Tiara masuk ke sebuah Cafe yang tengah in di Kota Bandung. Kepalanya celingukan mencari pria yang mengajaknya bertemu. Setelah mendapatkan yang di cari, Tiara pun menghampiri meja tersebut. Tiara duduk berhadapan dengan seorang pria tampan yang bernama Alarick. Alarick bukanlah pria yang membosankan, ia hampir selalu ada bahan untuk di bahas. Tapi tetap saja otak Tiara tak bisa lepas dari pria yang bernama Bima.
"Eh aku mau ke toilet bentar ya, Rick." ucap Tiara. Sedari tadi ia menahan kencingnya karena asik mengobrol dengan Alarick. Saat keluar dari toilet ia membentur tubuh kekar seorang pria. Saat mengangkat wajahnya, Tiara sangat kaget melihat Bima tengah menatapnya tajam. "Mas... Bima..." ucap Tiara terbata.
"Mas Bima ngapain disini?"
"Harusnya aku yang bertanya seperti itu. Ngapain kamu disini bersama seorang pria." ucap Bima kesal. Tiara mengerutkan dahinya, "Kenapa juga Mas harus tahu kenapa aku disini bersama seorang pria. Aku rasa itu bukan urusan Mas."
Tiara beranjak pergi meninggalkan Bima. Pria itu kesal lalu menarik tangan Tiara kearah pintu belakang cafe, lalu memasukkannya ke dalam mobil. "Apa-apaan sih, Mas!" protes Tiara kesal karena Bima seenaknya menarik tangannya dengan kasar.
"Mas buka pintunya. Aku mau keluar!" Bima tak menghiraukan protesan Tiara yang memintanya untuk keluar. Ia mengunci pintu mobil lalu segera pergi dari sana. Protesan Tiara berhenti begitu saja saat layar ponsel Bima muncul nama 'Mama Atid's calling'. Tiara sontak memalingkan wajahnya kearah jendela. Ingin rasanya menulikan telinga untuk tidak mendengar obrolan suami istri itu tapi tak bisa.
"Maaf sayang, Papa ngga sempet kabari mama tadi. Papa dapat telpon dari kantor kalau ada problem di proyek baru. Papa buru-buru pergi, ini lagi di jalan." ucap Bima kepada istrinya.
Tiara mendengar gerutuan istri Bima yang kesal karena Bima pergi meninggalkannya sendirian di cafe. Sikap manis Bima makin membuat Tiara kesal. Tiara juga baru ingat dengan tas dan ponselnya yang tertinggal di cafe. "Mas mau bawa aku kemana? Tas dan ponsel aku ketinggalan di cafe." ucap Tiara saat melihat Bima memutus telponnya dengan Astrid.
"Nanti Mas belikan yang baru." ucapnya datar. Tiara berdecih. Bima melirik tajam. "Mas ngga suka kamu kayak gitu."
"Apa?!"
"Mas ngga suka kamu berdecih seperti tadi."
"Terus? Emangnya aku peduli. Emangnya Mas siapanya aku pake larang-larang segala."
Tiara melihat aura Bima semakin menggelap, ia sangat takut tapi ia tak mau terintimidasi. "Kamu... Akan mendapat hukuman untuk sikap tidak patuh mu itu!" ucap Bima menggeretak. Jari-jarinya memutih karena meremas kemudi dengan kencang.
***
Sementara itu, Wahyu sangat geram saat Alarick datang ke rumahnya untuk menyerahkan tas milik Tiara yang tertinggal. Ia sangat malu karena Tiara tiba-tiba meninggalkan Alarick begitu saja tanpa alasan yang jelas.
"Maafkan Tiara, Den. Saya benar-benar malu melihat tingkah keponakan saya itu. Saya benar-benar minta maaf." ucap Wahyu tertunduk malu sambil menahan amarahnya untuk Tiara.
Alarick tersenyum miris, "Tidak apa-apa Amang Wahyu. Bukankah sedari awal Tiara memang tidak ingin bertemu dengan saya, tapi Amang memaksa untuk bisa bertemu. Menurut saya sikap Tiara wajar."
"Tetap saja salah den. Bagaimana pun juga Tiara sudah berjanji pada saya untuk tidak berulah, tapi saya tidak menyangka kejadiannya akan seperti ini. Saya benar-benar minta maaf untuk aden dan juga tuan."
Alarick bersikap biasa, menahan amarah karena ia pun sangat kesal dengan Tiara. Apalagi ia memergoki Tiara pergi dari cafe dengan seorang pria. Ia tak sengaja memergoki mereka saat menyusul Tiara ke toilet.
Alarick sangat kaget saat tahu seorang pria Tiara membawa Tiara pergi. Yang membuatnya sangat kesal adalah kenapa ia harus berbohong pergi ke toilet jika ia ingin pergi meninggalkannya. Toh kalau pun Tiara tidak nyaman dan ingin pulang Alarick tak akan menahannya.
Sombong sekali dia, pikir Alarick.
"Sekali lagi saya mohon maaf den atas ketidaksopanan Tiara hari ini. Mohon jangan di masukkan ke hati. Saya janji kali ini Tiara tidak akan mengulang kesalahan yang sama."
"Maksud Amang?"
"Saya akan mengadakan perjamuan dirumah. Saya akan mengundang aden sekeluarga ke rumah saya, kita akan membahas soal pernikahan antara aden dan Tiara."
Alarick berdecih, "Amang bercanda?! Bagaimana bisa terjadi pernikahan kalau Tiara sudah memiliki kekasih." Jawaban Alarick mengagetkan Wahyu. Sejak kapan Tiara memiliki kekasih, dan bagaimana bisa ia tidak tahu tentang itu pikirnya.
"Apa?! Kekasih? Setahu saya Tiara belum memiliki kekasih den. Mungkin aden salah..."
"Jadi menurut Amang aku mengarang cerita, begitu?!" ucap Alarick tak terima. Wahyu kembali membungkukkan tubuhnya, kali ini lebih dalam.
"Ampun den ampun. Saya tidak berani mengatakan kalau Aden berbohong. Maafkan saya den. Setahu saya Tiara masih single den."
"Tapi nyatanya keponakan mu itu pergi meninggalkan saya dengan seorang pria!" bentak Alarick sambil menggebrak meja. Amarahnya sudah tidak bisa dibendung lagi. Wahyu bergidik ngeri. Ia masih belum berani mengangkat tubuhnya untuk melihat kemarahan Alarick.
"Berani-beraninya dia pergi begitu saja meninggalkan ku. Aku tak mau tahu, Tiara harus menjadi milik ku bagaimana pun caranya. Tak ada yang boleh memiliki Tiara selain aku, mengerti!!"
"Saya mengerti den. Tiara hanya milik Aden seorang, saya akan pastikan itu." ucap Wahyu bersungguh-sungguh.
"Makanya lakukan dengan benar. Aku tak mau ada kesalahan lagi." Alarick pergi meninggalkan rumah Wahyu dengan amarah menyesakkan d**a. Alarick memberi kesempatan terakhir untuk Wahyu dan Tiara, jika kali ini gagal jangan harap mereka bisa hidup dengan tenang, ucap Alarick memperingati Wahyu sebelum ia pergi meninggalkan rumah Wahyu.
"Jangan sampai kamu berulah lagi Tiara. Jika itu terjadi, kamu yang akan mati di tangan Mamang sebelum Mamang mati di tangan keluarga Birowo." ucap Wahyu dengan gigi gemeretuk menahan amarahnya.
Ia pun segera masuk ke dalam rumah. Di panggilnya sang istri yang sedari tadi bersembunyi di kamar. "Kita harus memberi pelajaran untuk gadis tak tahu di untung itu, Bu. Nyawa keluarga kita ada di tangannya."
Sri sang istri pun mengangguk. Keduanya bersiap berangkat ke rumah Tiara untuk memberi sedikit pelajaran untuk gadis tersebut.
***
Bima membawa Tiara ke sebuah rumah nan asri. Setibanya di sana Tiara dipaksa masuk ke dalam rumah. "Mas lepasin tanganku. Sakit tahu." ringis Tiara sambil menarik-narik tangannya agar terlepas dari cengkraman Bima.
Dengan sekali sentak, tubuh Tiara membentur d**a bidang Bima, belum sempat bicara Bima melumat bibir Tiara dengan paksa. Tiara menjerit-jerit meronta-ronta ingin dilepaskan. Bima mendorong Tiara menuju kamar dan membaringkannya di atas ranjang.
"Lepas Mas!" ronta Tiara.
"Akan ku tunjukan hukuman untuk wanita ku yang berani-berani selingkuh di belakang." ucap Bima. Wanita ku? Sejak kapan aku jadi wanitanya?!
Bima mencengkram kedua tangan Tiara di atas kepalanya. Tubuh kekarnya mengukung tubuh mungil Tiara. Ia memperhatikan Tiara yang terus menerus bergerak, Tiara mendongakkan kepala. Keduanya saling bertatapan.
Entah siapa yang memulai, sebuah kecupan berubah menjadi lumatan mesra yang makin lama semakin panas. Bima melepaskan kedua tangan Tiara dan menyampirkannya di lehernya. Tiara memeluk leher dan pinggang Bima dengan erat. Kepalanya bergerak-gerak saat ciuman Bima perlahan turun ke lehernya, menyesap dan memberikan tanda kepemilikan di kulit mulusnya.
Perlahan pakaian keduanya berserakan di lantai, yang tertinggal hanya penutup terakhir milik mereka. "Mas... Bimaa" desah Tiara sembari meremasi rambut Bima yang tengah asik menghisap dan memainkan nipplenya.
Bima mengedipkan sebelah matanya, Tiara memekik saat dua jari Bima memasuki wilayah intimnya yang sudah basah. Tiara bergerak tak nyaman saat klitnya di mainkan oleh Bima.
"Mas... Jangaan..."
"Kenapa hm, kamu lebih suka cowok tadi yang melakukan ini?!" ucap Bima kesal. Ia menjepit klit Tiara sehingga teriakan Tiara semakin keras terdengar. Tiara menggelengkan kepalanya, tangannya berusaha menarik tangan Bima dari bawah sana. "Ini belum masuk ke hukuman yang sebenarnya, ini baru pemanasan karena kamu berani-beraninya jalan sama cowok lain."
"Tiara bisa jelasin Mas, tapi tolong lepaskan tangan Mas dulu." ucap Tiara terbata menahan nyeri, ngilu dan enak.
"Penjelasan apa lagi. Apa karena aku menolak kamu waktu itu jadi kamu bisa bebas ketemu pria mana pun, begitu!"
Bima yang kesal membungkam ringisan Tiara dengan mulutnya. Tiara membalas ciumannya. Tiara pun mulai menjelaskan kenapa ia bisa ketemu pria yang bernama Alarick di Cafe tersebut. Itu semua atas paksaan pamannya yang hampir setiap hari menerornya untuk ketemu Alarick meski hanya sekali. Tiara tak mengetahui kalau Bima ada disana, makanya ia sangat kaget bertemu Bima yang menatapnya penuh emosi.
"Kamu ngga bohong?" Tiara menggelengkan kepalanya.
"Aku udah pernah bilang sama Mas kalau aku mencintai Mas. Ngga peduli Mas sudah menikah atau belum aku tetap mencintai Mas. Aku bertemu dengan Alarick hanya karena terpaksa." ucap Tiara dengan tatapan sendunya.
Tangannya mengelus wajah tampan Bima, mengusap-usap jambang tipis kesukaannya. Bima mencium tangan Tiara. "Jangan pernah bertemu pria lain tanpa seijinku, mengerti!"
Tiara tersenyum, "Mengapa begitu? Bukankah Mas sudah menolakku? Kenapa juga aku tidak boleh bertemu pria lain. Ku rasa Alarick pria yang baik meski aku belum mencintainya." ucap Tiara memancing Bima yang menatapnya tajam.
"Kamu milikku Tiara!"
Bima melumat bibir Tiara sebagai pelampiasan kemarahannya. Tanggannya dengan cepat melepas penutup terakhir milik Tiara. Tiara naked dibawah kungkungannya. Tak perlu waktu lama bagi keduanya menikmati malam panas bersama.
***
Bima tak bisa tidur. Ia masih teringat pergumulan panasnya dengan wanita cantik yang terlelap di pelukannya. Bima memandang wajah ayu Tiara yang tampak lelah melayani gairahnya. Bima nyaris merenggut keperawanan gadis itu, tapi tak ia lakukan. Ia hanya menggesek miliknya yang sudah menegang di area labia mayora saja.
Tiara berkali-kali memohon padanya untuk melakukannya tapi ia tak ingin. Bima dibuat klimaks berkali-kali meski bergesekan diluar. "Maaf sayang, belum saatnya." bisik Bima sambil mengecup bibir manis itu.
Sementara itu, Wahyu semakin berang saat tahu Tiara tidak pulang ke rumah. Dari sore hari ia menunggu kepulangan Tiara hingga larut malam tapi Tiara belum juga pulang. Ia berkali-kali menelpon tapi ponselnya di matikan.
Wahyu mengumpat, "b******k kamu, Tiara!!"
"Sudahlah Pak percuma kita menunggu gadis yang tak tahu di untung itu. Lebih baik kita pulang dan beristirahat, besok pagi kita kemari lagi untuk memberi anak itu pelajaran." Wahyu terdiam sejenak lalu memutuskan untuk pulang ke rumah mereka.
***
Tiara menggeliat. Saat membuka matanya ia langsung menutupi tubuhnya dengan selimut. Bima tertawa melihatnya. "Kenapa malu,hm?" Bima menyibak selimut yang menutupi tubuh polos Tiara.
"Malu Mas." ucap Tiara sambil menyembunyikan wajahnya.
"Ayo bangun sayang, Mas laper nih." ucap Bima turun dari tempat tidur. Bima terlihat segar karena sudah lebih dulu mandi.
"Jangan lama-lama mandinya ya." Bima pergi keluar kamar meninggalkan Tiara. Gadis itu mendesah. Wajah merona mengingat pergumulan mereka semalam.
Bima memang tidak mengambil harta miliknya, ia hanya menggeseknya di luar tapi kenikmatannya tiada tara. Ia membayangkan bagaimana rasanya kalau milik Bima tertanam sepenuhnya di dalam tubuhnya. Baru membayangkannya saja membuat tubuhnya merinding. Tiara pun bergegas turun dari ranjang dan beranjak ke kamar mandi membersihkan sisa-sisa muntahan s****a Bima di tubuhnya.
"Mas mau masuk dulu." ucap Tiara saat mobil Bima berhenti di depan rumahnya. Bima mengecup tangan Tiara yang sedari tadi di genggamnya.
"Mas langsung pulang aja. Mau ganti baju terus ke kantor."
"Bukannya libur ya? Ini kan hari minggu Mas." tanya Tiara penuh selidik.
"Memang. Tapi minggu ini lagi sibuk-sibuknya, hampir semua pegawai masuk. Masa iya bosnya ungkang-ungkang kaki dirumah."
"Oh gitu, ya udah hati-hati ya Mas. Jangan telat makan siang."
"Iya sayang." Bima mengecup dahi Tiara. "Oh iya gimana kalau kamu anterin makan siang untuk Mas."
"Emang boleh Mas? Nanti Mba Astrid marah ada yang anter makan siang untuk suaminya."
"Boleh donk sayang. Nanti Mas pesenin di lobby kalau ada yang anter makan siang untuk Mas. Astrid ngga akan marah, dia pasti anggapnya ojek online yang anter makanan. Udah tenang aja Mas kangen masakan kamu."
"Kalau begitu ya udah deh nanti Tiara masakin buat Mas ya."
"Makasih sayang." Keduanya berciuman. Tiara pun melambaikan tangan setelah turun dari mobil.
Saat pintu rumah di buka sebuah tamparan melayang sangat kencang di pipi kanannya. Tiara terjatuh di lantai, saat kepalanya mendongak ke atas matanya membelalak melihat sang paman dan bibinya berdiri menjulang menatap dirinya sangat tajam.
"DASAR p*****r!!"
***
Tiara memegangi wajahnya yang berdenyut karena tamparan pamannya. "Mamang Bibi ada apa ini? Kenapa aku..."
"Dari mana aja kamu, hah! Dasar anak ngga tahu di untung, berani-beraninya kamu pulang sesiang ini. Di bayar berapa kamu hah?" Wahyu mencengkram wajah Tiara dengan keras, membuat gadis itu meringis kesakitan.
"Sakit Mang." Ringis Tiara.
"Halah jangan pura-pura kamu. Dibayar berapa duit sama cowok yang anter kamu tadi. Sini duitnya." sahut Sri
"Duit apa Bi? Tiara ngga paham." Sri menarik rambut Tiara dengan kuat, kepalanya melenting ke belakang. Tiara memekik kesakitan. Air matanya mulai berjatuhan.
"Haduh pake pura-pura bego segala lagi, heh sejak kapan kamu jadi p*****r hah. Tahu kamu jadi p*****r mah Bibi dagangin kamu dari dulu. Berapa harga jual kamu? Bibi bisa minta harga lebih tinggi lagi dari cowok itu."
Tiara tak percaya bibi dan pamannya berpikir kalau ia menjual dirinya. Percuma juga ia menjelaskan apa yang terjadi karena paman dan bibinya tak mau mendengar apapun. Pukulan dan tendangan pun mendera tubuhnya yang ringkih.
Di beberapa bagian tubuhnya mulai lebam dan berdarah. Tangisan Tiara seolah tak di anggap oleh Wahyu dan Sri. Setelah puas melampiaskan kemarahannya kepada Tiara, mereka pun melenggang pergi meninggalkan Tiara yang sudah tidak berdaya.
***
TBC