Bagian 8

686 Kata
Gayatri meninggalkan rumah Rima dengan segenap perasaan kecewa atas sikap orang tua Rima yang masih saja mengatur dirinya hingga saat ini. Menangis saja rasanya tak cukup menenangkan hati, entahlah mengapa, semesta seperti tidak pernah berpihak padanya. Bahkan di dalam keluarganya sendiri, Gayatri merasa tak menemukan kenyamanan. Satu-satunya titik nyaman yang ia punya pun seolah terampas tanpa menyisakan apa pun kecuali luka. Sementara Rima dan Alan masih dalam percakapan yang tak berujung. "Kita itu seperti berada di jalan buntu, Mas." "Tidak! Sebetulnya jalan kita tidak buntu, hanya kamu saja yang tidak mencoba memberi jalan padaku." Rima tidak tahu lagi harus membawa pembicaraan ini kemana, ia pun mulai jengah dan beranjak hendak meninggalkan balkon dan masuk ke dalam rumahnya. Tapi Alan turut beranjak, ia membawa langkah mendekat pada Rima, memegang lengannya dan membawa tubuh kecil istrinya itu dalam dekapan. Rima termangu, diam tanpa perlawanan, matanya berkaca-kaca, betapa cinta sama sekali tak pudar, ia masih merasakan hangat menjalar ke seluruh tubuh atas setiap sentuhan yang Alan berikan. "Lepaskan, Mas!" Alan diam, mengeratkan pelukannya. "Aku gak mau dipeluk, lepasin!" ucap Rima dengan nada yang terdengar seperti dulu bila sedang merajuk. "Kamu jahat, Mas!" ucapnya pelan dan mulai menangis. "Kamu tega!" lanjutnya lagi dengan air mata yang mulai menganak sungai. Alan masih diam, ia pejamkan mata dengan tangan yang masih memeluk erat pada tubuh Rima. Rentetan peristiwa dari awal sampai titik ini seperti sebuah film yang berputar di atas kepalanya. Meski tak tahu seperti apa sebetulnya yang sedang terjadi, apa yang saat ini dalam hatinya. "Sesulit itu kah kamu mencintaiku, Mas?" Alan masih bergeming, matanya masih terpejam. Hingga akhirnya Rima membalas pelukan Alan penuh rindu, cinta dan kehangatan. Dengan perlahan, Alan membuka matanya, samar dari jarak beberapa meter di hadapannya, seseorang berdiri menatap dengan sendu, tak lain ia adalah Gayatri. Pria itu dibuat termangu, meski tidak melepaskan pelukannya. Sebelum Rima berbalik arah, Gayatri menyeka air mata, lalu melukis senyum di wajahnya, senyum palsu, topeng terbaik yang ia pakai beberapa tahun terakhir ini. Rima pun turut melepaskan pelukannya seperti Alan, kemudian berbalik arah dan juga melihat Gayatri sedang tersenyum ke arahnya. "Sepertinya aku mengganggu kalian, maaf ya," ucap Gayatri merasa bersalah. "Its oke," jawab Alan pelan. "Aku datang lain kali, ya. Sekali lagi maaf ganggu." "Tidak perlu, Ay! Ada apa?" tanya Rima. "Tidak apa-apa, aku hanya khawatir padamu. Kamu tidak membalas pesanku," jawab Gayatri. "Aku sedang tidak banyak memegang ponsel, maaf tidak membalas pesanmu." Gayatri menganggguk. "Aku membawakan makanan kesukaanmu, aku hangatkan, ya," ucap Gayatri mengangkat sesuatu di tangannya. Rima hanya mengangguk, lalu sahabatnya itu berlalu. "Aku keluar dulu, ada urusan sebentar!" ucap Alan. "Kamu tidak perlu menghindar." "Tidak! Aku memang sudah ada rencana untuk pergi," jawab Alan seraya menunjukkan ponselnya dan memperlihatkan jadwal hari ini. Rima tak banyak bicara, Alan pun berlalu seperti biasa masih dengan pembawaannya yang dingin, yang baru saja terjadi seperti tidak ada. Rima pun menghampiri Gayatri yang baru saja selesai menyiapkan makanan. "Kamu tidak kencan libur begini?" ucap Rima basa-basi. Gayatri tertawa kecil. "Kamu sedang meledekku, Rim? Aku kan jomblo akut." "Sejak dulu aku tidak pernah melihatmu dekat dengan laki-laki. Kamu masih normal kan?" Kali ini Gayatri kembali tertawa. "Kamu pikir aku menyukai wanita?" Rima mengangguk seraya mencicipi makanan kesukaannya itu walau tidak berselera. "Ya! Dan kamu satu-satunya wanita yang aku sayangi!" ucap Gayatri mendekat pada Rima kemudian memeluknya. Dapat Rima rasakan betapa tulus wanita yang sedang memeluknya ini memberikan kasih sayang. Dirinya selalu menjadi garda terdepan untuk membela seorang Rima yang lemah. Hal yang paling sakit, ia pun akhirnya harus berkorban memberikan cintanya. "Seketika mules," ucap Gayatri sambil berlari ke kamar mandi. Rima hanya tertawa kecil melihat tingkahnya, hingga matanya tertuju pada sebuah dompet berwarna merah milik Gayatri. Tangannya dengan ragu mengambil dompet itu dan membukanya. Rima paham ini sebuah kelancangan, tapi ia begitu penasaran, lalu di sana ia temukan sebuah foto usang yang diambil mungkin beberapa tahun lalu, terlihat seperti sedang mendaki gunung dan ia ada di puncaknya. Alan tersenyum bahagia seraya memeluk Gayatri dari belakang. Sebuah perasaan tak bisa dijelaskan, satu yang ia sesali, dirinya begitu terbuka pada Gayatri, tapi ia sangat tertutup, bahkan sosok Alan tak pernah ia ketahui ada dalam hidup Gayatri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN