Penolong

1156 Kata
Yang terakhir Nadine ingat adalah ketika dirinya dipukul menggunakan laptop oleh Victoria. Dan sekarang dia terbangun di tempat yang asing? “Selamat pagi, Nona. Anda baik baik saja sekarang?” Nadine langsung mendudukan diri dan beringsut mundur menatap tajam pada wanita dengan pakaian pelayan di sana. “Kau siapa?” “Saya pelayan Tuan Abraham. Tenanglah, semalam anda pingsan dan dibawa ke sini.” Seketika Nadine ingat apa yang terjadi, dia memegang kepalanya yang terasa sakit dan meringis lagi. “Butuh saya panggilkan dokter lagi?” Lagi? memangnya ini rumah sakit? Nadine bingung. “Tidak perlu, aku baik baik saja.” “Sebelum anda pergi, silahkan sarapan terlebih dahulu dan minum obatnya. Tuan Abraham masih bersiap di kamarnya.” Nadine menatap nampan yang pelayan lain bawa. Membuka meja lipat dan menyimpan di atas kasur kemudian sarapan dihidangkan di depannya. “Aku bisa makan di tempat lain.” “Tidak apa, makanlah. Tuan Abraham meminta saya untuk memastikan anda makan dan minum obat.” “Terima kasih.” Nadine menatap wanita yang tidak kunjung pergi itu. “Selamat menikmati,” ucapnya kemudian melangkah pergi. Nadine menelan salivanya kasar, kenapa mereka semua kaku seperti Abraham? Melihat lagi ke sekitar, ini adalah type mansion mewah. Bahkan Nadine bisa melihat halamannya yang begitu luas di bawah sana. kasurnya juga empuk, ditambah lagi banyak sekali benda mewah. Membuatnya merasa tidur di kamar tuan putri. Nadine baru tersadar kalau pakaiannya berganti. Tidak mungkin Abraham kan? karena ada kissmark di pinggulnya yang dilakukan pria itu di malam sebelumnya. Nadine melarang Abraham memberi tanda di tempat yang orang lain lihat. Jika sekarang Abraham tau kalau dirinya adalah Rose, maka itu pasti gara gara kissm*rk. Nadine tidak pernah meninggalkan jejak Rose dalam karakter dirinya yang asli. “Kenapa belum memakannya?” Nadine kaget dan hampir saja menumpahkan makanan di depannya. “Pak,” ucapnya menunduk. Abraham mengambil duduk di sofa, pria itu sudah rapi dengan kemeja hitamnya. Aroma tubuhnya membuat Nadine bergair*h sendiri. “Makan cepat.” “Terima kasih sudah membantuku, Pak.” “Siapa yang melakukannya?” Abraham duduk di sofa yang ada di ujung ranjang, posisinya jadi berhadapan dengan Nadine. “Apa mereka sering merundungmu seperti itu?” Victoria memang dekat dengan dekan fakultasnya, tapi yang Nadine lihat kalau yang paling berkuasa adalah Abraham. Karena semua keputusan, selalu sesuai pertimbangan dari pria ini. “Iya, mereka merasa aku tidak pantas untuk menjadi perwakilan fakultas ke London.” “Siapa?” “Victoria.” “Berapa kali?” “Setiap kali aku lebih unggul darinya.” “Kenapa tidak melapor?” Nadine mengulum bibirnya. “Karena dia sepupu dekan fakultas?” Nadine mengangguk perlahan. “Aku khawatir dalam masalah, jadi tidak berani melakukan apapun.” Abraham berdecak. “Berhenti menjadi lemah. Kalau ada yang merundungmu lagi, segera melapor. Minggu depan kau harus sehat dan memperlihatkan pada universitas lain kalau fakultas kita hebat.” Senyuman Nadine terbit, dia menunduk malu membayangkan dirinya menjadi kebanggan fakultas. “Sekali lagi terima kasih atas bantuannya. Padahal bapak bisa mengantarkanku ke rumah sakit saja.” “Aku punya dokter pribadi di sini. sayang sekali kalau tidak digunakan.” Abraham berdiri dari duduknya. “Nanti supirku yang akan mengantar. Tidak usah masuk kampus, persiapkan saja untuk keberangkatan kita lusa.” “Iya, Pak.” Membiarkan Abraham pergi, baru menikmati makanan yang sangat enak itu. bahkan, Nadine akan diantarkan oleh supir yang ada di mansion itu. begitu keluar kamar, Nadine terpukau dengan keindahan tempat ini. rasanya seperti berada di Istana. Bagaimana bisa ada tempat sebagus ini? “Maaf, aku mau tanya. Siapa yang menggantikan bajuku semalam?” “Saya, Nona. Maaf melakukannya tanpa izin anda.” “Tidak apa, terima kasih.” Nadine segera masuk ke dalam mobil dan menatap istana besar itu dari luar. Memandang dirinya sendiri dalam kaca ponsel, Nadine terkekeh. Wajahnya begitu buruk, berbeda dengan dirinya ketika menjadi Rose dengan rambut yang lurus. *** Nadine mempersiapkan diri untuk pergi ke London. Sebelumnya, dia pergi ke rumah sakit dulu untuk berpamitan pada sang Ibu. “Andai saja ibu sembuh, pasti Ibu akan menemanimu bersiap.” “Ibu jangan memikirkan yang lain. Focus saja pada kesehatan Ibu. Dokter bilang, bulan depan Ibu sudah bisa pulang. kita hanya perlu check up rutin.” “Pasti Ibu menghabiskan banyak uangmu ya?” “Berhenti mengatakannya, Ibu,” ucap Nadine memeluk sang Ibu, meyakinkannya kalau dirinya baik baik saja. Setelah berlama lama dengan sang Ibu, Nadine kembali ke flatnya untuk memastikan kalau persiapannya matang. Buku pelajaran yang utama. Ketika lemari terbuka, Nadine diam sejenak menatap koper merah miliknya. Nadine menyeretnya keluar dan membuka koper itu. isinya adalah semua peralatan untuk merubah diri menjadi Rose. Dimulai dari lensa dan lain lain. Nadine menelan salivanya kasar. Meskipun yang diketahui semua orang kalau dirinya pendiam, pemalu dan cupu, tapi sisi liar Nadine menikmati peran menjadi Rose. Bisa berbuat sesukanya, dipuja dan juga nakal. “Lensa kontak saja satu,” ucapnya pada diri sendiri. mungkin saja di sana ada pesta. “Tapi, bisa bahaya kalau bertemu Pak Abraham. Dia pasti akan bertanya tanya bagaimana bisa Rose ada di sana.” Memilih untuk menyimpannya kembali. Ponselnya berbunyi, Nadine segera mengambil. “Hallo?” sampai dia sada kalau yang berdering itu ponselnya yang lain. “Ya ampun, saat malam tiba, aku langsung memegang ponsel milik Rose.” Karena Rose dan Nadine bahkan memiliki ponsel yang berbeda. Kali ini, ponsel Nadine yang berbunyi. Itu dari Abraham, Nadine berdehem sebelum mengangkatnya. “Hallo, Pak?” “Saya sudah dibawah.” “Dibawah mana?” “Di bawah flat kamu. segera turun. Cepat.” Nadine kaget, dia bergegas pergi menuju ke bawah dengan koper besar di tangannya. Abraham menjemputnya, bahkan sopir itu juga membantu Nadine mangangkat koper ke dalam bagasi. Saat duduk di bangku belakang, Nadine kaget ada Abraham duduk di sana pula. “Pak,” ucapnya menyapa. “Harusnya bapak tidak perlu menjemputku.” “Bisakah kau berterima kasih?” “Maaf,” ucapnya membenarkan kacamata. “Terima kasih, Pak.” Mobil itu membawa keduanya pergi ke bandara. Koper juga langsung dibawakan oleh petugas bandara di sana. aneh sekali, kenapa mereka diperlakukan dengan special? Bahkan kening Nadine berkerut ketika dia malah dimintai menunggu di sebuah ruangan yang nyaman. “Diam di sini,” ucap Abraham yang keluar. Hanya ada Nadine sendiri di sana, sampai seorang pelayan datang membawa camilan. “Silahkan menikmati, Nona.” “Terima kasih.” Apa bandara memang semewah ini? semua penumpang mendapatkan hal ini? lamunan Nadine terhenti ketika ponselnya berbunyi. Itu dari Meila. “Hallo?” Nadine mengangkatnya. “Hei, apa kau tau? Victoria dan teman temannya diberi hukuman karena terbukti memukulmu dengan laptop. Dan kau tau? Dekan yang memberi hukumannya secara langsung.” Nadine terdiam. Jika tau seperti ini, dia akan mengadu pada Abraham sejak dulu. “Kenapa?” tanya Abraham dengan dingin saat baru saja masuk. “Tidak, Pak.” Nadine kembali bicaara dengan Meila di telpon. Tapi dia tidak akan berani mengadu, karena Abraham terlihat menakutkan sebelum Nadine bersama dengan pria tampan itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN