Prolog
#luka_yang_tak_berdarah
Karya : Mareina Rahma Diansyah
"Jangan mengharapkan apapun dariku Andira. Kau jelas tau alasan mengapa pernikahan ini sampai terjadi."
Rizam merebahkan diri di atas ranjang, memejamkan mata, seakan tidak ada Aku disana. Sementara, aku hanya bisa berdiri kaku di depan cermin tanpa berani mendekati seseorang yang beberapa saat lalu sudah resmi menjadi suamiku. Tak ingin terlihat bodoh, segera ku lepas gaun pengantin dan beranjak ke kamar mandi.
Aku paham betul mengapa Rizam bersikap seperti itu. Pernikahan kami tidak didasari oleh cinta. Kami di jodohkan sedari belia. Rizam yang terbiasa hidup bebas dan sedikit pembangkang, tidak bisa menerima pernikahan ini. Aku juga tau betul alasan apa yang akhirnya membuat Rizam terpaksa harus menikahiku. Wasiat terakhir sang ayah sebelum meninggal, membuat Rizam tak punya pilihan.
Aku tidak yakin pernikahan ini akan berhasil mengingat diluar sana banyak sekali wanita yang jadi teman kencannya. Dia juga masih berhubungan dengan wanita yang sudah beberapa tahun ini jadi pacarnya. Andai Rizam tau kalau aku juga tidak tertarik dengan pernikahan konyol ini. Tapi apalah daya. Tali jodoh mau tidak mau memaksa kami untuk bersama.
Harusnya malam ini jadi malam pertama. Tapi jangan harap malam pertama itu akan terjadi. Aku dan Rizam sudah sepakat. Kami hanya akan menjadi pasangan suami istri di hadapan keluarga. Terlepas dari itu, kami punya kehidupan sendiri. Tidak ada yang boleh ikut campur dalam urusan pribadi masing-masing.
Keluar dari kamar mandi, ku lihat Rizam masih berbaring terlentang. Matanya terpejam pertanda bahwa dia sedang tertidur. Jika di perhatikan dengan seksama, Rizam begitu tampan. Kulitnya putih, postur tubuh tinggi dan tegap, hidung mancung, bibir seksi, serta rambut yang ditata rapi menambah pesona Rizam sebagai seorang laki-laki.
Sedang asik mengamati pesona Rizam, laki-laki itu terbangun. Matanya awas menatap lekat ke arah tubuhku yang hanya berbalut handuk.
"Kau bermaksud menggodaku? Kau tau kan betapa bahayanya mata seorang lelaki?"
Rizam masih tiduran, tidak bermaksud mendekati, hanya kini kedua tangannya berada di bawah kepala menjadi tumpuan. Masih menatap lekat, laki-laki itu seperti tengah meneliti. Sebenarnya aku risih diperhatikan sedemikian rupa oleh 'suamiku' itu.
"Meski aku menggodamu kau juga tidak akan tertarik padaku Rizam. Matamu sudah terlalu kenyang melihat wanita telanjang di luar sana."
Rizam tersenyum lebar. Apa dia pikir aku sedang memuji? Sungguh aku tidak mengerti mengapa ayah begitu ingin aku menikah dengan laki-laki menyebalkan ini.
"Ternyata kau tau lebih banyak tentangku Dira."
"Semua orang tau sepak terjangmu Rizam. Tapi entah mengapa ayahku masih menginginkanmu menjadi menantu."
"Sudahlah jangan bahas soal itu. Lain kali hati-hati dengan tubuhmu. Kau jelas tau aku ini laki-laki seperti apa."
"Jika kau merasa keberatan dengan pemandangan yang akan kau lihat setiap harinya, maka kau boleh tidur di kamar lain. Bukankah kita memilih tinggal terpisah dari orang tua agar bisa bebas memainkan peran kita?"
"Wah kau berani juga Andira. Ku pikir kau adalah wanita cengeng dan polos. Tapi tenang saja, aku tidak akan menyentuhmu. Jika aku menyentuhmu maka aku harus terikat selamanya bersamamu. Aku dan kau jelas tidak menginginkan semua itu."
"Kalau begitu jangan hiraukan aku. Anggap saja di kamar ini kau hanya tidur sendiri."
Tanpa merasa canggung dan malu, aku berganti pakaian. Rizam meraih handuk dan menuju kamar mandi. Aku tau dia merasa tidak nyaman saat aku memilih berganti pakaian di hadapannya. Sejujurnya aku gugup, tapi perasaan itu segera ku tepis mengingat Rizam adalah suami sahku. Meski kami tidak menginginkannya, tapi tidak bisa di pungkiri kalau kini kami adalah pasangan suami istri.
Terlalu banyak melamun, tak ku sadari Rizam sudah selesai mandi. Parahnya laki-laki itu hanya memakai handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Sepertinya Rizam sengaja melakukan itu untuk balas dendam. Aku mencoba mengatur detak jantung ke kondisi normal dan pura-pura tidak terpengaruh.
"Jika kau tidak nyaman kau bisa keluar Andira."
"Aku memang harus melakukan itu Rizam. Terlalu banyak melihat tubuhmu, bisa merusak hati dan pikiranku."
Aku beranjak meninggalkan Rizam yang sedang tersenyum mengejek. Ah kenapa hari itu aku mengangguk dan menyetujui keinginan ayah untuk menikah dengan Rizam? Padahal jelas sekali di hati ini ada laki-laki yang sangat ku nanti. Laki-laki yang meninggalkanku dengan janji akan kembali, laki-laki pertama yang membuatku jatuh hati dan tak pernah bosan menanti.
"Apa yang baru saja ku pikirkan?"
Bermonolog sendiri, aku menggeleng mencoba mengusir laki-laki yang tidak seharusnya ku rindukan. Aku sudah memilih Rizam, tidak tepatnya ayah sudah memilihkan Rizam untuk jadi suamiku. Jadi tidak boleh ada laki-laki lain di hati ini.
"Astaga kau membuatku kaget Rizam."
Aku terlonjak ke belakang saat secara tiba-tiba Rizam membuka pintu dari dalam. Sedari tadi aku melamun sembari bersandar di daun pintu. Tak sadar Rizam membuka pintu terburu-buru.
"Siapa yang menyuruhmu berdiri di sana Dira? Lagi pula apa yang kau lakukan dibalik pintu?"
"Apalagi? Aku menunggumu selesai ganti baju 'suamiku'."
Aku melangkah masuk ke dalam kamar mengabaikan tatapan menyebalkan dari Rizam. Rizam sudah begitu rapi, sepertinya laki-laki itu akan pergi. Dia langsung menghilang sesaat setelah ku rebahkan diri di atas ranjang. Dia tidak pamit, aku juga tidak ingin peduli. Bukankah kami sepakat untuk tidak mencampuri kehidupan pribadi.
Sesuai prediksi, malam pertamaku berakhir sendiri. Aku tidak kecewa, justru merasa begitu lega. Dengan begitu aku tidak harus menunaikan kewajiban. Sebesar apapun keinginanku untuk mengingkari pernikahan ini, nyatanya aku sudah sah menjadi seorang istri. Mulut bisa berkata kalau aku tidak mau dan tidak rela, tapi jika dia menuntut haknya, aku tidak akan membantah.
***
Satu bulan berlalu. Pernikahan yang kami jalani nampak nyata di depan keluarga. Rizam memainkan perannya dengan sempurna hingga tak seorang pun menaruh curiga. Di luar sana diam-diam Rizam masih menjalin cinta dengan Airin wanita yang dia puja. Aku tidak kecewa, tidak juga berteriak marah. Rizam bebas melakukan apa saja selama dia tidak menyentuhku. Jika Rizam tidak menyentuhku maka aku dan dia bisa berpisah kapan saja. Tapi jika dia sudah menyentuhku maka aku tidak akan pernah membiarkan laki-laki itu menyentuh wanita lain.
Satu bulan membina rumah tangga bersama Rizam, dapat ku ketahui dengan pasti kalau laki-laki itu adalah seorang pekerja keras. Setiap harinya dia habiskan dengan bekerja. Bahkan tak jarang ku dapati Rizam masih terjaga di tengah malam dengan tumpukan pekerjaan. Dia menjabat sebagai Manager keuangan di salah satu hotel terbesar di kota Jakarta. Gajinya lumayan meskipun aku tidak tertarik untuk menikmatinya.
Sejauh ini Rizam tidak pernah memberikan uang. Aku juga tidak meminta. Kami sepakat untuk mengelola keuangan sendiri-sendiri, kecuali masalah kebutuhan belanja dapur dan sebagainya, Rizam lah yang bertanggung jawab untuk itu.
Ngomong-ngomong masalah ranjang, aku dan Rizam bisa dikatakan hampir tidak pernah tidur satu ranjang. Entah dia tidur dimana dan dengan siapa aku tidak begitu peduli. Hanya beberapa kali ku dapati Rizam tertidur di ranjang yang sama karena kelelahan bekerja. Itu pun aku tidak tau jam berapa dan kapan dia masuk ke kamar.
Tapi malam ini sedikit berbeda. Rizam masuk ke kamar tepat saat aku hampir memejamkan mata. Baru pukul 9 malam saat dia datang. Canggung, aku memilih mengabaikan Rizam dan meraih ponsel untuk mencari kantuk yang sudah hilang.
Selesai mandi kulihat Rizam hanya mengenakan handuk seperti biasa. Aku langsung berpaling dan mengabaikan sosoknya yang begitu menggoda. Sekarang melihat Rizam mengenakan handuk sudah bukan pemandangan menakutkan lagi. Hanya tinggal berpaling memunggunginya dan masalah beres.
"Tumben belum tidur?"
Rizam menegur sambil merebahkan diri di sisi ranjang yang kosong. Menyadari Rizam sudah berganti baju, aku membenahi posisi menatap langit-langit kamar.
"Hampir tertidur saat kau datang tadi. Sekarang kantukku sudah pergi."
"Akan sangat bahaya jika kita berada dalam satu kamar sementara mata sama-sama belum terpejam Andira."
Aku tersenyum getir. Ternyata Rizam menganggapku sebagai ancaman. Itu tandanya sampai sekarang Rizam masih belum menerimaku sebagai seorang istri. Dia tidak ingin terikat selamanya denganku. Beranjak bangkit, aku memilih untuk tidur di kamar tamu. Rizam mencegah langkah dengan menarik tanganku yang hendak berlalu.
"Ibu ada di kamar tamu. Aku pulang lebih awal karena dia memaksa ikut."
Aku terduduk di tepi ranjang. Keingintahuanku terjawab sudah. Rizam tidak pernah pulang dibawah jam 11 malam sebelumnya. Ternyata dia pulang bersama ibu.
"Apa ibu akan menginap?"
Rizam mengangguk sambil tersenyum memandangi ponselnya. Ah dia pasti berbalas pesan dengan Airin. Mudah mengetahuinya sebab Rizam akan terlihat begitu semangat dan bahagia jika itu menyangkut Airin wanita yang dia puja.
"Tumben. Apa ibu mencurigai sesuatu? Berapa lama dia akan menginap?"
Rizam mengangkat bahu cuek. Matanya masih setia menatap ponsel yang sejak tadi tak pernah berhenti berbunyi. Kesal, ku beranikan diri merampas ponselnya. Rizam menatapku marah. Aku pun melakukan hal yang sama.
"Apa yang kau lakukan?"
"Aku sedang meminta perhatianmu Rizam. Satu lagi, tolong kecilkan suaramu."
Rizam semakin kesal dan berusaha mengambil ponselnya kembali.
"Tolong jangan buat aku marah Dira."
"Kau yang lebih dulu membuatku marah Rizam."
"Jadi apa maumu?"
Rizam bangkit berdiri dan mendekatiku yang sengaja menjauh ke meja rias. Aku menyembunyikan kegugupan dengan pura-pura tidak peduli pada sosok Rizam yang semakin mendekat.
"Kau mengabaikanku Rizam. Aku benci itu."
"Bukankah setiap hari kita saling mengabaikan? Lalu kenapa baru sekarang kau melakukan aksi perlawanan? Apa karena ada ibu dan kau merasa ada seseorang yang bisa membelamu?"
Aku menelan ludah saat dengan kasar Rizam mendorong bahu dan memaksaku duduk di meja rias. Beberapa alat makeup berjatuhan. Aku mencoba tidak peduli. Sepertinya Rizam murka karena aku mencampuri urusan pribadinya. Tangan Rizam yang ada di bahu semakin erat mencengkeram. Rasanya sakit.
"Rizam kau menyakitiku."
"Lain kali jangan pernah mencampuri urusanku lagi Andira. Ingat itu baik-baik."
Rizam melepaskan cengkeraman tangannya, meraih ponsel yang sejak tadi ku pertahankan, dan berbaring di ranjang seolah tidak terjadi apa-apa. Dia kembali sibuk dengan ponsel itu. Aku memegangi bahu yang masih terasa ngilu. Pedih memang saat suami sendiri menemukan kebahagiaan bersama orang lain, bukan dengan kita istrinya.
Aku mencoba menganggap bahwa pernikahan ini tidak nyata, menganggap bahwa Rizam adalah orang lain, dan menganggap aku hidup sendirian di rumah megah ini. Tapi setiap kali membuka mata, bayangan hari sakral saat Rizam mengucapkan ijab Kabul dengan menjabat tangan ayah, membuatku tidak bisa mengingkarinya. Rizam adalah suamiku terlepas dari kenyataan kalau kami tidak saling mencinta.
Aku tidak akan menangis walaupun Rizam berbuat kasar. Kali ini memang salahku. Lain kali akan ku cari cara yang lebih sopan untuk mengajaknya bicara. Tak ingin melanjutkan perdebatan, aku memilih tidur dan mengabaikan Rizam yang masih asyik berbalas pesan.
Bersambung...