BAB 21

3217 Kata
"Uwaah! Ternyata benar! Banyak salju di sini!" Ketika bus yang mereka tumpangi masuk ke jalanan Kota Vineas, cuaca mulai berubah, yang tadinya cerah benderang dan panas terik, menjadi sangat dingin dan dipenuhi dengan salju yang turun dari langit. Cherry yang memandang salju-salju turun dari kaca jendela, memekik-mekik gembira, ia sampai menggedor-gedor kacanya karena gembiranya. Sementara teman-temannya malah asyik dengan dunianya masing-masing; Jeddy tampak serius menonton film di ponselnya, Paul memejamkan matanya sambil mendengarkan musik lewat penyuara kuping di kursinya, dan Colin sedang memainkan sebuah permainan simulasi di ponselnya. Sungguh pertemanan yang kurang harmonis, begitulah pikir para penumpang lain yang melirik ke arah mereka berempat. "Dingin," ucap Colin setelah mereka berempat turun dari mobil bus, mendarat di tanah Vineas yang diselimuti salju. Udaranya sangat dingin, meski mereka memakai jaket, rasa dinginnya tetap mencekik, hingga Colin memeluk tubuhnya sendiri agar terasa hangat. "Hey, Paul," Saat Colin bernapas dan berbicara pun, ada kepulan asap yang keluar dari lubang hidung dan mulut. "Orang seperti apa pahlawan di kota ini? Apakah dia lelaki? Atau perempuan?" Bola mata Paul mengerling ke muka Colin, dengan aura yang mengolokmu. "Untuk apa kau menanyakan itu?" jawab Paul dengan nada yang sangat dingin. Namun Colin sudah terbiasa dengan hal tersebut, karena dibandingkan dengan Jeddy dan Cherry, dia lah yang lebih dulu mengenal Paul. Karena itu dengan tenang, Colin langsung menimpali jawaban Paul. "Tentu saja karena aku penasaran pada sosok pahlawan di kota ini, kuharap dia tidak sekonyol Jeddy mau pun seaneh Cherry." kata Colin dengan sengaja mengingat Jeddy dan Cherry yang berdiri di sampingnya. Mendengar namanya disebut dengan nada sindiran, membuat Cherry langsung jatuh ke mode gelapnya. Gadis itu langsung mencengkram punggung Colin dengan menundukkan kepalanya, membuat helaian merah mudanya berjatuhan, dan ia pun berkata, "Cherry juga berharap semoga semoga di kota ini," Tiba-tiba Cherry mengangkat dan menyunggingkan seringaian pada Colin. "...tidak sepengecut dirimu! Hihihihi!" Membuat Colin terkejut. Setelah mengatakan hal itu, Cherry melepaskan cengkramannya dan kembali ke mode updatenya. "Ups! Cherry telah membuat Colin jaringan, ya!? Waduh! Maaf, yaaaa! Hihihi!" "Berisik, kalian!" Paul yang mendengar pertikaian antara Colin dan Cherry di sampingnya, merasa terganggu, ia pun bersuara dengan nada yang berat. "Dari pada kalian terus-terusan mengoceh, lebih baik kalian ikuti aku." Dan Paul pun mulai melangkahkan kaki, meninggalkan halte bus tempat pemberhentiannya di Kota Vineas. Colin, Cherry, dan Jeddy berjalan di belakang Paul, mengikuti mentornya pergi entah kemana. Walau ini masih pagi, tapi rasanya seperti sudah malam, karena langit di Kota Vineas tampak berwarna abu-abu, seperti langit yang sedang mendung. Semua tempat di Kota Vineas pun lampunya selalu menyala terang, karena jika tidak, maka suasana kota mungkin akan sangat gelap. Paul bisa melihat banyak sekali salju yang bertumpuk di atap-atap gedung, rumah, mobil, jalanan, dan pertokoan. Belum lagi kondisi udaranya yang sangat dingin, hingga Paul keheranan mengapa penduduk di Kota Vineas bisa tinggal di tempat-tempat seperti ini. Karena menurut Paul, pasti menyebalkan sekali jika setiap hari dia harus mengenakan jaket super tebal hanya untuk pergi keluar rumah. Paul lebih baik pindah ke luar kota dari pada harus tinggal di tempat suhu dingin seperti ini. Tapi anehnya, saat Paul berjalan sendirian di Kota Vineas, ia bisa memandang semua pejalan kaki di sini tampak normal-normal saja, meski mereka memakai pakaian tebal, mereka tetap beraktivitas seperti orang-orang di kota pada umumnya. Pepohonan di sini pun kerontang, tanpa ada keringbatangan yang tampak, hanya ada beberdiri kokoh di jalan. "Ha ha ha ha!" Jeddy mulai mengeluarkan tawa khasnya ketika dia selesai mengamati suasana Kota Vineas yang berbeda dengan kota-kota lainnya. "Setelah-lihat, entah kenapa, aku jadi ingin tinggal di sini, Bro!" Mendengar omongan Jeddy, membuat Paul menghentikkan langkahnya, Colin dan Cherry pun ikut berhenti. Kemudian, Paul menolehkan pandangannya pada Jeddy. "Apa yang tertarik untuk tertarik tinggal di kota sialan ini? Jeddy?" tanya Paul dengan nada yang cukup dari biasanya, membuat Jeddy senang. Akhirnya Paul bisa santai saat berbicara dengannya, Jeddy jadi sangat gembira. Kemudian, dengan semangat yang meluap-luap, Jeddy mulai bercakap, "Yah, kau tahu, kan? Karena aku dari kecil tinggal di Kota Groen yang sangat gersang, aku jadi selalu bermimpi ingin tinggal di kota yang dingin dan dipenuhi oleh salju, Bro! Hahaha! Soalnya musim di Kota Groen hanya ada dua, musim panas dan musim hujan saja, itu sangat membosankan, kan, Bro! Hehe!" "Kalau kau bilang begitu," Colin menimpali omongan Jeddy dengan memutarkan bola matanya bosan. "Itu artinya kau juga merendahkan rumah kami, Jeddy. Kau tahu, kan? Jarak antara Kota Swart--tempat tinggalku dan Paul--dengan Kota Groen--tempat tinggalmu-- itu cukup dekat, jadi bisa dibilang kota kita tetanggaan, dan mereka pun memiliki musim yang sama, panas dan hujan saja. Jadi saat kau bilang kalau dua musim itu membosankan, secara tidak langsung kau juga bilang musim di Kota Swart membosankan, benar, kan, Paul?" Paul mendecih mendengar penjelasan Colin yang terkesan tidak terima dengan kata-kata Jeddy yang penuh dengan canda tawa. Akhirnya, Paul pun menjawabnya dengan kasar, "Kota Swart memang membosankan, bodoh!" Paul melototi wajah Colin dengan ganas. "Tapi walau begitu, aku tidak mau tinggal di Kota Vineas, karena kota ini lebih membosankan! Jika boleh memilih, aku lebih ingin dilahirkan di kota yang memiliki empat musim!" "Empat musim?" Cherry tersenyum manis mendengarnya. "Tahu tidak? Kota Poppe punya empat musim, loooh! Jika Paul sangat ingin tinggal di kota yang punya empat musim, bagaimana kalau pindah saja ke Kota Poppe! Nanti Cherry akan menunjukkan tempat-tempat imut yang belum pernah dikunjungi oleh Paul di sana! Hihihi!" Entah mengapa, mendengar Cherry menyebutkan nama Kota Poppe, membuat Paul teringat pada sebuah lingkungan yang dipenuhi dengan warna merah muda yang menjijikan. Paul jadi ingin muntah jika mengingatnya. "Tentunya bukan Kota Poppe yang menjadi tempat impianku! b******k!" Kemudian, Paul kembali melanjutkan perjalanannya, mengabaikan suara pekikan Cherry, tawaan Jeddy, dan keluhan Colin. Sampai akhirnya, sampailah mereka di depan sebuah gedung tinggi yang bernama 'Perpustakaan Raksasa Kota Vineas' yang letaknya ada di pusat kota, dekat dengan tempat-tempat perbelanjaan yang sangat ramai. "Kita sudah sampai," kata Paul dengan muka yang datar. "Aku merasa kalau pahlawan kita sedang ada di dalam perpustakaan ini, mari kita cek, ayo masuk!" Namun, ketika Paul akan mendorong pintu perpustakaan, Colin langsung bersuara. "Tunggu sebentar!" teriak Colin dengan suara yang cukup keras, membuat Paul, Jeddy, dan Cherry perhatiannya pada si rambut biru. "Sebelum kau bilang begitu, seharusnya kau tahu kami bagaimana ciri-ciri dari pahlawannya, Paul? Orang yang sama sekali belum menjelaskannya pada kami? Ayolah! Untuk kali ini, beri kami informasi, Paul! Agar kami bisa ikut mencari orang itu di dalam! " Menghela napasnya, Paul langsung menjawabnya dengan cepat, "Ingat ini! Dia adalah seorang lelaki berambut putih, berkulit putih, berbibir putih, dan berpakaian serba putih." Setelah menjelaskannya, Paul langsung masuk ke dalam perpustakaan, meninggalkan Colin, Jeddy, dan Cherry yang masih terkejut mendengar penjelasannya. "Kenapa harus serba putih?" tanya Colin pada Jeddy dan Cherry yang ada di sebelah kirinya, sewaktu-waktu setelah Paul sudah menghilang dari hadapan mereka. "Emm... tapi jika dipikir-pikir, rasanya semua pahlawan yang dipilih oleh Paul selalu memiliki warna khasnya masing-masing. Seperti aku yang memang suka dengan warna biru, Jeddy yang selalu memakai pernak-pernik warna hijau, dan Cherry yang sering dikenakan gaun berwarna merah muda." "Hahaha! Benar juga, Bro! Aku baru sadar tentang hal itu! Tapi kedengarannya lucu sekali, Bro! Hahaha!" Jeddy terbahak-bahak mendengar omongan Colin yang terkesan tapi konyol. "Cherry sebenarnya tidak terlalu suka pada warna merah muda, kok! Tapi karena Cherry lahir di Kota Poppe, jadi Cherry mau tidak mau harus suka pada warna merah muda! Karena kalau Cherry menunjukkan ketidaksukaan pada warna merah muda, maka Cherry akan dianggap aib oleh masyarakat di Kota Poppe! Hihihihi!" "Ternyata setiap kota memang punya aturan anehnya sendiri-sendiri, ya." kata Colin dengan mengkerutkan alisnya, melirik Cherry. Kemudian Colin pun mulai mengangkat kakinya untuk masuk ke perpustakaan, diikuti oleh Jeddy dan Cherry. Setelah Colin, Jeddy, dan Cherry masuk, mereka disambut dengan suasana khas perpustakaan, yang terdengar hanya suara-suara halaman buku yang dibuka-buka, dentikan jam dinding, jejak dari beberapa orang yang mundar-mandir, dan obrolan kecil. Ada banyak orang berpakaian tebal yang masuk ke dalam perpustakaan hanya untuk membaca buku-buku cerita di sana. Namun, yang membuat mereka terkejut bukan semua itu, melainkan Paul yang sedang berdiri di dekat rak buku, berhadapan dengan seorang lelaki berkaca mata yang memiliki helaian rambut putih, berkulit putih, dan mengenakan baju lengan panjang putih dan celana panjang putih, membuat Colin, Jeddy, dan Cherry terbelalak memandangnya. "Kau Nico, kan?" Paul dengan suara direndahkan, karena saat ini posisinya ada di perpustakaan. Mendengar namanya tiba-tiba disebut oleh orang asing yang baru ditemuinya, membuat lelaki berkaca mata itu tak suka pada Paul. "Berani sekali berandalan kotor sepertimu menyebut nama lahirku dengan di sini?" Nico membetulkan kaca matanya yang hampir turun, kemudian dia tersenyum miring. "Tapi baiklah, aku akan memaklumi sikap tololmu itu. Toh, manusia sampah sepertimu memang tidak bisa mengenyam pendidikan dengan baik. Jadi aku pikir, tata krama dan sopan santun, tidak diperlukan saat berbicara dengan sampah masyarakat sepertimu." "Berani sekali berandalan kotor sepertimu menyebut nama lahirku dengan sembarangan di sini?" Nico membetulkan kaca matanya yang hampir turun, kemudian dia tersenyum miring. "Tapi baiklah, aku akan memaklumi sikap tololmu itu. Toh, manusia sampah sepertimu memang tidak bisa mengenyam pendidikan dengan baik. Jadi aku pikir, tata krama dan sopan santun, tidak diperlukan saat berbicara dengan sampah masyarakat sepertimu." Urat-urat di kening dan leher Paul mulai bermunculan, aliran darahnya naik secara drastis membuat wajahnya jadi tampak memerah jengkel, kedua tangannya mengepal kuat, ingin menghajar wajah lelaki berkaca mata di depannya. Namun, Paul harus menahan amarahnya, jika tidak, sesuatu yang buruk akan terjadi, apalagi posisinya dia sedang berada di sebuah perpustakaan, di mana tempat itu memang punya aturan untuk tidak berisik, agar tidak mengganggu pengunjung lain yang sedang membaca. Alhasil, paul menarik napasnya dalam-dalam, lalu mengeluarkannya dengan perlahan. Sesaat setelah itu, dia berusaha merespon ucapan Nico dengan intonasi yang tenang. "Terserah kau mau bilang apa tentangku," kata Paul dengan wajah yang begitu datar, yang seharusnya detik ini juga wajah si lelaki berkaca mata itu babak belur oleh tangannya, tapi dia berusaha menahannya sekuat mungkin. "Aku hanya ingin memberikan sebuah informasi penting untukmu, Nico. Dan aku ingin kita membahasnya di tempat yang lebih cocok, karena kupikir di sini bukan tempat yang cocok." Nico, lelaki berambut putih yang mengenakan kaca mata itu langsung menyipitkan matanya setelah mendengar ucapan Paul. "Sebuah informasi? Dari berandalan kotor sepertimu?" Nico memicingkan matanya pada Paul. "Memangnya apa yang mau kau sampaikan padaku? Aku jadi curiga, karena biasanya berandalan-berandalan sepertimu suka sekali dengan hal-hal yang berbau kekerasan, dan kau ingin mengajakku ke sebuah tempat yang cocok? Apa itu? Sebuah tipuan? Aku yakin, kau pasti mau menghajarku di sebuah gang yang sempit, ya, kan?" Lagi-lagi Nico melancarkan sebuah kata-kata yang lumayan pedas, membuat dua kuping Paul jadi sangat panas. Tapi, Paul tidak ingin merusak momen ini, karena sepertinya sosok pahlawan di Kota Vineas punya mulut yang begitu tajam, yang bisa membuat siapa pun kesal jika mendengarnya. Oleh sebab itu, karena sosok Nico tampaknya agak berbeda dengan sosok pahlawan-pahlawan sebelumnya, Paul harus bisa mencari cara agar lelaki putih itu bisa tunduk padanya. Karena tipe orang seperti Nico tampaknya bakal sangat sulit untuk sekedar didekati. Dan inilah ujian baru yang harus Paul lewati untuk mendapatkan pahlawan baru. "Bisa tidak, kau santai sedikit?" Saat mengatakannya, bibir bawah Paul bergetar karena tidak tahan ingin melontarkan kata-k********r. "Aku datang kemari bukan untuk bertengkar atau berkelahi denganmu. Aku datang kemari hanya ingin memberikan sebuah informasi yang sangat penting untukmu, jadi bisakah kau ikut denganku ke tempat yang lebih cocok untuk membahasnya, Nico?" "Aku menolak." Secepat kilat, Nico menimpali omongan Paul dengan bibir yang cemberut. Kaca matanya berkilat terkena sinar lampu benderang yang menggantung di tengah ruangan perpustakaan, kemudian, Nico bersuara kembali dengan bola mata yang melirik ke Jeddy, Colin, dan Cherry yang sedang berdiri tegak mengamatinya. "Karena aku tahu, kau datang kemari tidak sendirian. Kau membawa teman-teman berandalanmu juga yang memiliki postur tubuh yang berbeda-beda. Dan kelihatannya penampilan mereka pun tampak norak dan payah, aku sampai bingung harus bilang apa pada tiga manusia bodoh itu. Tapi mereka adalah temanmu, kan? Soalnya di mataku, kalian memang terlihat sama." "Tadi kau bilang apa?" Karena sudah tidak tahan lagi, Paul mulai menunjukkan kemarahannya--gigi-giginya bergelemetuk, rahangnya menegang, kedua bola matanya melotot hampir keluar, dan urat-urat di seluruh tubuhnya menonjol sangat jelas. Menyaksikan amarah Paul yang bergejolak di hadapannya, bibir tipis Nico melengkung, menciptakan senyuman tipis yang berhasil membuat Paul tambah kesal saat melihatnya. "Kau butuh pengulangan kata? Baiklah," Nico menghembuskan napasnya dengan tenang hingga akhirnya berkata, "Aku bilang, penampilan dari tiga manusia bodoh itu tampak norak dan payah, dan di mataku, kalian semua terlihat sam--" BUAG! Hidung Nico langsung dihantam oleh kepalan tangan Paul hingga lelaki itu terpelanting menabrak rak-rak buku yang berjejer sampai rak-rak tersebut berjatuhan, membuat buku-buku yang tersimpan di setiap rak terlempar berantakan. Bahkan orang-orang yang sedang membaca sambil berdiri di dekat rak buku pun ikut tertimpa jatuhnya rak-rak itu, membuat tubuh-tubuh mereka tergencit kesakitan karena terhimpit. Saat rak-rak buku itu rubuh ke lantai, orang-orang yang tidak terkena musibah tertimpa rak, hanya melengking-lengking ketakutan. "Astaga!" Kedua mata Colin terbelalak saking kagetnya melihat kejadian itu, dia langsung berlari kecil mendatangi Paul dan berkata, "Ke-Kenapa kau malah memukulnya!? Paul!? Apa yang sebenarnya kau pikirkan!? Bukankah dia itu--" "DIAM!" Bentakan keras langsung dikeluarkan oleh Paul karena kesal mendengar pekikan Colin yang menyebalkan. Paul pun menolehkan pandangannya ke Colin dengan beringas. "Aku tidak tahan lagi! Aku tidak suka pada mulutnya saat berbicara! Dia benar-benar membuatku murka! b******k sekali!" Jeddy dan Cherry pun ikut menghampiri Paul dengan tergesa-gesa, kemudian perhatian mereka terfokuskan ke sosok Nico yang tersungkur di sekitar rak-rak buku yang roboh. "Bro!" Jeddy berseru pada Paul saat melihat Nico mulai bangkit dari permukaan, walau dengan terbatuk-batuk. "Dia tidak pingsan, ternyata! Padahal aku yakin pukulanmu sangat keras, mungkin jika aku yang kena, aku akan mati, hahahaha!" Padahal situasi sedang tegang, tapi Jeddy masih bisa-bisanya tertawa, sungguh orang yang sangat santai. "Sepertinya kalian tidak mendengarnya," Kini Cherry yang bersuara dengan intonasi yang begitu kelam, sepertinya gadis itu sedang jatuh ke dalam mode gelapnya. Mata Cherry melirik tajam ke sosok Nico yang sedang membangkitkan tubuhnya untuk berdiri tegak. "Tapi Cherry mendengarnya dengan sangat jelas. Orang itu betul-betul menjengkelkan! Dia terus-terusan mengeluarkan kata-kata hinaan pada Paul! Cherry sampai gemas ingin membunuhnya! Makanya saat Paul memukulnya, Cherry sangat senang. Karena dia memang pantas mendapatkan itu!" "Bagus kalau kau paham," kata Paul setelah mendengar ucapan Cherry, dia menyunggingkan senyuman tipis saat melihat Nico sudah berdiri dengan tegak, jauh di depannya, pakaian putih yang dikenakan lelaki itu pun tampak kotor terkena debu-debu dari rak-rak yang jarang dibersihkan, lalu kaca matanya juga retak. Dan dengan terhuyung-huyung, Nico berjalan mendatangi Paul. "Apa? Kau mau kuhajar lagi, hah!?" seru Paul saat Nico sudah ada di hadapannya. Pengunjung-pengunjung lain yang menyaksikan hal tersebut, hanya bergumam-gumam, mereka saling berbisik pada rekannya masing-masing, membahas sikap Paul yang keji. Walau begitu, Paul tidak mempedulikan suara-suara di sekelilingnya, dia tetap fokus pada wajah Nico yang sudah membiru. "Sudah kuduga pasti akhirnya akan begini," ucap Nico dengan terbatuk-batuk. Lalu, Nico kembali memicingkan matanya pada Paul dengan tajam. "Itulah mengapa aku benci orang-orang sepertimu." Setelah mengatakan itu, Nico langsung berjalan terseok-seok ke pintu keluar. Paul hanya terdiam di posisinya, dia kelihatan merenungkan kata-kata yang Nico ucapkan padanya. Amarah Paul mulai memudar, dia kembali normal, dan kemudian, dia menghela napasnya dengan berat. "Bodoh," ucap Paul dengan menggigit bibir bawahnya. "Karena amarahku, aku telah kehilangan pahlawan itu." Paul tampak mengerang, menyesali perbuatannya yang ceroboh. Namun, Colin, Jeddy, dan Cherry yang ada di dekatnya, secara bersamaan menyentuh pundak Paul sambil mengusap-usapnya dengan lembut. "Dari pada meringis begitu, lebih baik kita kejar orang itu, Paul," usul Colin dengan suara yang pelan. "Karena semenyebalkan apa pun orang itu, dia pasti punya keistimewaan tersendiri hingga kunang-kunang memilih dirinya. Kita hanya belum mengetahuinya. Aku yakin itu." "Tidak kusangka aku akan dihibur oleh pecundang sepertimu, tapi baiklah! Ayo! Kita kejar dia! b******k!" Paul langsung berlari kencang, keluar dari perpustakaan itu, meninggalkan teman-temannya yang masih terdiam kaku di sana. "Siapa yang kau sebut pecundang, sialaaan!" Colin pun ikut berlari keluar dari perpustakaan sambil melengkingkan suaranya pada ucapan Paul. "Uwaaah! Apakah kita sedang bermain kucing-kucingan!? Lalu siapa yang jadi kucingnya? Cherry tidak mau jadi kucing! Berarti Jeddy jadi kucing, ya! Hihihi! Kejar Cherry kalau bisaaaa!" Sepertinya Cherry sudah kembali ke mode riangnya, sampai akhirnya gadis itu pun ikut lari keluar dari perpustakaan, meninggalkan Jeddy sendirian di sana. "Loh-loh-loh-loh?" Jeddy mengerutkan keningnya, tampak keheranan pada tingkah teman-temannya yang berlari meninggalkannya sendirian di dalam perpustakaan yang sudah berantakan. "Tapi sepertinya sangat seru! Oke! Aku ikutan! Bro! Hahahaha!" Dan akhirnya, mereka semua telah pergi dari perpustakaan, tanpa ada yang mau bertanggung jawab pada kerusakan-kerusakan yang terjadi di sana, membuat pengurus-pengurus perpustakaan jadi kerepotan membereskannya. Dan terjadilah, adegan kejar-kejaran di pinggir jalan. Nico, dengan darah yang menetes-netes dari hidungnya, terus berusaha lari untuk menjauhi Paul. Tapi di belakangnya, Paul bersama teman-temannya malah semakin mengejarnya, sampai Nico tidak bisa menyaingi kecepatannya, apalagi tubuhnya memang sangat kurus, sampai pinggangnya terasa nyeri karena terus-terusan berlari, membuat kecepatannya jadi semakin berkurang. "Kena kau!" Paul berhasil mencengkram rambut bagian belakang Nico sampai membuat lelaki berkaca mata itu terhenti mendadak. "Mau sekencang apa pun kau berlari, kau pasti akan tertangkap juga olehku!" Nico pun menolehkan kepalanya pada Paul, memperlihatkan wajah babak belurnya--hidung mimisan, pipi kanan membiru, kaca mata retak, dan bibir sedikit bengkak. Kemudian, dengan suara yang serak, Nico bersuara dengan tatapan mata yang tajam. "Kau mau apa lagi sekarang?" tanya Nico dengan bibir yang bergetar. "Kau sudah menghancurkan tempat favoritku, wajahku, harga diriku, dan sekarang kau mau apa lagi?" "Seperti yang sudah kubilang dari awal, aku sebetulnya tidak punya niat untuk bertengkar atau berkelahi denganmu! Kau saja yang sengaja memancing amarahku!" Paul berseru-seru di pinggir jalan, membuat beberapa pejalan kaki memperhatikannya. Setelah itu, Colin, Jeddy, dan Cherry sampai di belakang Paul, membuat Nico mendecih melihat kedatangan mereka bertiga. "Apa kali ini kau mau menyeretku ke tempat yang sepi lalu kau bersama tiga temanmu itu, mengeroyokku sampai aku mati? Alur yang benar-benar mudah ditebak dari berandalan-berandalan kotor seperti kalian. Heh!" Walau kondisinya sedang tidak baik, tapi Nico masih mampu untuk melontarkan kata-kata yang pedas sambil mendengus jijik pada mereka. "Kalau memang begitu, mau bagaimana lagi, mungkin hidupku akan berakhir tragis di tangan empat sampah seperti kalian. Menyedihkan sekali." Paul melepaskan cengkraman di rambut Nico lalu ia menjawab perkataan orang itu dengan nada yang datar. "Otakmu dangkal sekali," Butiran-butiran salju turun di sekitar mereka, hawa dingin pun kembali mencuat. "Aku tidak peduli pada kesombonganmu yang menyebalkan. Karena saat ini, aku hanya ingin bilang sesuatu yang sangat penting padamu!" Paul menarik napasnya dalam-dalam, lalu mulai melanjutkan ucapannya, "Tujuanku datang ke Kota Vineas yaitu untuk memberitahumu! Bahwa kau telah terpilih menjadi seorang pahlawan!" Setelah mengatakannya, Paul terdiam, menunggu reaksi Nico, begitu pula dengan Jeddy, Colin, dan Cherry, mereka juga mematung di sana. Mendengar ucapan Paul, Nico langsung mendengus, matanya menyipit tampak bosan. "Sudah?" kata Nico dengan suara yang pelan. "Kalau sudah, bolehkah aku pulang? Aku tidak punya waktu bahkan untuk menertawakan atau mengejek kalian lagi. Selamat tinggal, sampah-sampah jalanan." Saat Nico akan melangkahkan kakinya untuk pergi dari hadapan Paul, tiba-tiba Cherry berjalan cepat sampai gadis itu langsung berdiri di hadapan Nico, menghadang lelaki itu, dengan tatapan mata yang sangat mengerikan, sampai membuat teman-temannya pun kaget melihat tingkahnya. "Kau sudah berulang-ulang kali bilang sampah, berandalan kotor, d***u, t***l, bodoh, norak, payah dan hal-hal menyebalkan lainnya pada Paul. Karena itulah, sebagai balasan, izinkan Cherry untuk merobek, meremas, memotong, membanting, memukul, menginjak, menarik, menusuk, dan menghancurkan mulut pedasmu itu!" Kedua mata Cherry sampai melotot saat mengatakannya. Mendengar itu, Nico berdecak kaget, mulut Colin menganga, Jeddy mengenyitkan alisnya, dan Paul menggeleng-gelengkan kepalanya.

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN