Perkuliahan dimulai. Seorang Dosen perempuan sedang berdiri di tengah ruangan. Ia menjelaskan tentang mata kuliahnya pada para mahasiswa yang sedang menatap ke arahnya. Satu per satu tahapan yang harus mereka lakukan ia jelaskan. Berbagai macam pertanyaan yang diajukan oleh para mahasiswa dia jawab dengan santai. Sesekali mereka bahkan bergurau dan memecah ketegangan. Menjadikan perkuliahan menjadi santai dan mudah dipahami.
Priska menyenggol lengan Rara. Rara menoleh dengan tatapan tajam dan juga kesal.
“Apa lagi? Kau tidak lihat aku sedang mencatat tugasnya?” Rara berkata dengan nada kesalnya.
“Eh perhatikan deh, dia mirip ya dengan artis Korea!” bisiknya. Tangannya menunjuk ke arah sang Dosen. Walau ia tidak berani secara terang-terangan menunjuk ke arahnya. Dengan ditutupi buku tentunya.
“Jangan ngadi-ngadi! Durhaka kamu!” balas Rara. Kali ini dia tak lagi melihat ke arah Priska. Ucapannya sudah mulai tidak benar. Sebentar lagi, dia pasti akan membuat keributan.
Ia tiba-tiba mengangkat tangannya tinggi.
“Bu!” panggilnya.
Hingga membuat sang Dosen melihat ke arahnya penuh tanya. Setiap Dosen yang mengajar di kampus itu telah waspada. Karena, sikap Priska yang seperti itu telah terdengar oleh seantero kampus. Para Dosen akan sangat berhati-hati saat berurusan dengan satu mahasiswi itu. Setelah menghela napas panjang. Ia pun menyahutinya.
“Ya, Priska ada apa? Apa ada yang ingin kamu tanyakan?” ucapnya. Ia mencoba tersenyum dan terlihat santai di depan semua mahasiswanya. Walau dalam hati dia merasa resah. Entah apa yang akan menjadi jawaban Priska padanya. Entah apa yang akan terjadi setelahnya.
“Ibu cantik! Kayak artis Korea!” ucapnya lantang.
Hal itu membuat gemuruh terjadi di dalam kelas. Setiap temannya bersorak “Huuuuu!” padanya. Ya, bukan Priska namanya. Jika dia tidak bertingkah absurd. Beberapa temannya ada yang menepuk-nepuk meja. Ada pula yang bersiul juga. Suasana jadi riuh hanya karena ucapan Priska. Sementara sang Dosen yang mendapatkan pujian itu tampak tersipu. Rona merah terhias di kedua pipinya. Senyum malu-malu juga terpasang di sana.
“Sudah, sudah, ssst!” ucapnya lirih. Kemudian sorak-sorai di kelas pun berangsur-angsur reda. Sang Dosen berdehem lalu berkata.
“Jadi, jangan lupa dengan tugas yang sudah saya berikan. Buat satu ide bisnis baru. Siapkan proposal kalian, sampai jumpa minggu depan!” tutup sang Dosen.
“Sampai jumpa minggu depan artis Korea!” jawab Priska sedikit pelan. Ia verhati-hati. Jika tadi dia lolos. Bukan berarti dia akan lolos saat kedua kali mengatakan ya.
Sang Dosen mengemas barang miliknya. Tapi, Priska tiba-tiba mendatangi mejanya dan berkata.
“Biar saya bantu,” ucapnya. Sebuah senyum manis dia sajikan. Tapi, ia malah mendapatkan sebuah kerutan kening dari sang Dosen.
“Priska, sini!” bisiknya. Jari telunjuknya bergerak-gerak. Memberi kode agar Priska mendekat ke arahnya. Karena, ia ingin mengatakan sesuatu padanya secara rahasia.
Priska menurutinya. Ia menggeser posisinya hingga hanya berjarak beberapa centimeter saja dari sang Dosen.
“Jangan macam-macam denganku! Aku memang cantik! Tapi, kau tak perlu mengucapkannya seperti itu. Jika kau berharap aku akan memberikan nilai A padamu, dengan cara seperti itu. Jangan berharap! Hal itu tidak akan pernah terjadi! So, kerjakan tugasmu dengan baik!” ucapnya. Lalu dia berdiri dan merebut barangnya yang sudah berada di tangan Priska. Sambil menepuk pundak gadis itu dengan perlahan. Sang Dosen keluar dari kelas dengan kerlingan mata penuh permusuhan pada Priska.
“Sial!” umpatnya pelan.
Sepertinya cara itu sudah tidak manjur untuk Dosen semester atas. Ah, aku harus bagaimana?
“Ayo ke kantin!” ajak Rara. Dia menepuk pundak temannya yang terlihat sedang menggumamkan sesuatu tanpa suara.
“Ah, iya, oke!” jawab Priska.
***
Tumpukan buku di perpustakaan menenggelamkan tubuh Priska. Ia duduk dan menata buku-buku itu menutupi dirinya. Berharap tidak ada yang menemukannya di sudut ruang perpustakaan yang sepi itu. Ia sedang bermain ponsel. Memainkan game favoritnya. Dengan earphone yang menempel di kedua sisi telinganya. Rara sudah pulang sejak siang tadi. Seperti biasa, Priska lebih memilih duduk dan bermain game di perpustakaan. Daripada harus pulang dan mendapatkan serangan dari sang Kakak yang sudah dia jahili.
Bibirnya bergerak-gerak. Tapi, ia tak berani mengeluarkan suara.
Ayo serang! Awas jangan ke sana! Ah sial!
Ia tak sadar, kalau ada seseorang yang sedari tadi memperhatikan dirinya. Lebih tepatnya memperhatikan sebuah buku yang ada di antara tumpukan buku di sana. Ia mencari buku itu sedari tadi. Tapi tak menemukannya di mana pun. Ternyata malah ada di antara buku yang ditumpuk tanpa dibaca. Pria tampan itu menaikkan satu alisnya. Penasaran, siapa yang mengambil begitu banyak buku dan menatanya seperti sebuah benteng pertahanan di sudut meja. Ia berjalan mendekat. Melirik dengan hati-hati. Ia tak ingin mengejutkan siapa pun yang ada di balik tumpukan buku itu. Gerakannya pelan, hingga tanpa sengaja dia menyenggol buku itu saat mencoba mengintip lebih dekat.
Bruk!
Tumpukan buku itu ambruk. Menimpa kepala Priska yang sedang menunduk. Tak hanya itu, ponselnya pun juga menjadi korban.
“Kalau jalan lihat-lihat dong!” umpatnya kesal. Dia menggosok kepalanya perlahan yang sakit karena tertimpa buku. Perlahan dia melihat pada sosok yang berdiri di depannya.
“Bapak!”
“Kamu lagi?” ucap mereka berbarengan. Saling menunjuk dengan jemari satu sama lain. Dengan tatapan tak percaya dan mulut yang menganga. Kedua insan itu saling pandang dan sedetik kemudian pun akhirnya tersadar.
“Sedang apa kamu? Kenapa kamu menumpuk banyak buku di sini? Merepotkan orang yang sedang mencari buku saja!” ucap Damar berterus terang. Ia memang sedang mencari sebuah buku yang ternyata ada di tumpukan buku yang Priska tumpuk di meja.
“Lagi masak! Apa Bapak enggak bisa lihat? Ya lagi baca bukulah Bapak yang ganteng!” jawabnya. Dengan nada yang dibuat-buat. Membuat Damar ingin sekali menjitak kepala gadis itu. Terlebih, kerlingan matanya yang genit itu semakin membuat Damar ingin mencolok matanya. Bisa-bisanya seorang mahasiswi bersikap seperti itu pada Dosennya. Bahkan dia adalah Dosen pembimbing skripsinya.
Damar memutar kedua bola matanya. Merasa kesal dengan sikap Priska yang semakin kelewatan. Ia bergegas mengambil buku yang ia inginkan. Menariknya dari tumpukan buku lainnya. Lalu menimbulkan buku itu ke kepala Priska.
“Saya ambil ini! Kalau tidak dibaca mending jangan diambil! Merepotkan orang saja!” balas Damar.
Sebuah deheman keras yang dilakukan oleh si penjaga perpustakaan membuat Priska tak berani membuka mulutnya. Lirikan dari Bu Nur memang selalu membuat merinding. Dia melirik Priska dengan tajam dari sela kaca matanya yang sedikit melorot. Priska beringsut mundur. Menggerutu pelan dan mulai merapikan buku-buku yang terjatuh.
“Sial! Aku pasti kalah ini!” gumamnya. Saat ia akhirnya tersadar. Bahwa game yang ia mainkan masih berlangsung sedari tadi. Dan benar saja. Dia telah kalah dan mati. Hero yang menjadi andalannya di serang oleh lawan. Membuat rank-nya turun.
Ini semua gara-gara Pak Dosen Ganteng itu! Jika aku kalah dalam permainan ini. Setidaknya, aku harus menang taruhan dengan Rara. Kan lumayan, bakso Cak Sugi selama satu minggu!
Ia pun mempercepat gerakannya mengembalikan buku ke dalam rak. Ia asal saja menjejalkannya ke dalam satu rak yang paling dekat dengan tempatnya berdiri. Kemudian, ia mengangguk pelan pada Bu Nur. Langsung tancap gas dengan berlari menyusul si Dosen.
“Pak, Pak, tunggu!” teriaknya. Memang tidak sopan mahasiswi satu itu. Memanggilnya Dosen seperti sedang memanggil temannya saja.
Entah sejak kapan Damar akhirnya hafal dengan suara Priska. Ia malah mempercepat langkahnya. Menghindari gadis itu adalah solusi terbaik. Sebelum nantinya ia akan semakin tidak bisa lepas dari gadis petakilan itu.
Melihat gerak langkah Damar yang kian cepat. Priska tak mau kalah. Ia pun mempercepat larinya. Hingga napasnya julai tidak beraturan.
“Sial, seharusnya aku rajin berolahraga!” gumamnya. Masih dengan terus berusaha mengejar langkah Damar yang kian menjauh. Hingga akhirnya dia pun bisa menggapai tas yang Damar kenakan.
“Pak! Ih, tunggu!” ucapnya. Masih dengan napas yang tidak teratur. Juga keringat yang mulai bercucuran.
“Ada apa?” jawab Damar datar. Sedatar ekspresinya yang tidak mau tahu tentang Priska. Juga segala hal tentangnya. Siapa pula yang akan peduli pada gadis macam dia. Tidak akan ada!
“Minta fotonya Pak, satu saja!” pintanya dengan memelas. Dengan wajah yang dia imut-imutkan. Kedua tangannya terkatup ia tempelkan di dahinya. Sudah seperti sedang menyembah dewa saja.
Helaan napas Damar terdengar berat. Membuat Priska menutup kedua matanya. Kemudian mengintip dari sela jemarinya. Ia takut akan mendapatkan hasil yang sia-sia.
“Buat apa? Mau nakut-nakutin tikus?”
“Pft.” Priska menahan tawa. Kemudian dia berdehem beberapa kali untuk menghilangkan rasa ingin tertawanya.
“Enggak kok, Pak. Ini adalah misi yang harus saya lakukan.” Jawabannya malah semakin membuat Damar penasaran. Bukannya memberitahu alasannya, ia malah membuat alasan yang mempunyai alasan lain di baliknya.
“Misi?” suara berat Damar terdengar serius. Helaan napasnya juga lebih panjang dari sebelumnya. Priska yang sudah merasa ini tidak baik. Mengeluarkan ponselnya. Membuka aplikasi kamera dan memfotonya langsung tanpa permisi. Kemudian dia berlari pergi.
“Terima kasih, Pak!” teriaknya. Ada tawa di sela gerak langkah larinya.
Damar tak habis pikir. Bagaimana bisa dia terjebak di sebuah kampus yang mempunyai mahasiswi absurd seperti dia. Ia menggelengkan kepalanya pelan. Lalu kembali melangkah menuju ruang Dosen. Ia melihat ke sisi kanan dan kiri. Ternyata, beberapa mahasiswa sedang memperhatikan dirinya. Itu berarti, saat ia dan Priska sedang berbicara tadi. Mereka juga melihatnya.
Ah sial! Gadis itu selalu membawa aura negatif saja!
Sementara itu, Priska dengan penuh semangat mengirimkan sebuah foto ke WA Rara.
Aku sudah mendapatkan fotonya! Bakso Cak Sugi satu minggu!
Ia menuliskan itu dengan senyum semringah di wajahnya. Akhirnya, ia mendapatkan foto itu juga. Foto yang menjadi sebuah keberuntungan baginya.