“S-Siapa Anda!?” Dengan bibir yang gemetaran, Naomi berusaha memberanikan diri untuk bertanya pada sosok perempuan yang berdiri tepat di depannya.
Bukan hanya Naomi yang panik, semua orang yang ada di gondola sama-sama kaget dan bingung dengan kemunculan tiba-tiba dari perempuan asing tersebut, apalagi suasana sedang cukup gelap, sehingga mereka tidak bisa memperkirakannya dengan jelas bagaimana rupa wajah dari perempuan itu.
Di kala situasi jadi hening dan pergerakan gondola mulai mengendur dan melambat, akibat dari kekagetan para pahlawan yang membuat mereka secara serempak menghentikan aktivitas dayung-mendayung untuk berdiri memandangi sosok asing tersebut, mendadak perempuan misterius itu terbahak-bahak begitu nyaring, mengeluarkan suara wanitanya yang cukup merdu, ternyata jika didengar baik-baik, suara perempuan itu tidak begitu asing di telinga mereka.
Bahkan, Colin saja langsung refleks menyebut nama, “ISABELLA!?” Dengan muka tegang dan bola mata yang membulat, nyaris melompat dari kelopak matanya.
Namun, itu reaksi yang wajar, karena kembalinya sosok yang mereka kira telah menghilang ditelan lautan, membuat mereka terbelalak saking kagetnya.
Ombak masih menggoyang-goyangkan gondola, angin dan kilatan suara petir yang begitu kencang masih menggelegar-gelegar begitu hebohnya. Seharusnya mereka melanjutkan kegiatan mendayungnya seperti sebelumnya, tapi sayangnya saat ini mereka tidak bisa melakukannya untuk sementara, karena satu-persatu dari mereka berjalan mendekati Isabella yang sedang berdiri di dekat Naomi, mengerubungi perempuan berambut merah panjang itu dengan seruan dan juga tangisan.
"Saya kira Anda sosok malaikat yang hendak mencabut nyawa saya," sengguk Naomi sambil memeluk erat tubuh Isabella dengan dua tangannya yang melingkar di badan langsing perempuan itu. "Tapi ternyata dugaan saya salah! Saya sangat senang melihat Anda kembali kemari dengan kondisi yang baik-baik saja, Isabella."
"Ayolah, Naomi? Mana mungkin, kan? Perempuan jalang sepertiku menyerupai sesosok malaikat?" Isabella mengusap-usap punggung Naomi yang terasa hangat. "Ya ampun, kau ini ada-ada saja, ya."
"Isabella!" Tiba-tiba Lizzie berseru dengan berjalan gagah mendatangi Isabella, membuat sesi pelukannya dengan Naomi terlepas secara mendadak.
"Oh, hai, Lizzie? Apa kau juga merindukanku?" sahut Isabella dengan tersenyum jahil.
"Sebenarnya dari mana saja kau selama ini, b******n!" Bukannya menyambut kembalinya Isabella dengan kata-kata yang penuh tangis dan haru, Lizzie malah menyerang perempuan mantan p*****r itu dengan seruan-seruan bernada tegas dan keras, selayaknya polisi yang sedang menginterogasi seorang penjahat.
Bukan cuma itu, Lizzie juga menarik lengan kanan Isabella agar mereka berdua saling bertatap mata dalam jarak yang begitu dekat, membuat perempuan bertubuh seksi itu sedikit ngeri melihat amarah yang berkobar-kobar begitu besar di tiap bola mata gadis tomboi itu, selain itu ia juga agak terganggu dengan deru napas si gadis tomboi yang sangat nyaring, tampak terengah-engah menimbun segala amarahnya.
Tapi, Isabella mencoba mengubur kengerian dan ketakutannya dengan menyunggingkan senyuman tipis yang terkesan santai, perempuan berambut merah itu mengangkat jari telunjuknya di tangan kiri untuk menyentuh dan menekan hidung Lizzie secara lembut.
"Sudah kuduga, kau pasti sangaaaaaat merindukanku, kan?" Isabella terkikik-kikik tepat di hadapan Lizzie, menunjukkan ketenangannya meskipun saat ini dirinya sedang berhadapan sangat dekat dengan gadis pemarah tersebut. "Semua itu tertampak jelas dari raut wajahmu yang begitu kesal dan jengkel seperti seorang seorang gadis mungil yang marah karena ditinggalkan oleh orang tersayangnya begitu lama, menyebabkan kerinduannya jadi tak tertahankan, aku benar, kan, Lizzie?"
Sadar dirinya sedang dipermainkan oleh Isabella, muka Lizzie langsung memerah pekat saking malunya. Dia pun segera menarik kepalanya dari dekat wajah Isabella dan membalikkan badannya, berjalan pergi sambil mengepalkan tangannya.
"Inilah yang kubenci dari b******n seperti dia!" pekik Lizzie setelah kembali duduk ke posisi mendayungnya. "Tapi yang jelas! Kalau kau hilang lagi seperti tadi, kami akan meninggalkanmu, b******n!"
"Tenang saja, kau tidak perlu bersedih begitu, Lizzie. Aku tidak akan membuatmu tersiksa karena merindukanku lagi, kok. Jadi tenang saja, Lizzie~" timpal Isabella dengan tersenyum jahil sembari memeletkan lidahnya ke sosok Lizzie yang sedang menggeram kesal.
"Waw! Aku tidak percaya bisa melihatmu lagi, Isabella!" seru Jeddy dengan tersenyum lebar, menunjukkan kebahagiaannya dalam menyambut kemunculan Isabella.
Mendengar itu, dengan anggun Isabella memutar lehernya, mengalihkan pandangannya dari Lizzie ke sosok lelaki berwajah riang, berbadan kekar, dan berambut hijau jabrik.
"Aku juga tidak percaya bisa melihat senyumanmu lagi setelah sebelumnya kau sempat berdebat dan bertengkar dengan teman-teman kita, Jeddy," sindir Isabella dengan tertawa jahil, membuat Jeddy dan beberapa orang yang pernah terlibat pertengkaran dengan lelaki itu sedikit tersinggung dan terdiam. "Tapi apa pun itu, syukurlah aku bisa kembali bersama kalian lagi, ya." ucap Isabella yang kini perhatiannya diperlebar ke muka kawan-kawan sesama pahlawannya yang lain.
"Tidak!" Seketika Cherry berseru sedetik setelah suara petir yang bergemuruh berdentum sangat keras di langit, membuat semua orang yang mendengarnya terkejut secara bersamaan, mereka semua langsung menoleh ke posisi berdirinya si gadis mungil itu, begitu pula dengan Isabella. "Cherry tidak boleh bahagia dulu!" sambung Cherry dengan terisak-isak menahan tangisnya. "Cherry harus menahan kebahagiaan ini karena Abbas masih belum ditemukan! Cherry tidak berhak berbahagia hanya karena Isabella telah kembali! Kalau Cherry melakukan itu--hiks!--artinya Cherry telah melupakan dan mengabaikan kondisi Abbas yang belum ditemukan!"
Tersentuh dengan perkataan Cherry, Isabella menyembunyikan rasa harunya dengan terkikik-kikik ria seolah-olah menertawakan omongan gadis mungil berambut merah muda itu, itu pun membuat kesalahpahaman semakin membesar karena teman-temannya yang lain pun tidak suka melihat tingkah perempuan berambut merah itu yang terkesan meremehkan perasaan Cherry.
"Apa yang kau tertawakan, Isabella?" Tidak paham pada sikap perempuan itu, akhirnya Victor bersuara dengan menanyakan hal itu sembari memasang wajah bingungnya yang dihiasi alis mengkerut, bibir mengerucut, dan bulir keringat yang membasahi kening.
Memandangi Isabella, Koko juga merasa kalau reaksi yang ditunjukkan perempuan bertubuh seksi itu terlalu berlebihan dan tidak pantas, karena itu pasti bakal membuat hati Cherry terasa sakit sebab perasaan khawatirnya dianggap sebagai sesuatu yang lucu dan malah ditertawakan.
Begitu pula dengan Nico dan Colin, mereka jadi saling pandang ketika Isabella mulai tertawa sebegitu renyahnya di hadapan mereka semua. Colin berpikir bahwa Isabella tidak bisa membaca situasi sedangkan Nico malah sebaliknya, dia mulai menyimpulkan mungkin saja Isabella melakukan itu hanya untuk menutupi rasa harunya, tapi ia masih meragukan pemikirannya sendiri.
Jeddy hanya memiringkan kepalanya sementara Naomi menggeleng-gelengkan kepalanya.
Lizzie tidak begitu peduli dengan semua itu karena dia sedang duduk santai di belakang teman-temannya yang tengah berdiri, sedangkan Cherry hanya terdiam saat segala perkataannya ditertawakan oleh Isabella, dia cuma mematung sambil menundukkan kepalanya.
"Maafkan aku, Cherry. Itu terdengar sangat menyedihkan sampai aku jadi tertawa sendiri setelah mendengarnya," ucap Isabella disela-sela tawanya, sampai akhirnya ia menghentikkan dan menyudahi sesi ketawanya dan mulai menjawab dengan serius sambil matanya menatap fokus pada Cherry yang masih sedang menundukkan kepala. "Jangan khawatir, Cherry. Aku paham pada perasaanmu, pasti menyakitkan, kan? Saat salah satu dari teman kita pergi begitu saja dari sisi kita, aku sangat memahami itu. Tapi kau tidak perlu mengkhawatirkannya, karena berdirinya aku di sini pun, itu berkat pertolongan dari Abbas."
Sontak, jawaban yang dilontarkan oleh Isabella berhasil membuat semua teman-temannya terkesiap saking terkejutnya, bahkan Lizzie saja sampai kembali mengangkat kembali tubuhnya untuk berdiri dan Cherry pun mendongakkan kepalanya dengan mata yang membelalak, memperhatikan wajah Isabella yang tersenyum tenang di depannya.
"B-Benarkah!?" pekik Cherry dengan suara imutnya yang begitu nyaring, teman-temannya yang lain juga tampak ingin memastikan hal itu pada Isabella sebab mereka sama kagetnya seperti gadis mungil itu. "Kau tidak berbohong, kan, Isabella!? Kau tidak mungkin berbohong, kan, pada Cherry!?"
Menggelengkan kepalanya dengan santai, Isabella memandangi Cherry dengan sorotan mata yang hangat. "Untuk apa aku harus berbohong?"
"Itu tidak masuk akal!" Setelah dari tadi hanya diam dan menyimak, kini Nico kembali mengeluarkan argumennya, tidak peduli kalau teman-temannnya jadi tegang saat dirinya berbicara. "Mana mungkin dia masih hidup setelah menenggelamkan diri di air laut mati! Kau pasti tidak serius mengatakannya! Kau pasti cuma berbohong, Isabella!"
"Sebetulnya, aku sendiri juga bingung, tapi jika kau memang membutuhkan bukti yang akurat, maka lihatlah diriku. Apakah kau berpikir aku datang kemari sendirian? Dengan berenang di permukaan air yang sangat berbahaya? Bukankah itu terlalu mustahil? Aku benar, kan? Nico?"
Isabella mengambil langkah dan mendatangi sosok Nico yang sedang berdiri di samping Colin.
"Kau mau apa mendekati kami!?" Colin agak panik, tapi Isabella segera mengedipkan mata sebelah kanannya pada si pelayan kedai agar diam.
"Apa yang mau kau lakukan di dekatku, Isabella?" tanya Nico dengan keringat yang membasahi wajahnya. Ia sedikit cemas karena Isabella adalah satu-satunya sosok di antara para pahlawan bimbingan Paul yang ia anggap sebagai rival, sebab kecerdasan perempuan itu nyaris sebanding dengannya, dan itulah yang membuatnya jadi khawatir saat perempuan itu mendekatinya.
"Aku cuma penasaran," bisik Isabella tepat di telinga Nico, dengan sengaja mendesah-desahkan suaranya. "Sebenarnya jalan pikiranmu itu tertuju ke arah mana, ya?"
Sesaat mendengar pertanyaan itu, Nico dengan tergesa-gesa, memundurkan posisinya, menghindari sosok Isabella yang ada di dekatnya, membuat Colin dan juga pahlawan-pahlawan yang lain keheranan.
"Atas dasar apa kau menanyakan soal itu padaku!?"
"Hmmm?" Isabella melirik wajah Nico dengan kelopak mata yang sendu. "Aku pikir aku bakal menemukan sesuatu yang menarik jika kau menjawab pertanyaanku, tapi sepertinya percuma saja, ya? Kau ini, kan, keras kepala, sama seperti Paul, Lizzie, dan juga diriku~" goda Isabella dengan terkikik-kikik.
"Hoi! Dari pada kau mempermainkan lelaki payah itu, sebaiknya kau jelaskan pada kami, pertolongan apa yang kau maksudkan dari Abbas!? Apakah dia membantumu berenang di lautan atau bagaimana!?" raung Lizzie dengan nada yang menggeram layaknya singa yang hendak menerkam mangsanya.
Tentu saja Isabella langsung menoleh ke sosok Lizzie saat gadis tomboi itu bersuara, lalu perempuan itu mengulum senyum dan merespon santai. "Bagaimana, ya? Aku juga sebenarnya tidak begitu mengingatnya, tapi yang jelas, ketika kesadaranku pulih, Abbas langsung menarik badanku yang sedang tenggelam di dasar laut untuk dibawa menuju permukaan.
Setelahnya, dia mengantarkanku kembali ke gondola lalu meninggalkanku begitu saja dengan kembali berenang ke lautan."
"Hah!?" Lizzie sangat terkejut mendengarnya.
MINERVO 204
Menahan amukannya sejenak, Paul mengambil napas banyak dan dihembuskan secara perlahan, dia benar-benar mudah sekali meledak jika sesuatu yang tidak diinginkannya terjadi, apalagi ini menyangkut sepuluh nyawa dari orang-orang yang sangat berharga baginya, tentu saja ia tidak bisa diam.
Masih berada di tempat penghukuman Para Pelayan Pendamping yang ruangannya menyerupai studio patung karena banyak sekali kepingan-kepingan patung yang berceceran di lantai, Paul mencoba mengamati gelagat Roswel yang ada di depannya, sedang berdiri sambil tersenyum tipis padanya, setelah sebelumnya ia sempat menghajar si pria berwajah pucat itu sebelum aksinya berakhir gagal karena berhasil ditahan oleh satu jari telunjuk Roswel.
“Maaf, Tuan,” ucap Roswel dengan tersenyum manis pada Paul. “Anda tidak boleh melakukan kekerasan pada pelayan pendamping Anda sendiri. Lagipula, saya belum tuntas menjelaskan keberadaan murid-murid Anda, jadi tahan amarah Anda sejenak dan dengarkan baik-baik perkataan saya, Tuan.”
Paul mendecih jengkel. “Kalau begitu, katakan langsung pada intinya!”
Hening sejenak, sebelum akhirnya Roswel kembali melanjutkan penjelasannya dengan nada yang lembut dan menenangkan.
“Memang benar, sebelumnya saya bilang penglihatan saya tidak dapat menemukan keberadaan mereka di lautan, tapi sepertinya saya melewatkan suatu area yang kemungkinan terkunjungi oleh mereka karena mau bagaimana pun pasti akan selalu ada kemungkinan mereka tidak sengaja menyentuh dan masuk ke area terlarang itu, Tuan.”
“Sudah kubilang, katakan langsung pada intinya!”
Paul benar-benar muak mendengar segala celotehan Roswel yang selalu berbelit-belit dalam menyampaikan sesuatu, baginya itu cuma buang-buang waktu dan sangat menyebalkan.
Apalagi pembahasannya menyangkut nyawa sepuluh pahlawan bimbingannya, tentu saja Paul ingin mendengar keadaan mereka sambil berharap mereka baik-baik saja.
Senyuman Roswel jadi tersungging semakin tipis sebelum akhirnya lelaki pucat berjubah hitam itu mulai membuka mulutnya.
“Yang saya maksud adalah Zona Laut Mati, Tuan.”
Mengerutkan kening dan dua alisnya, Paul terkejut dan kebingungan di saat yang bersamaan, ia tidak begitu mengerti apa yang disebutkan oleh Roswel dengan nama ‘zona laut mati’ tapi dari namanya saja itu terdengar menyeramkan.
Sebetulnya Paul tidak mau berasumsi buruk, tapi tetap saja rasa khawatirnya jadi semakin menjadi setelah mendengar nama itu, seakan-akan ia baru saja mendengar lonceng kematian yang baru saja dibunyikan.
Ini sangat buruk jika sesuatu terjadi pada sepuluh orang itu karena Paul memiliki tanggung jawab penuh dalam membimbing dan mendidik mereka menjadi pahlawan sejati, jika mereka gagal dan tewas di tengah laut, tidak ada yang bisa dilakukannya selain meratapi kesedihan dan kegagalannya secara bersamaan karena telah ditinggalkan oleh sepuluh orang itu serta tidak mampu mengemban tugas sebagai mentor.
“Apa itu Zona Laut Mati!? Jelaskan padaku, sekarang!”
Napasnya terasa menderu lebih kencang dari sebelumnya, Paul kelihatan gusar dan ketakutan, keringatnya bercucuran membasahi wajah dan lehernya, begitu pula seluruh badannya sehingga pakaian yang dikenakannya jadi tampak basah kuyup seperti tertimpa rintikan air hujan yang deras.
“Zona Laut Mati, atau biasa disebut sebagai Kawasan Maut, adalah salah satu wilayah yang memiliki kandungan air yang cukup berbahaya sehingga tidak ada satu pun makhluk hidup yang dapat bertahan di daerah itu. Bukan hanya itu, Kawasan Maut juga selalu dikelilingi oleh bencana yang mematikan, kemungkinannya sangat rendah untuk sekelompok manusia bisa bertahan hidup di sana sebab tekanannya terlalu tinggi, bahkan saya saja tidak mau mengunjungi daerah itu, mengingat tingkat bahayanya yang besar.”
Sudah dipastikan kalau sekarang perasaan Paul tengah gundah gulana layaknya seseorang yang mendengar kematian anggota keluarganya, itu benar-benar membuatnya jatuh ke dalam lubang kehampaan dan kengerian. Sungguh, Paul lebih baik mati jika harus mendengar sepuluh orang itu tewas di tengah laut, dia tidak mau hal mengerikan apa pun menimpa mereka.
Ini adalah kecemasan dari seorang mentor yang menyayangi pahlawan-pahlawannya.
“Lalu, mengapa kau diam saja di sini?” Paul mengepal dua lengannya, dua kelopak matanya ditutup dengan hening, giginya bergelemetuk dengan diiringi deruan napasnya yang kian meningkat. “Kenapa kau cuma menjelaskan itu padaku sambil tersenyum tanpa sedikit pun pergi ke zona sialan itu untuk membantu mereka?”
Menggeleng-gelengkan kepalanya, Paul tidak sangka Pelayan Pendampingnya tidak mempedulikan para pahlawannya, bahkan Roswel kelihatannya sama sekali tidak memikirkan itu. “Jika kau keberatan melakukannya, maka aku saja yang pergi, tapi kau harus mengirimkanku ke sana, aku ingin menghajar wajah mereka semua sebelum mereka tewas di sana. Jadi cepatlah,”
Perlahan-lahan, kelopak mata Paul terbuka, menampilkan warna hitam dari bola matanya yang terlihat kosong. “LEMPARKAN AKU KE SANA!”
Terkaget dengan teriakan itu, Roswel menghela napasnya. “Tidak, Tuan,” jawabnya dengan menatap tenang sorot mata Paul yang terkesan kosong dan hampa. “Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, Anda tidak diperbolehkan mencampuri urusan mereka lagi. Biarkan mereka menghadapinya sendiri secara mandiri, sebab seorang pahlawan harus selalu kuat pada setiap tekanan dan kesulitan. Ini juga akan menjadi pengalaman bagus untuk—“
“Berhentilah mengoceh dan lemparkan saja aku ke sana, b******k!”
Tidak bisa menahan amarahnya lebih lama lagi, akhirnya Paul meledak lagi, meskipun kali ini dia cuma berteriak sambil berdiri hening, tidak melakukan upaya kekerasan lagi terhadap Pelayan Pendampingnya.
Namun, dari ekspresinya, emosi Paul lebih dalam dari sebelumnya, bahkan suaranya jadi sangat pilu dari biasanya.
“Saya tidak bisa melakukannya, Tuan.”
“Mengapa?”
“Karena ini diluar kesepakatan, jika saya melakukannya, saya bisa membuat Sang Penguasa marah dan itu bisa mempengaruhi keberhasilan sepuluh pahlawan.”
Tidak ada harapan. Itulah yang Paul rasakan saat mendengar perkataan Roswel yang terkesan seperti anjing yang patuh pada majikannya, ia tidak bisa mengandalkan keselamatan sepuluh pahlawan pada pria pucat itu.
Satu-satunya cara hanyalah tergantung pada bagaimana Paul mengambil keputusan dan tindakan, tapi saat ini ia tidak bisa sembarangan bertindak karena Roswel masih ada tepat di hadapannya, kalau ia mendadak kabur dari istana ini, pasti akan dihadang oleh pria sakti itu, bahkan kemungkinan terburuknya, seluruh pelayan pendamping yang ada di istana ini bakal mengepungnya.
Ini benar-benar membingungkan.
Tanpa disadari, Paul menjatuhkan dua lututnya ke lantai, wajahnya terlihat sangat bimbang, matanya meredup, kelopak matanya menggantung di bagian tengah bola mata, bibirnya melengkung ke bawah, badannya jadi tampak begitu lemas, dan deruan napasnya terasa lebih lambat dari sebelumnya, seolah-olah seperti orang yang telah menyerah menghadapi rumitnya kehidupan.
Memandanginya dari depan, tentu saja Roswel terheran melihat tingkah Paul yang tampak sangat menyedihkan, membuatnya jadi sedikit merasa bersalah, tapi ia tidak bisa membantu mentornya lebih dari ini karena sekarang kondisinya sangat berbeda dari biasanya.
Sebenarnya Roswel bisa saja melanggar peraturan dan membantu Paul untuk menyelamatkan sepuluh pahlawannya di tengah laut, tapi dia tidak mau melakukan itu karena efeknya bisa menyebabkan Sang Penguasa menilai bahwa mereka semua, termasuk juga dirinya, gagal mengemban tugas dan perannya masing-masing sebagai pelayan pendamping, mentor, dan juga pahlawan.
Apalagi Sang Penguasa sangat menjunjung tinggi ‘kejujuran, kesetiaan, dan kepercayaan’.
Jika Roswel melanggar perjanjian untuk mengabulkan permintaan Paul, itu sama saja dia berkhianat pada tiga kata junjungan yang Sang Penguasa buat.
“Saya paham perasaan Anda, Tuan,” ucap Roswel, memecahkan keheningan yang menusuk relung, membuat Paul dalam sekejap terbangun kembali dari keterpurukannya.
“Saya sangat mengerti pada apa yang Anda rasakan dan pikirkan. Namun, saya tidak bisa melakukannya, meski sejujurnya saya ingin sekali melakukannya. Maka sebaik-baiknya tindakan kita di sini hanyalah mempercayakan semuanya pada mereka.” Roswel berjalan mendekat dan mendaratkan dua telapak tangannya di dua bahu Paul yang begitu lemas.
Sambil tersenyum dan menatap mata mentornya, Roswel melanjutkan perkataannya,
“Percayalah, mereka tidak selemah yang Anda pikirkan, Tuan.”
Entah kenapa, setelah mendengar nasehat dari Roswel,segala kegelisahan, kebimbangan, kekhawatiran, kecemasan, dan keraguan, lenyap begitu saja secara perlahan, seperti desiran ombak yang mulai surut dari tepi pantai, membuat perasaan Paul—walau hanya sedikit—bisa merasakan kepercayaan yang kuat terhadap sepuluh orang yang sedang berjuang di luar sana.
Tertatih-tatih, Paul mengangkat kembali dengkulnya untuk berdiri tegak, memandang Roswel dan menghela napas lega. “Padahal sebentar lagi aku nyaris terpuruk seperti seorang pengecut, tapi kau malah menyiramiku dengan perkataan tololmu itu, dasar brengsek.”
Meskipun omongannya terdengar kasar, bibir Paul tampak menyunggingkan senyuman tipis.
Sepertinya, Paul tidak lagi mengkhawatirkan mereka dan mencoba untuk mempercayakan nyawa sepuluh orang itu pada masing-masing diri mereka, sebab ia tahu mereka tidak selemah yang dipikirkannya.
“Syukurlah,” Roswel senang melihat Paul telah kembali ceria seperti sedia kala.”Kalau begitu, mari kita—“ Baru saja Roswel hendak mengajak Paul mengunjungi ruangan lain di istana ini, tiba-tiba saja pria pucat itu jadi terdiam sembari mendongakkan kepalanya ke langit-langit. “Dengungan ini. Sepertinya memang sudah waktunya,” Mendadak Roswel kembali menurunkan dagunya dan memandangi wujud Paul yang berdiri di depannya.
“Maaf, Tuan. Saya baru saja mendengar dengungan di telinga saya, itu adalah tanda Sang Penguasa memanggil para pelayannya agar segera berkumpul di hadapannya. Saya harus pergi sekarang, Anda tidak perlu khawatir, jika Anda ingin keluar dan berjalan-jalan, Anda bisa melakukannya dari pintu itu,” Roswel menunjuk pintu besi yang ada di pojok sebelah kanan dari ruangan ini. “Maaf karena tidak bisa menemani Anda, Tuan. Kalau begitu, saya permisi.”
Asap hitam yang lumayan tebal mulai mengerubungi seluruh tubuh Roswel hingga akhirnya wujudnya menghilang begitu saja dari hadapan Paul, begitu juga dengan sisa-sisa asapnya.
Setelah Roswel lenyap dari pandangannya, Paul hanya memiringkan kepalanya dan berkata, “Hah?” Dua alisnya jadi berkedut secara berbarengan. “Mengapa bisa begitu, b******k!?”
Membuang amarahnya, Paul hanya bisa pasrah dan mulai menuruti omongan Roswel untuk berjalan-jalan sendirian. Keluar dari ruangan patung melalui pintu besi yang ditunjukkkan Roswel, Paul dikejutkan dengan lorong panjang yang basah dan minim cahaya.
“Entahlah, aku merasa tempat ini penuh dengan misteri. Meski Roswel bilang ini adalah sebuah istana, tapi kupikir tempat ini sama sekali tidak menggambarkan perwujudan dari istana, malah sebaliknya.” Tidak mau mengungkapkannya pemikirannya lebih jauh, Paul memilih membungkam mulutnya dan mulai berjalan menyusuri lorong panjang itu sendirian.
Lantainya basah dipenuhi dengan genangan air, rasanya seperti kau melangkah di ubin kamamr mandi.
Tiap langkahnya menimbulkan suara gemericik yang khas, ditambah ruangannya yang minim cahaya, Paul tidak bisa melihat apa-apa selain sedikit sinar yang terpendar dari ujung lorong.
“Aku harap mereka tidak mati di tengah laut,” gumam Paul ketika otaknya kembali mengingat wajah-wajah dari sepuluh pahlawan bimbingannya. “Semoga saja mereka bisa datang kemari dengan jumlah yang lengkap, aku tidak ingin salah satu dari mereka hilang.”
Saat Paul sedang berjalan hening sambil berbicara sendiri, tiba-tiba dia merasakan hawa kehadiran seseorang di belakangnya yang cukup kuat.
“Hey kau,” ucap suara misterius itu dari belakang, membuat Paul secara refleks menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. “Apa yang sedang kau lakukan di sini?”