Episode 3 : Godaan terberat

1807 Kata
Episode 3 #luka_yang_tak_berdarah Godaan terberat Tanpa sadar tanganku menyentuh jemari Rizam. Menggenggamnya erat, menyalurkan kegugupan yang tidak mampu ku sembunyikan. "Ri Rizam..." "Ada apa Andira?" Suara Rizam yang begitu dekat dengan telinga, membuat jantungku berdetak tak berirama. "Tolong jangan seperti ini. Aku belum siap." "Kenapa? Bukankah aku ini suamimu?" Rizam kembali menyentuh simpul handukku. Aku gelagapan dan makin erat memejamkan mata. Tak lama kemudian laki-laki itu tertawa terpingkal-pingkal sambil menjauh. "Kau sangat lucu Dira. Hei, aku cuma bercanda. Kenapa kau terlihat sangat gugup?" Rizam kembali tertawa. Wajahku memanas antara malu dan marah. b******k. Ternyata dia tengah mempermainkanku. Kesal, segera ku raih baju ganti dan menuju kamar mandi. Di luar sana Rizam masih tertawa. Setelah selesai, aku memilih meninggalkan Rizam ke dapur. Jujur aku masih malu bertatapan dengan laki-laki itu. Pukul 9 malam. Aku lapar. Tadi aku sengaja tidak makan di rumah ayah dan ibu. Rizam yang sengaja ku hindari, malah mengikuti. Kenapa dia harus ikut ke sini sih? "Kau marah?" Rizam bertanya dengan senyum yang masih merekah di pipi. "Tidak." "Apa aku keterlaluan? Kalau begitu aku minta maaf Andira." Rizam menghampiri dengan wajah bersungguh-sungguh. Aku masih mengabaikannya dan sibuk mengeluarkan sisa makanan dari kulkas untuk di panaskan. "Ayolah Andira. Aku cuma bercanda." Karena terus ku abaikan, Rizam menarik tanganku. "Bagaimana kalau kita makan di luar. Aku juga lapar. Aku juga belum makan." "Tidak." "Berhentilah marah Dira. Hari ini aku sudah cukup kesal dengan sikap Airin yang kekanak-kanakan." "Kau pantas mendapatkannya." "Berhentilah merajuk. Wanita kalau sedang lapar memang cenderung pemarah. Bagaimana kalau kita beli nasi goreng di warung depan?" Aku masih ingin marah. Tapi perut yang lapar tidak sejalan dengan pikiran. Alhasil aku memilih mengangguk dan berusaha bersikap biasa. Rizam tersenyum senang. Tak lama laki-laki itu menarik tanganku keluar menuju mobilnya. "Aku cuma pakai baju tidur lho. Kau tidak malu jika nanti kebetulan kita bertemu kenalanmu?" "Kenapa harus malu Dira? Kan aku tinggal bilang kalau kamu itu keluargaku." "Iya juga sih. Good ide." Rizam mengendarai mobilnya pelan. Warung nasi goreng yang kami tuju memang tidak terlalu jauh dari rumah. Setelah sampai disana, ternyata warung itu tutup. Aku dan Rizam terpaksa berkendara cukup jauh. Rizam ingin membeli makanan dari warung langganannya. Untunglah warung itu masih buka meski sekarang sudah hampir pukul 10 malam. "Ayo turun. Disini masakannya sangat enak." Aku menurut, mengikuti langkah Rizam. Laki-laki itu berbincang akrab dengan pemilik warung sembari memesan. Aku memilih duduk dan memperhatikan pengunjung warung yang masih ramai walau hari sudah malam. Aku ingin memanggil Rizam mendekat, tapi niat itu ku urungkan begitu melihat Airin. Kenapa wanita itu ada disini? Rizam tampak terkejut, tapi kemudian dia tersenyum senang saat Airin menghambur ke pelukannya. Sepertinya mereka sudah berbaikan. Aku cuma memperhatikan dari kejauhan. Lagi pula aku tidak mungkin mendekat dan membuat Rizam dalam masalah. Tak lama kemudian Rizam dan Airin pergi. Sial apa dia lupa kalau dia ke sini bersamaku? "Pesanannya mbak. Tadi sudah di bayar sama mas Rizam." Aku mengambil makanan yang tadi Rizam pesan. Astaga bagaimana caraku pulang? Aku bahkan tidak membawa ponsel. Rizam sialan. Apa dia benar-benar melupakan keberadaan ku? "Anu mas, apa boleh pinjam ponsel? Sepertinya Rizam lupa kalau dia meninggalkanku di sini." "Mbak hafal nomornya? Soalnya saya tidak punya nomor ponsel mas Rizam." Aku menggeleng lemah. Tadi Rizam menarik tanganku begitu saja. Aku bahkan tidak sempat mengambil dompet dan ponsel. "Kalau begitu apa bisa pesankan aku taksi online?" Pemilik warung mengangguk dan mulai sibuk dengan ponselnya. "Mbak tunggu saja. Sebentar lagi taksinya datang." Aku mengangguk. Benar saja tak lama kemudian taksinya datang. Ah Rizam sialan. Sebegitu bahagianya dia sampai lupa kalau aku di tinggal sendiri. Jadi ingat cerita Kau yang tak tersentuh yang pernah k*****a. Itu cerita dokter Zein yang meninggalkan Amora sendiri setelah melihat Arumi menangis. Miris sekali, persis dengan kejadian yang sedang ku alami. Bedanya aku tidak jadi buronan seseorang. Setelah sampai di rumah, aku kembali menelan ludah. Bagaimana tidak? Rumah masih terkunci, artinya Rizam belum pulang. Untung saja tadi aku sempat meminjam uang untuk bayar taksi online pada pemilik warung. Dia tidak keberatan setelah ku katakan dia bisa menagih pada Rizam jika takut aku tidak membayarnya. Apa yang harus ku lakukan? Aku yakin sekarang sudah hampir tengah malam. Kemana Rizam? Baju tidur yang cukup tertutup tak mampu menahan hawa dingin angin malam. Aku jongkok di depan pintu sambil memeluk tubuhku sendiri. Entah sudah berapa lama aku menunggu. Kelaparan juga kedinginan dalam waktu yang bersamaan. Beberapa kali ku gosok-gosokkan jemari untuk mengusir rasa dingin. Aku langsung bernafas lega begitu melihat mobil Rizam memasuki pekarangan. Rizam buru-buru menghampiri. Aku ingin marah, tapi sudah tak punya kekuatan untuk melakukanya. "Ya tuhan Dira. Kau dingin sekali." Rizam membantuku berdiri dan segera membuka pintu Rumah. "Maaf tadi aku sengaja membawa Airin menjauh agar tidak bertemu denganmu." Rizam membimbing duduk di sofa ruang tamu. Aku menurut dan langsung merebahkan diri begitu menyentuh sofa empuk itu. "Tunggu sebentar akan ku buatkan teh hangat untukmu." Aku tidak menggeleng tidak juga mengangguk. Terlalu dingin dan lelah, membuat mataku jadi mengantuk. Pukul setengah 2 malam, pantas saja. Aku meringkuk tertidur, lupa kalau perutku belum diisi apa-apa. *** Hangat. Begitu nyaman. Sampai-sampai mata ini enggan terbuka meski alarm sudah berbunyi menyita perhatian. Jika alarm sudah berbunyi artinya sudah pukul 6 pagi. Aku harus bangun. Begitu membuka mata, wajah Rizam adalah pemandangan pertama yang ku lihat. Aku langsung melepaskan diri begitu menyadari aku berada dalam pelukan laki-laki itu. Pantas saja sejak tadi rasanya begitu hangat dan nyaman. Apa yang terjadi semalam? Bukankah aku tertidur di sofa? Sebelum Rizam terbangun, aku memilih mandi. Sengaja ku lakukan rutinitas pagi dengan terburu-buru. Jika bisa, aku tidak ingin bicara dengan laki-laki menyebalkan itu. Setelah membuat secangkir kopi dan menyiapkan roti tawar beserta selai coklat, aku berangkat kerja. Rizam masih belum bangun, atau dia sudah bangun tapi belum selesai dengan rutinitasnya. Yang pasti aku lega karena tidak harus bertegur sapa. "Hei sudah datang?" Baru saja sampai di kantor, Wisnu menyapa. Kami datang hampir berbarengan. Ah cobaan apa lagi ini? "Iya. Dua hari ini aku datang terlambat, makanya hari ini aku datang lebih pagi." Wisnu tersenyum dan mengajakku jalan bersisian. Dia benar-benar tampan. Dia juga kaya dan mapan. Ku dengar Wisnu sudah memiliki beberapa apartemen mewah. Bagi Wisnu bekerja hanyalah pengisi waktu luang. Sedang aku bekerja untuk menyambung hidup dan memenuhi kebutuhan. "Bagaimana hubunganmu dan suami? Aku juga belum dengar cerita tentang suamimu." Tanya Wisnu. "Kau bisa mendengarnya setiap waktu dariku Wisnu. Tapi jangan di kantor. Di sini hanya pekerjaan yang boleh kita bicarakan." "Kalau begitu apa kapan-kapan kau bisa menemaniku makan atau sekedar jalan-jalan?" Wajahnya sedikit memohon. Aku ingin menolak, tapi melihat senyum tulus yang terpancar dari raut wajahnya, tanpa sadar aku mengangguk setuju. "Terima kasih Dira. Setidaknya meski kita tidak jadi bersama, kita masih bisa berteman." Wisnu tersenyum senang. "Kau benar. Kita tidak harus bermusuhan hanya karena kita tidak saling berjodoh. Aku yakin akan ada wanita yang lebih baik dariku sedang menunggu untuk kau temukan." "Kau semakin bijak Dira. Aku iri padamu." Aku pamit pada Wisnu setelah tiba di ruang kerja. Entah mengapa mataku memanas. Sakit rasanya ketika harus mendoakan orang yang dicintai bahagia. Tapi bukankah aku yang sudah lebih dulu menyakiti hati laki-laki itu? Apa sebaiknya ku ceritakan semua pada Wisnu dan memintanya menunggu? Tidak, aku tidak boleh egois. Wisnu berhak mendapatkan orang yang lebih baik dariku. *** Pulang kerja, aku kembali mampir ke rumah ayah. Dia memintaku datang. Entah apa yang ingin dia bicarakan. Tapi sepertinya sangat penting. Jika tidak ayah pasti akan membahasnya di telpon. Ketika aku datang, wajahnya begitu tegang. Ayah langsung memintaku masuk. Ibu membawa secangkir kopi dan air dingin. Mereka berdua tampak prihatin. Aku jadi semakin gugup. "Dira apa kau bahagia?" Tanya ayah sembari menatap mataku lekat. "Te tentu saja ayah. Ada apa? Kenapa tiba-tiba ayah bertanya?" Ayah tampak menghela nafas berat. Mungkinkah ada sesuatu yang dia ketahui? Kecemasanku menjadi. "Dira, maafkan ayah yang sudah memintamu menikah dengan Rizam." Laki-laki itu menatapku iba. "Ayah bicara apa? Ayah dan ibu tidak memaksaku. Aku yang menyetujui semuanya." Mata laki-laki tua itu berkaca-kaca. Ah aku tak tega melihatnya. "Ayah dengar Wisnu sudah kembali. Apa kau masih mencintai laki-laki itu?" Aku terkejut. Bagaimana bisa ayah tau kalau Wisnu sudah kembali? "Maafkan ayah Dira. Andai dari awal ayah dan orang tua Rizam tidak membuat kesepakatan apa-apa, semua ini tidak harus terjadi. Ayah tau kau ingin berbakti, pun Rizam melakukan hal yang sama. Tapi ayah tak kuasa untuk tidak mengangguk saat sahabat ayah satu-satunya meminta ayah menikahkan kalian sebelum dia menghembuskan nafas terakhir." Aku mendengarkan dengan mata sama berkaca-kaca. Aku tau ayah tidak pernah memaksaku melakukan sesuatu. Dia tidak pernah meminta apa-apa. Tapi sekalinya dia meminta sesuatu, aku tidak kuasa untuk menolaknya. "Kami berdua bahu membahu menyekolahkan kalian. Kami saling berbagi dan saling memberi jika kebetulan uang kuliah kalian pas-pasan. Rizam yang memilih kuliah di luar negeri, membutuhkan uang yang tidak sedikit. Ayah pun turut serta menyokong pendidikan anak itu dengan mengesampingkan kebutuhan kalian anak kandung ayah sendiri. Kami bersahabat lebih dari keluarga." Aku hanya menunduk. Bulir bening mengalir di pipi ayah yang sudah keriput. "Ayah tau, Rasid, ayahnya Rizam, merasa berhutang budi pada ayah. Itulah mengapa dia ingin sekali menikahkan kalian yang memang sudah kami jodohkan sedari belia." Ayah kembali terisak. Jika bercerita tentang ayah Rizam, dia memang sering menangis. "Kemarin tanpa sengaja ayah bertemu Wisnu Dira. Dia begitu baik. Menyapa ayah seperti biasa. Bahkan dia mengantar ayah pulang." Aku terkejut. Tadi Wisnu tidak mengatakan apa-apa. "Melihat Wisnu, ayah jadi sangat bersalah padamu. Ayah tau Wisnu adalah satu-satunya laki-laki yang kau suka. Bahkan saat ayah masuk ke dalam kamarmu, terlihat jelas kalau kau masih menyukainya." "Tidak ayah. Aku sudah tidak menyukai Wisnu lagi. Kami sudah terpisah sejak lama. Tak ada alasan bagiku untuk tetap setia pada laki-laki itu." Aku langsung menyanggah, tak mau jadi beban pikiran ayah. Beliau menyeka air matanya. Menghela nafas sejenak, beliau menatapku lama. "Andira apa kau benar-benar bahagia bersama Rizam?" Aku kembali mengangguk mantap. "Kalau begitu tunjukan kalau kalian memang bahagia. Ayah tidak mau kau terluka Andira. Sebenarnya siang tadi ayah melihat Rizam berpelukan dengan seorang wanita. Ayah memang sudah tua, tapi ayah dapat melihat pancaran cinta dari keduanya. Ayah ingin mendatangi Rizam dan memarahi laki-laki itu, tapi ibumu melarang. Apa kau tau siapa wanita itu?" Deg. Hatiku rasanya remuk redam saat tau kedua orang tuaku menyaksikan sesuatu yabg tidak seharusnya mereka lihat. "Dira apa kau sudah mengetahuinya?" Nampak kecemasan di wajah tua ibu dan ayah. Aku menggeleng, memilih berbohong demi menjaga perasaan mereka. "Ayah, ibu, bisa jadi orang yang Rizam peluk adalah kerabat dekatnya yang tidak kita kenal. Kita tidak bisa sembarang menyimpulkan. Sejauh ini aku dan Rizam baik-baik saja. Ayah dan ibu tidak perlu khawatir. Nanti akan ku tanyakan langsung padanya siapa wanita itu. Aku janji akan menghubungi kalian secepatnya." Ayah tampak menghela nafas lega. Aku terpaksa kembali berbohong. Setidaknya dengan berbohong ayah tidak akan semakin terguncang. Rizam kenapa kau terus membuatku dalam masalah? Aku tersenyum kaku, meyakinkan keduanya kalau aku sungguh baik-baik saja. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN