Terpaksa jadi Teman Tidur

1141 Kata
Keberaniannya membuat Mahesa terkesiap. Selama hidupnya, ini kali pertama ia dibentak oleh seorang wanita miskin seperti Athalia. Kini Athalia membalikan badan, bergegas keluar dari ruang kerja Mahesa. Bola mata abu milik Mahesa terus memindai punggung wanita itu sampai benar-benar menghilang dari pandangannya. “Menarik sekali. Ini pertama kalinya aku melihat wanita yang menolak uang dengan jumlah sebesar itu.” Mahesa tersenyum tipis. Jujur, ada sedikit kekaguman dalam hatinya terhadap sikap Athalia yang tetap bersikeras ingin mempertahankan kehormatannya dan menolak tawaran menggiurkan yang diberikan oleh Mahesa. Mengingat, para aktris serta model papan atas justru saling berebut mendekatinya. Tentu saja mereka sangat terpikat pada paras Mahesa yang tampan dan berkarisma. Lebih lagi pada kekayaannya yang tak terhitung banyaknya. Tetapi manusia tidak pernah ada yang benar-benar sempurna. Pasti ada cela yang tersembunyi dalam kehidupan pribadi mereka. Maka Mahesa pun memiliki sisi kekurangannya sendiri. Dan kekurangannya itu adalah akibat dari kelamnya masa lalu yang sangat tidak ingin Mahesa ingat. Masa lalu itu pula lah yang akhirnya membentuk Mahesa menjadi seorang lelaki yang tak percaya dengan adanya cinta. “Tapi bukankah semua wanita itu sama saja? Aku yakin, dalam satu atau dua hari, Athalia pasti akan kembali menghadapku untuk menyetujui apa yang kutawarkan,” gumamnya tersenyum kecut. *** Pasrah, Athalia memilih menyerahkan semuanya pada Tuhan. Mungkin esok hari ia akan mendapatkan pinjaman dari orang lain. Namun, begitu pulang ke rumah, Athalia justru mendengar kabar buruk. Adiknya dilarikan ke rumah sakit. “Sebelum semuanya makin parah, sebaiknya proses transplantasinya segera dilakukan. Mungkin kami tidak bisa menjamin kesembuhannya. Tetapi dari sebagian besar kasus leukimia jenis ini, memiliki kemungkinan sembuh yang lebih besar setelah melakukan cangkok sumsum tulang belakang. Sumsum tulang belakangnya Yasna yang telah rusak harus diganti dengan sumsum tulang belakang sehat yang cocok dengannya.” Dokter Andri memaparkan hal yang sebenarnya sudah Athalia ketahui sejak beberapa hari ke belakang. Ini kedua kalinya Dokter Andri mengatakan itu pada Athalia. Athalia mengetahui tentang kondisi Yasna yang harus melakukan transplantasi. Tetapi ia tidak tahu harus mencari uang sebanyak itu dari mana. Sebenarnya untuk pendonornya sendiri, Dokter Andri mengatakan kemungkinan besar yang paling cocok adalah ibunya. Meskipun nantinya tetap harus dilakukan tes kecocokan terlebih dahulu. “Aku tahu ini tidak mudah, Athalia. Biayanya memang sangat besar. Aku mengerti keadaan ekonomi keluargamu. Sebagai dokter, aku harus mengatakan apa jalan terbaik untuk kesembuhan Yasna.” Athalia mengangguk, tersenyum pahit. Keadaan Yasna semakin serius. Apa yang bisa ia lakukan untuk adiknya itu? ‘Aku pengangguran. Uang di dompetku sudah habis semua hari ini. Sedangkan Yasna sangat membutuhkannya. Apa yang harus aku lakukan sekarang?’ batin Athalia. Kini ia melangkah keluar dari ruangan Dokter Andri. Athalia berdiri menyandarkan punggungnya di tembok, matanya menatap sayu ke depan, sementara benaknya berkecamuk memikirkan banyak hal. Sampai tiba-tiba ucapan Mahesa kembali terngiang di telinganya. ‘Pilihannya hanya dua, Athalia. Terima tawaranku dan selamatkan adikmu. Atau kau kupecat dan adikmu tidak akan tertolong.’ “Adikku tidak akan tertolong…” Athalia mengulang kalimat Mahesa sambil memejamkan mata, membuat setetes air jatuh melewati pelipisnya. Ada rasa sesal dalam hatinya, mengapa ia harus berada dalam situasi yang sangat berat seperti ini? Jika ia menerima tawaran Mahesa, kemungkinan Yasna untuk sembuh sangat besar. Tetapi ia harus melakukan sebuah pengorbanan yang besar pula. Athalia harus merelakan keperawanannya untuk Mahesa, serta menjadi teman tidur lelaki itu selama satu bulan penuh. “Tapi jika aku menolaknya, di mana aku harus mencari uang untuk biaya transplantasinya Yasna?” desahnya lelah. Hembusan napas pelan lolos dari bibir mungilnya. Athalia sudah berkata pada Mahesa bahwa ia tidak akan pernah menginjakkan kakinya lagi di perusahaan milik lelaki itu. Kemudian benaknya membayangkan kondisi Yasna yang kemungkinan akan semakin bertambah parah lagi seandainya tidak segera mendapat tindakan. Tidak! Athalia tidak bisa kehilangan Yasna. *** Pagi ini Mahesa sedang sibuk berjibaku dengan pekerjaannya. Lelaki berwajah tampan itu kemudian mengangkat kepalanya dari berkas yang sedang ia tandatangani saat mendengar suara pintu yang diketuk, lalu pintu pun terbuka begitu ia mempersilakan masuk. “Athalia?!” mata Mahesa menyipit melihat Athalia yang masuk dengan wajah tertunduk. Gurat pasrah di wajah wanita itu membuat sebelah ujung bibir Mahesa tertarik. Athalia datang? Bukankah dia sudah dipecat? Mahesa tersenyum miring dalam hati. Ia sudah bisa menduga apa niat kedatangan Athalia ke ruangannya. “Kemarin kau bilang tidak akan sudi lagi menginjakkan kaki di perusahaanku. Tapi sekarang kau datang. Lucu sekali, Athalia. Ternyata wanita pemberani sepertimu pandai menarik ucapannya sendiri.” Mahesa meletakan bolpoin yang tadi dipegangnya ke atas meja. Menatap Athalia, ia menautkan kedua tangannya di bawah dagu, sementara siku tangannya bertumpu di tepi meja. Kedua bola mata abunya sempurna melekat pada wajah Athalia yang tampak memerah. Athalia pun menaikan pandangan, membuat mata hazel berwarna cokelat muda miliknya, dapat melihat wajah Mahesa yang menampilkan raut jumawa. Athalia sadar, Mahesa pasti telah menebak niat kedatangannya. “Kau akan bicara atau hanya tetap diam saja? Katakan, Athalia! Aku tidak punya banyak waktu untuk menunggumu membuka mulut.” Mahesa mendesak. Cepat Athalia menarik napasnya dalam, membuangnya kasar sebelum kemudian ia meremas tangan, memejamkan mata dan berkata. “Aku mau menerima tawaran Anda yang kemarin, Tuan.” Meski sudah menebaknya, Mahesa tetap saja merasa terkejut. Netranya semakin lamat memperhatikan gerak bibir bawah Athalia yang bergetar pelan, lalu pandangannya turun pada kedua tangan Athalia yang mengepal erat. “Tawaranku yang mana? Aku tidak ingat.” dengan sengaja Mahesa mempermainkan Athalia, membuat Athalia sempurna membuka matanya, menatap Mahesa tak percaya. “Jawab Athalia! Memangnya aku pernah memberi tawaran apa padamu?” Athalia menelan ludahnya berat. Ia sadar, Mahesa hanya ingin membuatnya semakin merasa malu dan terhina. “Tawaran Anda yang mengatakan akan membiayai seluruh biaya pengobatan adikku sampai sembuh, dan aku harus membayarnya dengan menjadi teman tidurmu selama satu bulan.” Kini senyum miring tercetak jelas di bibir Mahesa. Athalia menahan sesak yang berkumpul di dadanya. “Sudah kubilang, bukan? Aku terbiasa mendapatkan apa yang kuinginkan, Athalia.” Mahesa bangkit berdiri. Tubuh Athalia terasa mengkerut setiap kali langkah kaki panjang Mahesa semakin mendekat padanya. Mahesa menduduki tepi meja tepat di depan Athalia, melipat kedua tangannya di d**a, seraya matanya memindai tubuh wanita itu dari atas ke bawah. Hal itu membuat Athalia menahan napas sekuat tenaga. Tatapan Mahesa begitu merendahkan. “Aku sudah setuju dengan penawaran Anda, Tuan. Dan aku tidak ingin berdebat lagi. Terserah dengan apa tanggapan Anda tentang diriku. Aku hanya ingin meminta uang satu miliar itu. Adikku sangat membutuhkannya sekarang.” “Hei? Apa aku tidak salah dengar, Athalia? Kau ingin meminta bayaranmu sementara kau belum memberikan apa yang seharusnya kudapatkan.” Mahesa mengangkat alis, membuyarkan tangannya yang terlipat di d**a. Ketukan sepatu mahal itu terdengar kembali, mengusik jantung Athalia yang semakin berdetak resah. Satu tangan Mahesa menjepit dagu Athalia dan menariknya hingga mata mereka kembali bersinggungan. Athalia menelan ludah. d**a mereka yang nyaris tak berjarak membuat Athalia harus sedikit menahan napasnya. “Aku tidak akan memberikan uang itu sebelum kau melakukan tugasmu,” bisik Mahesa mengingatkan. Terpaan napasnya terasa hangat di permukaan wajah Athalia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN