Eps. 11 Ternyata dia paman CEO itu

1387 Kata
Author P.O.V Kegelisahan menyelimuti hati Jesi yang saat ini duduk di sofa panjang nan empuk. Kuku jarinya dia gigit sambil dirinya tetap menatap seorang pria tampan yang saat ini sedang membuatkan minuman untuknya di atas nakas. Jesi masih tidak percaya. Bagaimana mungkin calon tunangannya itu adalah dia. Sedangkan selama ini dia mengira calon tunangannya itu adalah seorang pria tua dewasa dengan rambut beruban. Jesi selalu berkata bahwa dia lebih cocok jadi paman daripada tunangan. “Apa aku yang berlebihan mendeskripsikan bentuk fisiknya ya? Padahal dia sendiri juga belum berumur 30 tahun? Bertemupun juga tidak pernah. Haduh, Jesi, Jesi. Kamu kebanyakan nonton drama deh kayaknya,” batin Jesi menggerutu. Sepertinya bukan karna drama, karena hati Jesi sangat enggan menerima perjodohan itu. Alhasil dibenaknya terciptalah bentuk pria seperti itu. “Minumlah dulu,” ucap Juan sambil menyodorkan segelas lemon tea hangat dan menaruhnya di atas meja depan Jesi. Jesi tidak meminumnya dan malah menengadah menatap Juan yang saat ini masih berdiri dihadapannya dengan tangan dimasukkan ke saku celananya. Lengan baju Juan dia singsingkan sampai siku, dan kancing atas bajunya dia buka sampai selangka lehernya terlihat begitu saja. Sungguh makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna. Jesi yang melihat hanya menelan salivanya dengan berat, sebelum akhirnya tersadar kembali. “Jika kamu adalah calon tunanganku, berarti saat awal kita bertemu, kamu sudah tahu aku?” tanya Jesi membuka suara “Ya,” singkat Juan dengan wajah datar “Lalu kenapa kamu bersikap kasar kepadaku sampai – sampai kamu tega menurunkan aku di tengah jalan?” Jesi mengingat kembali kejadian satu bulan yang lalu dengan perasaan kesal. “Karena mulutmu yang berkata sembarangan harus diberi pelajaran,” jawab Juan dengan tatapan dingin menusuk “Tapi aku kan hanya berkata....“ “Tidak ada kata ‘hanya’ dalam pembicaraan. Konteksnya kita baru saja bertemu dan kamu sudah tidak sopan. Dan aku tipe orang yang tidak bisa mentolerir orang yang seenaknya kepadaku,” timpal Juan memberitahu “Kamu bilang aku seenaknya. Terus apa kabar tadi kamu yang menyeretku kesini dengan kasar. Apa bukan seenaknya itu?” ucap Jesi tak terima “Aku menyeretmu karena kamu sudah buat aku marah hari ini,” “Apa maksudmu? Kesalahan apa yang telah aku perbuat?” tanya Jesi tak mengerti “Dengan aku merusak hadiah dari teman priamu itu, aku pikir kamu cukup pintar untuk bisa memahaminya,” sindir Juan setengah mengangkat alisnya satu Jesi nampak mencerna kata – kata Juan dengan baik. “Jangan bilang kamu cemburu?” tanya Jesi mengernyitkan alisnya “Untuk apa aku cemburu kepada bocah ingusan seperti dia. Aku hanya tidak suka calon yang akan menjadi tunanganku nanti didekati pria lain,” ucap Juan mencari alasan “Apa bedanya? Perasaan sama saja,” batin Jesi menggeleng “Mulai saat ini kamu harus menjauh darinya,” imbuh Juan lagi “Apa – apaan ini. Kita baru dua kali bertemu dan kamu sudah berani mengaturku. Tidak. Aku tidak mau,” ucap Jesi meninggi. Hal ini bukan karena dia tidak ingin jauh dari Adam. Melainkan dia tidak suka dengan cara Juan yang seakan mencoba mengaturnya. “Silahkan saja jika kamu tidak mau patuh. Tapi kamu akan tahu akibatnya,” “Kamu mengancamku?” Jesi bangkit dari tempat duduknya. Dia tidak terima perkataan Juan yang seakan berkuasa. Jesi tidak tahu saja seberapa buruknya karakter Juan di luaran sana. Hingga karyawannya saja takut padanya. Juan perlahan mendekati Jesi dengan tenang. Pembawaannya yang dingin sungguh bermartabat. “Jesi Mikhayla Manaf. Kamu mungkin belum tahu aku sepenuhnya karena dunia kita yang berbeda. Seorang yang masih pelajar sepertimu, mana tahu tentang dunia bisnis di luar. Namun jika kamu bertanya pada keluargamu, kamu mungkin akan tahu seberapa berpengaruhnya aku,” terang Juan setengah menunduk menatap Jesi “Lagipula, bukankah kamu harus berlaku baik padaku ya, untuk melunasi hutang budi keluargamu? Aku yakin keluargamu sudah menceritakan alasan kenapa kita dijodohkan bukan?” sambung Juan dengan penuh penekanan. Jesi sungguh tidak terima dengan perkataaan Juan. Namun mendengar kalimat akhir Juan, dia seolah tak berdaya. Pada akhirnya dia memilih mengalah dalam diam. “Aku mau balik ke kamar,” ucap Jesi dan akan melangkah pergi “Tunggu. Siapa yang suruh kamu untuk balik?” Ucapan Juan mampu membuat Jesi berhenti dan berbalik menatap ke arahnya “Apa maksudmu? Ini sudah lebih dari jam 9 malam. Aku harus kembali ke kamar untuk istirahat. Aku tak punya waktu untuk meladenimu,” “Tidur disini!” singkat Juan dan langsung mendapat tatapan tajam dari Jesi “Gila kamu. Kita baru saja bertemu, dan kita pun juga belum resmi bertunangan. Tapi kamu sudah mau berbuat macam – macam kepadaku,” sungut Jesi tidak terima “Perasaan aku hanya menyuruhmu untuk tidur disini bukan mau menidurimu,” sergah Juan cepat “Oh, jadi kamu maunya aku berbuat macam – macam kepadamu, hmm?” ucap Juan sedikit menyeringai Jesi yang tadinya berfikir negatif ini, langsung merasa kikuk akibat omongan konyolnya. “Eng-enggak. Siapa yang berfikir begitu. Aku hanya berjaga – jaga saja. Lagian kamu tidak ingat perkataan Mamaku tadi. Bahwa aku harus cepat kembali karena disini tempat asing. Jadi harus waspada,” terang Jesi membela diri “Justru karena itu kamu harus tidur disini. Sebab saat ini satu – satunya keluarga terdekatmu itu adalah aku. Jadi keamananmu akan terjamin selama kamu bersamaku,” ucap Juan dengan membusungkan dadanya. Pernyataan bodoh macam apa ini. Baru dua kali bertemu sudah mengaku keluarga. Jesi benar – benar dibuat heran oleh sikap Juan yang selalu percaya diri. “Sudahlah malas berdebat denganmu. Lebih baik aku segera pergi dan balik ke kamar. Teman baikku akan sangat cemas menungguku,” Baru selangkah Jesi berjalan, bel tiba – tiba berbunyi Jesi yang melihat tidak ada pergerakan dari Juan untuk membuka pintu itu-pun, langsung saja berinisiatif untuk membuka pintu itu sendiri. Sekalian dirinya agar bisa langsung pergi. Saat pintu dibuka, Jesi terlihat kaget karena mendapati Haris datang dengan membawa tas Jesi yang berisi pakaiannya. “Ini kenapa bisa ada di kamu?” tanya Jesi mengernyit. Sepertinya Jesi sudah mulai lupa cara bersopan santun “Nona Jesi. Ini saya bawakan barang – barang Nona dari kamar inap Nona Jesi. Semua lengkap beserta handphone Nona juga ada di dalam tas,” tutur Haris tersenyum sambil dirinya menyodorkan tas ransel besar milik Jesi. “T-tapi....“ “Nona Jesi tenang saja. Semua sudah saya urus dengan baik. Dan ada salam dari teman sekamar Nona. Katanya semoga cepat sembuh,” sambung Haris lagi dengan sopan “Cepat sembuh maksudnya?” tanya Jesi tak mengerti Bukannya menjawab pertanyaan Jesi, Haris malah berpamitan pada Juan dengan menunduk hormat, dan yang hanya dibalas anggukan singkat dari Juan. “Selamat istirahat, Nona Jesi,” ucap Haris dan langsung pergi begitu saja. “Hei Pak, Tuan. Haduh aku manggilnya apa ya. Hei tunggu dulu,” teriakan Jesi tidak didengar karena pintu sudah kembali tertutup. “Panggil Haris saja. Tidak usah Pak. Dia masih muda,” tutur Juan sambil lalu duduk di sofa panjangnya “Ini maksudnya apaan? Kenapa tiba – tiba semua barangku pindah kesini? Terus tadi kata asistenmu, temenku nitip salam semoga cepat sembuh, maksudnya apaan?” cerca Jesi kepada Juan “Bukankah tadi sudah ku bilang bahwa aku orang berpengaruh. Aku bisa melakukan dan merubah apapun dengan mudah,” ucap Juan dengan ekspresi angkuh “Ini gak lucu. Aku akan balik lagi ke kamarku,” “Kamu yakin mau balik? Temanmu sudah mengira kamu pulang karena sakit loh,” potong Juan cepat “Jadi kamu membuat aku seolah – olah sakit dan pulang duluan, sehingga aku bisa tidur disini?” tanya Jesi memastikan “Iya,” Anggukan singkat dan mantap dari Juan membuat tengkuk Jesi terasa sakit. “Sumpah, baru kali ini aku bertemu dengan orang yang paling menyebalkan seperti kamu,” “Sudahlah daripada kamu terus berdebat denganku, lebih baik kamu segera tidur. Besok pagi – pagi akan ku antar kamu pulang,” “Gak mau. Lebih baik aku tidur dijalanan daripada disini,” Jesi langsung berbalik badan dan hendak pergi. “Kamu mau pergi sendiri ke tempat tidur, atau ku gendong dengan paksa?” Satu kalimat dingin dari Juan mampu membuat langkah Jesi berhenti. Dia menoleh menatap Juan dengan marah, dan pada akhirnya berbalik badan lalu pergi ke tempat tidur. Ruangan itu begitu luas. Hingga ada sekat pembatas antara ruang tidur dengan ruang tamu. Jesi duduk dipinggir kasur dengan perasaan marah. Bisa – bisanya dia memiliki calon tunangan yang bersifat kasar dan angkuh seperti dia. TBC.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN