21. The Game Begins Again

1182 Kata
Sore hari sepulang sekolah, Tulip kembali mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Iya, hari ini hari Rabu. Tulip sebenarnya sangat awam dengan bidang ini, hanya saja ekskul yang satu ini adalah ekskul yang dirasa paling relevan untuknya. "Hai, Tulip!" sapa seorang teman barunya di ekskul itu. "Eh, hai! Tasya, kan?" tanya Tulip memastikan. "Yap, aku Tasya!" jawabnya dengan ceria. Terlihat mood-nya kini sedang sangat baik. Mereka pun masuk ke dalam ruangan. Beberapa menit kemudian, kegiatan pun dimulai. Sebagai ketua ekstrakurikuler jurnalistik, Daniel membuka kelas tersebut. Kelas dimulai dari pengenalan 'apa itu jurnalistik'. Daniel menjelaskan semuanya dari dasar, seperti pengertiannya; prosesnya; kode etiknya; dan masih banyak lagi. Cara bicara Daniel sangatlah mudah dipahami, public speaking-nya patut diacungi jempol. Setelah dasar-dasar tersebut diberikan, para anggota baru diputarkan video bagaimana cara kerja seorang jurnalis yang benar. Semuanya memperhatikan dengan baik. Kelas berlangsung dengan sangat menyenangkan, karena pengemasan materinya yang cukup menarik. Satu jam berlalu tanpa terasa, kegiatan pun berakhir. Karena masih awal, materi yang diberikan tidak terlalu banyak. Namun, mereka diberikan tugas untuk mencari berita di media sosial dan diteliti lebih lanjut sesuai dengan poin-poin yang sudah diajarkan. "Pulang sama siapa, Lip?" tanya Tasya ketika mereka baru saja keluar dari aula. "Aku dijemput, kalo kamu?" "Aku bareng temen, tapi dia kayanya ekskulnya belum beres." "Oh iya, dia ikut ekskul apa?" "Ikut ekskul Bahasa Jepang." "Wow, keren!" puji Tulip. "Gaya-gayaan aja sih, soalnya cowok yang dia suka ikutan ekskul itu," ungkapnya kemudian tertawa. "Eh?" Tulip pun ikut tertawa. "Ya ampun, niat banget deh!" "Gak tau tuh! Segitunya dia ngejar cowok," ujarnya dengan tawanya yang masih tersisa. "Aku ke kelasnya dulu, ya!" "Oke, ati-ati!" "Kamu juga!" Mereka pun berpisah, Tulip berjalan ke depan gerbang sendirian. Lagi-lagi Pak Andra terlambat. Sebenarnya Aaron ingin menunggu, namun Tulip menolak. Ia tidak tahu kelasnya akan berlangsung berapa lama. Tulip duduk di kursi dekat pos satpam sendirian. Sekolah tidak begitu sepi, masih banyak siswa yang berkeliaran di lapangan. Kemudian seseorang menghampiri Tulip dan duduk di sebelahnya. "Nunggu orang juga?" tanyanya. "Hm?" Tulip menengok, "Ah, iya, Kak." Orang tersebut ternyata adalah Shendy. "Oiya, kamu selalu dianter jemput deng, ya?" "Iya, Kak. Kakak juga nunggu?" "Iya, tapi nunggu temen. Dia masih ada ekskul." "Ah, iya." Shendy begitu ramah, bahkan ia mengingat nama Tulip meskipun baru sekali bertemu di UKS. "Kamu ikut ekskul apa?" "Jurnalistik, Kak." "Oh, anggotanya si Daniel ternyata." Tak lama kemudian, Pak Andra datang. Tulip pun langsung pamit untuk pulang lebih dulu. "Maaf, ya, Kak. Udah dijemput." "Iya, gak apa-apa. Ati-ati, ya!" pesannya. "Iya, Kak. Makasih." Tulip langsung beranjak dan masuk ke dalam mobilnya. Shendy memperhatikannya bahkan sampai mobil itu berlalu. 'Apa bener dia deket sama Diaz?' batin Shendy. Shendy cukup dekat dengan Diaz, bahkan banyak yang tidak percaya kalau mereka berdua tidak memiliki hubungan khusus. Diaz seorang pemain basket dan Shendy cheerleader-nya, pasangan yang sangat serasi bukan? Sayangnya, Diaz sama sekali belum pernah menempatkan hati untuknya. Sekali Shendy memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya, namun yang didapatkan justru harapan palsu. Diterima tidak, ditolak pun tidak. Hampir 5 bulan Shendy terombang-ambing, namun akhirnya semua menjadi jelas ketika ia meminta bantuan dukungan saat pemilihan ketua OSIS. 'Semoga aja dia gak ada perasaan apa-apa sama Diaz,' batin Shendy lagi seraya meninggalkan pos satpam itu. Di sisi lain, Tulip juga memikirkan Shendy. Di matanya, Shendy adalah sosok perempuan yang sempurna; cantik, tubuhnya ideal, cara bicaranya lembut, ditambah lagi prestasinya segudang. Tapi mengapa Diaz tak menjadikannya pacar? Seperti apa sosok yang Diaz cari? "Pak, Kakak di rumah, gak?" "Ada, Non. Tadi ada temennya juga sih. Yang motor merah itu," jawab Pak Andra. "Oh, Kak Diaz ke rumah lagi," gumam Tulip. Ting! Satu pesan masuk di ponselnya. Pesan tersebut dikirim oleh Naya. 'Lip, aku ketemu Kak Felix!' Begitu isi pesannya. 'Oh, iya? Di mana?' balas Tulip. Ia merasa sangat bersemangat ketika melihat nama Felix di sana. Selang dua menit, Naya membalas pesannya lagi. 'Di toko buku, tapi udah pergi sih sekarang. Tau gak dia tadi sama siapa?' 'Siapa?' tanpa pikir panjang ia langsung membalas pesan itu. 'Sama cewek! Tapi pake masker, jadi gak keliatan deh.' 'Ah, aku kecewa!' Tak hanya ketikan saja, namun Tulip benar-benar merasakan ada sedikit kekecewaan di hatinya. Memang ia tak tahu perasaan apa yang ia miliki untuk Felix. Satu hal yang pasti, ia ingin memiliki Felix seperti halnya ia memiliki Diaz dan Aaron. 'Aku pun. Tapi kayanya bukan pacarnya sih, soalnya mereka gak gandengan.' 'Itu bukan jaminan, Nay!' 'Iya sih, hehe. Kamu lagi di mana? Udah pulang?' 'Ini lagi di jalan kok.' 'Cepet banget udah balik?' 'Iya, namanya juga baru pengenalan materi, tapi dikasih tugas sih–PR gitu.' 'SUMPAH? NGAPAIN EKSKUL ADA PR-NYA? DIH! NYUSAHIN!' Pesan itu menggunakan caps lock untuk menandakan kalau ia kini sedang berteriak. 'Santai, Nay! Tugasnya gak susah kok. Cuma analisis aja.' 'Tapi, kan, nambah-nambahin tugas dong itu namanya! Tugas kelas aja udah banyak, ngapain masih ditambah? Siapa sih ketuanya? Kok ngeselin banget?' 'Kak Daniel.' 'Yang mana tuh?' 'Itu loh, wakilnya Kak Shendy.' 'Really? Waaaa Kak Ganteng!' 'Dih! Tadi katanya mau marah?' 'Gak jadi deh, ganteng soalnya.' 'Huuuu dasar! Bentar ya, aku baru sampe rumah. Nanti aku chat lagi.' 'Owkayyy!' Tulip memasukkan ponselnya ke dalam saku, lalu keluar dari mobil. Ketika ia masuk, tak ada tanda-tanda keberadaan Diaz di sana, itu berarti ia ada di lantai 2–di kamar Aaron. Sebelum masuk ke kamar, seperti biasa ia ke dapur dulu untuk meminum segelas air. Entah sejak kapan itu menjadi kebiasaannya, bahkan sudah seperti hal yang wajib. Tulip sedikit merasa lapar, padahal ia sudah makan siang di kantin. Kulkas pun menjadi sasarannya. Diambilnya sebuah apel, lalu dicuci dan dibawanya ke kamar. Dari luar, terdengar suara teriakan Diaz meski tidak terlalu keras. Sudah pasti mereka sedang bermain gim balap mobil. 'Sejak aku dikenalin sama Kak Diaz lagi, mereka jadi sering main bareng. Kenapa gak dari dulu aja, sih? Kalo gini kan Kak Aaron jadi keliatan beneran manusia,' batin Tulip seraya masuk ke dalam kamar. "Tulip udah pulang?" tanya Diaz setelah mendengar suara pintu yang ditutup. "Udah kayanya," jawab Aaron. "Aku mau ketemu dulu." Diaz meletakkan joystick-nya dan hendak berdiri, namun ditahan Aaron. "Gak usah! Kita belum selesai main!" "Bilang aja gak boleh?" ujar Diaz kesal. "Memang! Dia biar tidur dulu, keburu sore entar gak boleh tidur lagi." "Kaya bocah aja!" "Memang dia bocah," jawab Aaron santai seraya memulai permainannya lagi. "Ayo buruan!" ajak Aaron lagi. "Iya-iya!" jawab Diaz pasrah. Keinginannya bertemu Tulip harus ditahan lagi, Aaron benar-benar membentang jarak untuk mereka. Seperti yang Tulip katakan sebelumnya, Diaz jarang berkunjung ke rumah mereka. Namun, semenjak Diaz menemukan Tulip lagi, ia tak bisa menahan diri untuk terlalu sering jauh dari Tulip. Bahkan jika bisa, ia ingin menukar Tulip dengan Rafael–adiknya. Tentu saja hal itu tidak akan pernah terjadi. Di kamarnya, Tulip duduk di meja belajar sembari menghabiskan apel. Ia juga menggulirkan layar ponselnya sekedar untuk melihat-lihat postingan foto teman-temannya di media sosial. Ting! Sebuah notifikasi kembali masuk. Kali ini bukan dari Naya, melainkan nomor baru. 'Hai, Tulip. Aku Melinda. Salam kenal!' Tulip sengaja tidak membuka pesan itu, ia hanya melihat dari bar notifikasi. "Melinda? Siapa?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN