengan benar dan tepat. "Lho ... Kenapa Bapak berubah jadi cenayang? Bukannya Bapak itu dosen ya?" kekeh Yoan sambil mengerucutkan bibirnya kesal. Kenapa dosen killernya ini malah tahu semuanya tntang Yoan. "Gadis remaja jaman sekarang dengan sebutan gen Z itu mudah ditebak. Hnaya bisa nongkrong, ghibah, jalan -jalan, trip, dandan, tapi otaknya kosong," jelas Ridho dengan suara yang amat pelan tapi terdengar menyakitkan sekali. "Sok tahu! Dasar dosen killer yang sangat nyebelin!" ucap Yoan mengumpat. "Emang saya nyebelin udah dari lama." Ridho segera mengambil mangkok dan gelas kotor lalu dibawa ke dapur untuk dicuci. Ridho juga membuat kopi hitam untuk menjernihkan kepalanya dan membuat tubuhnya semakin rileks. *** "Mereka itu cocok sekali. Pasti mereka sedang ngobrol dan saling mengenal," ucap Nuri begitu bersemangat. "Padahal mereka itu satu Kampus. Ridho juga mengajar dikelas Yoan. Tapi, mereka sepertinya sok tidak kenal," ujar Fera ikut mengghibah anaknya sendiri bersama besannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN