12. Ada Apa dengan Jantungku?

1892 Kata
"Sekian visi dan misi dari kami pasangan nomor urut 2. Kami sangat berharap teman-teman bisa melihat sendiri bagaimana prestasi yang sudah kami raih selama ini. Ingat, pilih kami dengan nomor urut 2, ya!" Shendy mengakhiri kampanyenya sebagai calon ketua OSIS nomor urut 2, di antara 2 kandidat lainnya. Setiap kandidat sudah mendapatkan undian masing-masing dan Shendy mendapat giliran pertama. "Dia hebat, ya! Baru kelas XI tapi udah banyak prestasinya," bisik Tulip di sebelah Naya. "Tapi aku gak bakal pilih dia," jawab Naya dengan yakin. "Eh? Kenapa?" "Dia udah terlalu banyak prestasi. Kalo dia kepilih, nanti OSIS bakal terbengkalai karena dia sibuk sama kegiatannya sendiri." "Masa, sih?" tanya Tulip yang masih tak percaya. "Jadi kita harus pilih yang gak punya prestasi?" "Ya gak gitu juga, tapi setidaknya prestasinya yang normal-normal aja. Entah kenapa, dari cara ngomongnya aja udah gak meyakinkan kalo dia bisa menjadi ketua yang baik," ujar Naya lagi sembari memperhatikan Daniel–wakil dari Shendy–yang masih bicara di depan. "Hmm, aku gak bisa ngeliat apa yang kamu liat," jawab Tulip dengan polos. Kampanye pun selesai, Shendy dan Daniel keluar dari kelas Tulip dan menuju kelas lainnya. Pak Mario yang kali ini sedang mengajar di kelas Tulip, kembali melanjutkan pelajaran. Karena waktu belajar mereka sudah tersita dengan kampanye yang baru saja dilakukan, akhirnya Pak Mario tidak jadi memberikan kuis, hanya teori-teori saja yang dibahas. Tentu hal itu membuat seisi kelas merasa senang. Karena kebetulan spidol kelas habis, Pak Mario menunjuk acak siswa untuk mengambilkan isi ulang spidol itu di ruang tata usaha. Alasan Pak Mario memilih acak adalah agar setiap siswa menjadi lebih berani. Kalau tidak dipaksa, maka mereka akan terbiasa hidup dengan rasa takut yang seharusnya bisa mereka kalahkan. Tentu saja, wajah Tulip yang terlihat polos dan penakutlah yang membuat Pak Mario akhirnya memilih dia. "Nay-Nay!" panggil Juan sembari mencolek bahu Naya setelah Tulip sudah keluar dari kelas. "Hm, ada apa?" jawab Naya tanpa menoleh. "Tengok sini sebentar!" ujar Juan lagi. Mereka bicara cukup pelan karena masih ada Pak Mario yang berdiri di depan pintu sembari memainkan ponselnya. "Apa sih? Mau pinjem catetan?" tanya Naya lagi, namun kini ia sudah menghadap ke belakang. "Tulip punya kakak cowok, kan?" "Iya, kenapa? Kamu suka sama kakaknya?" tanya Naya sekenanya. "Sembarangan! Aku tau dari seseorang kalo… Tulip itu anak pungut." Juan berbicara dengan sangat hati-hati. Namun karena pemilihan kata yang tidak tepat, ia justru mendapat pukulan dari Naya, tepat di bahu kanannya. "Kamu ini ngomong apa, sih? Aku kira kamu temen yang baik, tapi bisa-bisanya kamu bilang kalo Tulip itu anak pungut?" seru Naya yang emosinya langsung tersulut. Meski begitu, ia masih menjaga volume suaranya agar tidak bisa di dengar siswa lainnya. "Jangan emosi dulu! Aku ngomong gini karena aku mau memastikan aja. Aku tau kalian deket, makanya aku mau tanya yang bener gimana." "Mau anak pungut, anak tiri, anak haram, aku gak peduli! Jangan pernah tanya hal kaya gini ke Tulip! Nanti dia bisa tersinggung," ujar Naya mengingatkan. "Kok namaku disebut, kalian lagi bahas apa?" tanya Tulip tiba-tiba, ia kini sudah duduk di bangkunya. "Eh? Bukan apa-apa. Juan tadi bilang katanya kamu gak bakal berani minta isi spidol di ruang TU," jawab Naya berbohong. Juan juga langsung kembali menegakkan posisi duduknya. Valent sejak tadi hanya menyimak, tidak ikut bicara sama sekali. Hanya menjadi pendengar dan seolah tidak peduli. "Ahh, gitu. Gak sepenuhnya salah, sih. Tadi aku sempet takut buat ngomong, di sana juga banyak guru-guru yang lagi kumpul. Rasanya nyaliku langsung menciut, tapi mau gimana lagi?" jawab Tulip tanpa mencurigai apapun. "Ayo fokus-fokus-fokus! Lihat ke papan tulis lagi!" ujar Pak Mario sembari mengetuk papan tulis dengan spidolnya. Pelajaran dimulai lagi, jam belajar masih tersisa 30 menit. Pelajaran bahasa Indonesia akhirnya selesai, namun belum berpindah ke jam istirahat. Masih ada satu mata pelajaran lagi, yakni pendidikan jasmani. Para siswi langsung mengambil setelan olahraga dan pergi ke ruang ganti, sedangkan para siswa memilih untuk berganti di kelas meskipun memiliki ruang ganti sendiri. "Lip, kapan aku boleh main ke rumahmu?" tanya Naya. Sekarang mereka sedang berjalan menuju ruang ganti. "Kapan aja boleh kok. Kalo mau main ke rumah kapan pun boleh, tapi kalau main keluar harus izin mamaku dulu." "Siang ini, gimana?" tanya Naya semangat. "Mmm… boleh, boleh kok. Kita juga ada tugas, kan, tadi? Nanti kita bisa kerjain bareng-bareng," ujar Tulip. Meskipun ia bukan anak yang terlalu pintar, ia sudah terbiasa untuk mengerjakan PR sepulang sekolah. Didikan kedua orang tuanya yang membuatnya menjadi disiplin. "Oke, ide bagus!" balas Naya. Mereka masuk ke ruang ganti dan segera mengganti seragamnya dengan setelan olahraga. Tak lupa rambut yang tadinya diurai juga harus diikat, terutama untuk yang berambut panjang. Itulah salah satu peraturan yang berlaku di sekolah. "Ikat rambutmu lucu, beli di mana?" tanya Kiran, salah satu teman sekelas Tulip. "Eh? Kayanya sih di Blueberry," jawab Tulip. Blueberry adalah salah satu toko aksesoris terkenal di sebuah mall. "Wah, ternyata di sana ada yang bagus juga, ya? Waktu aku ke sana, bentuknya gak ada yang bagus," ujar Kiran lagi. "Gimana kalo kapan-kapan kita belanja bareng?" Tiba-tiba Naya mengusulkan. "Ada yang nyebut belanja? Aku ikut!" sambung Isabel. Akhirnya mereka berempat kembali ke kelas sambil berbincang. Dalam batinnya, Tulip merasa sangat senang. Temannya perlahan bertambah setiap harinya. Meski sedikit kaku, sebisa mungkin Tulip membiasakan diri untuk bergaul dan membuang rasa takutnya. Kalau tidak berani berbaur, tentu kesempatan ini akan terbuang sia-sia. Pelajaran olahraga dimulai dengan presensi, Pak Ian memanggil satu persatu sesuai urutan absen. Sebagai ketua kelas, Reynald memimpin pemanasan sebelum kegiatan olahraga dimulai. Agenda hari ini, mereka akan berlatih untuk bermain voli. Sebagian dari mereka sangat bersemangat, namun tak sedikit juga yang mengeluh, salah satunya Tulip. Ia tidak suka mata pelajaran olahraga, karena sangat melelahkan baginya. "Ayo sini!" ajak Naya. Ia menarik Tulip dan mengambil satu buah bola. "Jangan aku, aku gak bisa!" ujar Tulip. "Bisa kok bisa! Kan, baru latihan." Naya masih terus meyakinkan. Mereka tidak langsung melakukan permainan sungguhan, melainkan hanya latihan mengoper bola dengan cara yang benar. Mereka latihan dengan berpasang-pasangan. Naya terlihat begitu semangat, sudah terlihat dari cara geraknya selama ini kalau ia senang berolahraga. Gerakannya begitu ringan dan lincah. Menit pertama, banyak bola yang meleset ketika Naya mengoper bola kepada Tulip. Namun karena mereka menganggap ini seperti sebuah permainan, maka kegagalan pun terlihat lucu. Dengan sabar Naya mengarahkan Tulip untuk tidak menghindar dan mau menatap bola yang datang. Akhirnya, Tulip bisa mengoper balik bola kepada Naya. "Seru, kan?" tanya Naya. Kini mereka sedang istirahat di tribun sebelah lapangan. "Iya, tapi tetep aja kalo main beneran aku gak bakal ikut," jawab Tulip sembari membuka tutup botol air mineral dan meminumnya. "Hmm, setidaknya kamu gak seburuk anak itu," ujar Naya sembari menunjuk seseorang yang masih berlatih. "Cathy maksudmu?" tanya Tulip. "Ya. Menurutku dia cuma pura-pura gak bisa untuk narik perhatian anak-anak cowok." "Kenapa kamu bisa mikir gitu?" "Gampang ditebak. Pertama, dia pilih tempat di ujung sana, tempat di mana anak cowok pada kumpul. Kedua, dia keliatan gak serius. Dari tadi ia selalu hindarin bola yang dilempar– siapa itu namanya?" Naya lupa nama lawan main Cathy. "Kayanya namanya Susan," jawab Tulip ragu. Mereka memang belum mengenal semua anggota kelasnya sendiri karena masih banyak siswa yang bergerombol dan tidak mau berbaur. "Ah iya, Susan. Dari tadi Susan udah ngoper bola dengan cara yang bener, tapi dia gak pernah bales ngoper dengan bener." "Bukannya aku juga gitu?" tanya Tulip yang masih belum mengerti. "Iya, tapi beda kasusnya. Kamu tadi gagal nerima bola karena kamu takut bolanya. Kalau Cathy, pandangannya selalu ke arah sana." Naya menunjuk lagi sekumpulan anak laki-laki yang sedang bermain voli sungguhan –bukan latihan oper bola. "Ah, aku paham. Kamu jeli juga ternyata, ya." "Oh, jelas! Untuk hal kaya gini gak bakal pernah luput dari pandanganku," jawab Naya penuh percaya diri. Sisa jam pelajaran olahraga kali ini dihabiskan dengan menonton pertandingan voli yang dilakukan oleh siswa kelas Tulip sendiri. Meski hanya permainan biasa, tapi mereka terlihat sangat mahir, seperti melihat pertandingan sungguhan. Namun di lapangan lain, terdapat siswa yang sedang berlatih basket. Siswa tersebut adalah siswa dari kelas XI IPS 2. Hal itu membuat fokus kelas X1 terbagi, karena seperti rahasia umum yang sudah beredar, penghuni kelas XI adalah para pangeran berseragam. "Kalau gini caranya, pasti aku bakal semangat setiap jam pelajaran olahraga," gumam Naya dengan pandangan yang fokus ke arah lapangan sebelah. "Bagiku sama aja. Toh bakal lebih malu karena aku banyak gak bisanya di pelajaran olahraga," balas Tulip. Ia merasa sangat lemah dalam mata pelajaran yang satu ini "Tenang, untuk menarik perhatian cowok itu kamu gak harus jago olahraga kok. Bahkan yang bodoh banget kaya si Cathy pun bisa bikin mereka tertarik." "Husss! Jaga mulutmu! Nanti kalo ada yang denger gimana?" Tulip mengingatkan. Memang sangat terlihat kalau Cathy sedang menarik perhatian siswa laki-laki. Saat ini ia sedang duduk di pinggir lapangan yang bahkan tak ada penutupnya sama sekali. Padahal kalau berniat istirahat, ia bisa naik ke tribun karena ada atapnya. Untuk apa rela duduk berpanas-panasan di lapangan, kalau bukan untuk menarik perhatian lawan jenis? Sesekali ia mengibaskan tangannya di dekat leher, mungkin bermaksud menjadikan tangannya sebagai kipas. Rambut yang sudah terikat, ia lepaskan sebentar lalu kemudian ia ikatkan kembali. Beberapa kali ia lakukan, entah apa tujuannya. "Nih, untuk kalian!" Tiba-tiba Valent datang dengan membawakan dua botol minuman rasa jeruk dengan campuran bulir-bulir jeruk di dalamnya. "Wah, makasih!" ucap Tulip senang. Ia benar-benar butuh asupan gula untuk memulihkan energinya. "Makasih ya, Lent!" Naya juga langsung menerima botol itu dan membukanya. "Sama-sama," jawab Valent. "Itu siapa sih yang di sana? Apa mereka gak takut kena bola yang nyasar?" tanya Valent kemudian. Ternyata ia belum kenal dengan Cathy. "Oh, anak yang banyak gaya itu, ya?" tambah Juan. "Ih, kalian pada kenapa sih mulutnya?" ujar Tulip kesal karena sejak tadi mulut teman-temannya banyak yang kurang sopan. "Kamu tau dia siapa?" tanya Valent lagi pada Juan. "Enggak. Haha! Aku cuma tau kalo dia banyak gaya. Ngeliatnya aja udah males, pasti setiap hari kerjaannya cuma tebar pesona," jelas Juan. "Nah, setuju banget! Bahkan aku gak tau berapa kali dia udah ngelepas dan ngiket rambutnya lagi. Padahal 'rambut jagung' kaya itu, gak ada bagusnya sama sekali," ujar Naya sengit. Jika Naya sudah bertemu dengan Juan, maka jadilah. Cocok bahkan sangat cocok –setidaknya dalam dunia per-julid-an. Memiliki rekan gosip baru, Juan merasa sedikit senang. Meski lebih banyak selisih paham daripada akurnya, setidaknya mereka terlihat bisa menjadi teman baik. "Eh, liat deh! Itu kakak yang ngisi acara penutupan MPLS, kan? Dia makin keren," ujar Naya tiba-tiba dengan tangannya yang menunjuk Felix. "Oh iya, Kak Felix. Kayanya dia anak basket, aku pasti bisa ngalahin dia nanti." Juan menanggapi. "Memang kamu bisa? Badan kecil begitu, ketiup angin aja terbang!" ledek Naya. "Enak aja! Jaga mulutmu, nanti kamu jatuh cinta sama aku baru tau rasa!" balas Juan, namun Naya pura-pura tidak mendengar. "Ehh, dia liat ke sini!" ujar Naya lagi. Dia terlihat begitu antusias. Tulip sejak tadi hanya memperhatikan saja, tidak banyak bicara namun matanya tetap fokus memperhatikan setiap gerakan Felix. Namun ketika Felix melihat ke arahnya, manik mata mereka bertemu dan membuat jantung Tulip berdebar hebat. Mirip dengan yang ia rasakan ketika beberapa waktu lalu Diaz melemparkan senyum padanya. 'Kenapa jantungku kaya ini lagi? Apa aku punya penyakit jantung? Gak mungkin jantungku deg-degan kuat tanpa alasan. Aku harus tanya Mama nanti,' batin Tulip sembari menekan dadanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN