Eps. 1 Hari yang Buruk

1032 Kata
Jesi P.O.V Sinar mentari pagi ini begitu menyengat dikulitku. Semilir angin yang tenang, dan suara klakson kendaraan saling bersahutan. Aku berjalan dengan langkah gontai ke dalam gerbang. Universitas ini begitu luas, hingga untuk memasuki dan berjalan ke arah ruang kuliahku saja, membutuhkan waktu yang lumayan lama. Sekitar lima menitan. “Sial belum apa – apa sudah melihat orang pacaran. Masih pagi juga,” gerutku dalam hati. Pagi yang sangat tidak bersahabat. Disaat suasana hatiku sedang buruk, alam malah berkata sebaliknya. “Woiii jalan tuh jangan sambil bengong,” ucap seseorang dari arah belakang. “Ya ampun, Naum. Lu bikin kaget aja sih. Kalau gue jantungan gimana?” kataku sambil mengelus d**a. “Naum, Naum. Sudah ku bilang namaku tuh, Naumi. Bukan, Naum. Heiss,” sungut temanku yang bernama Naumi itu. “Sama saja” “Beda, Jes. Tolong jangan disingkat please. Gak bagus tauk. Kesannya tuh agak gimana gitu” “Hedeh terserah lu deh,” timpalku malas “Lagian lu kenapa sih? Pagi – pagi dah manyun aja tuh mulut. Jalan udah kayak orang kehilangan nyawa aja lu. Entar kesambet tauk rasa. Eh btw, lu naik taxi lagi hari ini? Hahaha,” cerocos Naumi sambil terbahak “Sialan lu. Gue jalan letoi begini karna belum sarapan tauk. Laper ini perut,” ucapku sambil mengelus perutku yang rata. “Hah, jadi sekarang gak hanya fasilitas lu aja yang ditarik. Nyokap lu juga gak ngasih lu makan? Ahahahahaaa kasian amat hidup lu, Jes,” kata Naumi semakin terbahak Sungguh teman durhaka. Bisa – bisanya dia tertawa di atas penderitaan temannya sendiri. “Bukan gak dikasih ya. Tapi gue-nya yang milih buat gak makan,” sergahku dengan cepat “Lah kenapa?” “Kenapa lu tanya? Ya jelas karna hal yang sama lah. Kan lu juga sudah tahu sendiri masalah gue apaan. Dan, gue harap dengan aksi mogok makan ini, nyokap jadi luluh dan mengambulkan permintaan gue. Terutama kakek,” jelasku singkat “Hemm, Jesi, Jesi. Kenapa lu gak terima aja sih perjodohan itu? Lagian calon tunangan lu itu kan katanya orang kaya. Masa depan lu bisa cerah dan aman tujuh turunan tauk,” “Bodo amat. Meski gue bukan orang konglomerat, tapi gue juga gak miskin amat. Keluarga gue tanpa dia masih bisa hidup layak kok,” Aku makin kesal tatkala mengingat kembali kejadian dua hari yang lalu di ruang keluarga. . “Pokoknya, Jesi bilang tidak ya tidak, Ma. Kenapa sih harus bahas ini lagi. Bukankah, Mama sudah janji. Jika, Jesi bisa diterima di Universitas favorit dengan kemampuan, Jesi sendiri, Mama bakal berhenti jodohin, Jesi” Aku sungguh tak mengerti kenapa keluargaku kekeh ingin menjodohkanku dengannya. Meski katanya dia seorang yang kaya raya, tapi tetap saja umurnya jauh di atasku. Melihat dari umurnya saja malah lebih cocok menjadi pamanku. Pasti wajahnya juga tua dan beruban. “Ya itu karna kamu selalu menolak terus, Jes. Bahkan sampai mengancam tidak mau sekolah segala. Jadinya, Mama iyakan saja syarat darimu itu,” ucap mama dengan wajah menyesal. “Mama jahat, Mama tega kepada, Jesi. Ini bukan jaman, Siti Nurbaya lagi, Ma. Kenapa harus dijodoh – jodohin segala,” Air mataku sudah mulai menggenang dipelupuk mata. Aku sudah tak tahan lagi. “Jesi. Kan, Mama sudah pernah ceritakan alasannya padamu. Itu karna, Papamu dan, Papanya dia bersahabat. Pada saat almarhum, Papamu dulu mengalami kecelakaan, keluarga mereka yang membantu mengurus dan membiayai semua kebutuhan di rumah sakit. Ya meskipun pada akhirnya, Papamu tidak bisa bertahan lama karna kelumpuhan otak yang dideritanya,” terang mama sambil menahan tangis “Kamu mungkin tidak ingat, Jes, karna pada saat itu kamu masih kecil. Tapi asal kamu tahu. Setelah, Papamu meninggal, kehidupan kita benar – benar diuji. Bisnis, Papamu bangkrut. Hutang kita dimana – mana. Sedangkan, Mama dan, Kakekmu tidak bisa berbuat banyak untuk kehidupan kita ke depannya. Pada saat kita terpuruk, keluarga merekalah yang kembali membatu kita. Melunasi semua hutang – hutang kita. Mengangkat kita dari kegelapan. Mereka juga yang memberikan modal untuk, Mama memulai usaha kecil – kecilan, dan yang pada akhirnya kehidupan kita bisa layak seperti sekarang. Mau sekeras apa, Mama berusaha, tetap saja hutang budi kita sangatlah besar kepada mereka. Sebab itulah, Mama dan, Kakekmu berencana menjodohkanmu dengan anak lelakinya. Mama berharap dengan begitu, hubungan persahabatan, Papamu tetap bisa baik sampai kapanpun,” ucap mama sambil menyeka airmatanya yang mulai menetes. Sebenarnya aku paling tidak tega jika melihat mama menangis. Namun perjodohan ini tetap saja tidak bisa aku terima. Andai saja papa masih ada. Mungkin kehidupan kita tidak akan bergantung pada keluarga dia. Apa harus aku menerima perjodohan ini? Tapi bagaimana dengan kebebasanku? Bagaimana dengan keinginanku yang ingin mempunyai suami seperti pangeran? Apa harus aku bertemu dengannya? Setelah dipirkan kembali, memang selama ini aku tidak pernah tahu nama dan wajahnya. Tentu saja aku tidak peduli. Namun bagaimanapun juga melihat mama menangis membuat hatiku tidak senang. Aku seperti telah gagal menjadi seorang anak yang berbakti. “Jes, lu gak apa – apa?” tanya Naumi mengibaskan tangannya di depanku Aku yang tengah merenung itu kembali tersadar “Hah iya gak apa – apa kok. Yuk cepetan takut telat,” ajakku kepada Naumi “Takut telat kenapa?” “Lah kan kita mau ada seminar hari ini,” terangku sambil sedikit berlari “Elah cuma seminar doang, Jes. Lagian masih ada waktu lima menitan lagi,” ucapnya dengan wajah sedatar mungkin Naumi memang selalu cenderung mesantaikan segala urusan. Tidak heran jika dirinya dijuluki miss tersantai di dunia sama anak – anak yang lain. “Ya sudah kalau gitu gue duluan ya. Dadahhh,” ucapku sambil lalu pergi dan lari dari hadapan Naumi. Naumi yang tadinya ingin berjalan santai kini sedang tergopoh – gopoh saat melihat temannya yang lain juga ikut lari dari belakang. Seperti biasa, aku hanya tertawa melihat tingkah lakunya. “Jesi tunggu,” teriak Naumi dari arah belakang “Oh tidak bisa bestie. Biarkan saja nanti lu tidak dapat kursi. Biar duduk di bawah sekalian. Ahahahaaa,” seruku dari jauh sambil melambaikan tangan ke arahnya. Aku sungguh tertawa melihat, Naumi yang berjalan cepat seperti anak itik yang kehilangan induknya. Menjahilinya memang sungguh cara yang ampuh untuk membuat stresku segera menghilang. Karna dia adalah teman sekaligus sahabatku dari sejak aku SMA. Dia sudah seperti saudara kandung bagiku. TBC.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN