Dibedakan Oleh Mertua
"Mia, beresin dapur dulu! Habis itu cuci semua piring kotor dan sapu rumah! Baru istirahat! Jangan malas! Perempuan kok hobinya malas-malasan!" teriak mertuaku saat aku baru saja duduk setelah sedari pagi berkutat dengan pekerjaan dapur, membantu Mbak Yem, tukang masak yang biasa dipanggil untuk bantu-bantu masak menyiapkan hidangan acara arisan yang baru saja selesai dilangsungkan di kediaman ibu mertuaku ini.
Para tamu sudah pulang. Tinggal aku, ibu mertua, Cindy dan Mila, dua adik iparku, serta Mbak Mira dan Mbak Sri, dua menantu ibu yang lain yang saat ini masih berada di rumah besar milik ibu mertua.
Beda denganku yang baru saja duduk, dua menantu ibu dan dua adik iparku itu justru sudah sedari tadi duduk manis sambil menikmati hidangan acara yang susah payah aku dan Mbak Yem siapkan.
Tapi herannya, ibu mertua malah mengatakan kalau sedari tadi aku hanya bermalas-malasan saja. Sementara mereka yang sedari tadi hanya cekikikan di ruang tamu, malah tak ditegur dan diingatkan sama sekali.
Ah, apa ibu mertuaku ini sudah mulai pikun atau berkurang pengelihatannya ya sampai-sampai tak bisa melihat dengan jelas apa yang telah terjadi? Tak urung aku bertanya heran dalam hati.
Mendengar ucapan ibu mertua, aku pun menghela nafas gundah. Nasib memang tinggal di rumah mertua, apalagi mertua model ibu suamiku ini. Baru saja hendak istirahat sejenak ingin mencicipi sisa hidangan acara, aku sudah ditegur dengan keras seperti ini.
Apa iya, jadi menantu itu harus seperti ini? Rela diperlakukan semena-mena oleh mertua? Tapi kalau iya, kenapa hanya padaku saja ibu mertua bersikap seperti ini? Sedangkan pada Mbak Mira dan Mbak Sri, ibu mertua selalu bersikap baik. Bahkan kelewat baik malah.
Tahu kedua kakak iparku itu sedari tadi hanya ongkang-ongkang kaki saja di ruang tamu, ibu mertua tak pernah protes dan menegur. Ibu mertua justru terlihat welcome dan asyik asyik saja bercengkrama dengan mereka.
Tapi denganku yang sedari pagi belum juga beranjak dari pekerjaan rumah, ibu mertua malah menuduhku malas-malasan saja. Apa sih sebenarnya yang diinginkan oleh ibu Mas Fahmi ini padaku?
"Sebentar, Bu. Mia capek sekali, pengen istirahat dulu. Dari pagi tadi Mia 'kan di dapur aja bantuin Mbak Yem masak. Mia pengen istirahat sebentar, Bu. Capek!" sahutku sembari hendak meraih potongan bolu pandan yang tadi kubuat bersama Mbak Yem di dapur untuk mengganjal perut yang lapar.
Namun, baru saja hendak mengulurkan tangan mengambil potongan bolu itu, Ibu mertua sudah memukul punggung tanganku dengan keras, mencegahku mengambil potongan kue itu.
"Jangan disentuh! Jangan biasakan mengambil makanan orang sembarangan! Izin dulu! Lancang! Kamu pikir makanan di rumah ini gratis? Bayar dulu! Kalau nggak punya uang, minimal bayar pakai tenaga kamu!"
"Cepat bersihkan rumah ini dulu! Cuci semua piring kotor dan pel semua sudut rumah, baru kamu boleh makan dan istirahat!" teriak Ibu mertuaku lagi dengan nada kasar dan sinis.
Mendengar perkataan ibu mertua, hatiku rasanya sakit dan nelangsa bukan main. Baru dua bulan aku menikah dengan Mas Fahmi, berharap bisa memiliki rumah tangga yang baik bersamanya, tapi bukan kebahagiaan menjadi pengantin baru yang aku dapatkan dengan hidup bersamanya melainkan kesengsaraan demi kesengsaraan seperti ini.
Kalau tak ingat, kondisi bapak dan ibu yang sudah tua dan saat ini tentu saja berharap rumah tangga anak satu satunya ini baik baik saja dan akur akur saja dengan suami dan mertua, mungkin sudah aku tinggalkan Mas Fahmi dari kemarin, pulang kembali ke rumah orang tua.
Rasanya tak sanggup lama lama tinggal di rumah orang tua suami yang penuh kesengsaraan ini. Hanya demi sesuap nasi pengganjal perut saja, aku sampai harus rela diperlakukan dengan hina dan rendah oleh mertua seperti ini.
Ya. Dari awal menikah, perlakuan ibu mertua padaku memang tak pernah baik. Ia selalu membeda-bedakan aku dengan dua menantunya yang lain.
Aku diperlakukan bak pembantu di rumah ini. Sedangkan mereka diperlakukan seperti ratu. Apa karena orang tuaku miskin lalu ibu mertua tega memperlakukanku seperti itu? Entahlah.
Aku hendak beranjak pergi ke kamar karena tak ingin meladeni perkataan dan perlakuan ibu mertua yang makin menyakitkan saja tetapi baru saja aku melangkah, ibu mertua telah kembali berseru keras.
"Heh! Mau ke mana kamu, menantu miskin dan pemalas! Kamu nggak dengar Ibu nyuruh apa? Beresin dulu rumah ini baru kamu boleh istirahat! Dengar!" hardik beliau kembali tanpa perasaan, membuat langkah yang telah aku ayunkan, kuhentikan mendadak.
"Iya, main pergi aja seenaknya! Kamu nggak dengar ibu nyuruh apa? Sudah miskin, b***k lagi!" timpal Mbak Sri pula tiba tiba dari arah belakang tanpa perasaan, disambut tawa cekikikan Mbak Mira, Cindy dan Mila yang mungkin merasa lucu mendengar perkataan kakak iparnya itu.
Mendengar itu, sebisa mungkin kutahan amarah yang menggelegak di dalam d**a. Seperti apa pun penghinaan mereka, aku tak boleh terpancing emosi hingga berkata-k********r. Aku harus tetap tenang menghadapi keangkuhan mereka tanpa perlu bertindak kasar dan kehilangan kewarasan.
Perlahan aku pun membalikkan tubuh dan kali ini dengan segenap keberanian, mencoba menantang keangkuhan sikap mertua dan kakak kakak iparku itu.
Hal yang selama ini selalu coba aku hindari karena beranggapan tak baik melawan orang yang lebih tua yang harusnya dihormati dan ditinggikan kedudukannya.
Tapi melihat semakin ke sini semakin menjadi-jadi perlakuan ibu dan kakak kakak iparku ini, rasanya aku pun tak bisa lagi membendung rasa emosi dan tak mampu lagi terus menerus bersabar.
Aku harus melakukan perlawanan supaya mereka tahu kalau aku juga bukan perempuan lemah yang akan manut saja diperlakukan seperti apa pun oleh mereka.
Perlahan aku pun membuka mulut dan tersenyum sinis.
"Maaf, Mbak. Siapa yang b***k ya? Aku atau Mbak? Kalau Mbak nggak b***k tentu aja Mbak bisa dengar suara orang cuci piring di belakang sedari tadi! Iya kan?!"
"Tapi kayaknya telinga Mbak juga sudah nggak berfungsi dengan normal ya? Jadi nggak dengar suara orang cuci piring di belakang! Dan orang itu siapa lagi kalau bukan aku! Orang yang Mbak bilang b***k, padahal sepertinya bukan aku yang b***k!"
"Yang b***k itu yang dari tadi dengar suara orang cuci piring dan sibuk di belakang tapi pura pura nggak dengar karena dia yang sebenarnya b***k dan pemalas! Dan aku rasa tanpa perlu aku bilang pun, Mbak juga sudah tahu siapa orangnya!" jawabku dengan nada tenang.
Setelah itu aku menoleh pada Ibu mertua dan berucap dengan nada tenang yang sama di depan beliau.
"Dan Ibu ... Maaf! Aku bukan pembantu yang bisa Ibu suruh suruh melakukan semua pekerjaan rumah tangga di rumah ini tanpa jeda! Kalau Ibu mau semua pekerjaan rumah ini beres dan rapi, cari pembantu! Bukan menantu, Bu!" tandasku dengan nada dingin.
Setelah itu aku berjalan pelan menuju kamar, meninggalkan kakak ipar, adik ipar, dan ibu mertua yang terlihat bengong mendengar perlawanan ku kali ini.