3"Ada apa kau ke sini?" Andra menatap tajam pada Eriska saat tiba-tiba saja wanita itu masuk hingga sekretaris Andra, Fira, terlihat ketakutan.
"Maaf Pak, katanya dia tunangan Bapak."
"Aku tidak bertunangan! Silakan kamu keluar Fira." Dengan terburu-buru Fira keluar dan menutup pintu.
Andra masih duduk dengan wajah dingin menatap Eriska yang terlihat sedikit gugup.
"Maaf aku kira ..."
"Satu hal yang membedakan kamu dengan Luna ya seperti ini, Luna bisa membedakan kapan dia harus hadir dan kapan dia tidak harus ada di depanku."
"Dan karena itu pula, kau dibohonginya, kalian terkadang sibuk dengan urusan kalian masing-masing, terlalu formal dan ..."
"Kami saling menjaga."
"Heh buktinya dia hamil dan tidak menjaga komitmen yang ..."
"Itu yang bertahun-tahun aku selidiki, namun belum menemukan jawaban, ingat! belum bukan berarti tidak akan ditemukan, secara logika rasanya tak mungkin Luna hamil kecuali dihamili, ia hampir ta pernah keluar tanpa dikawal orang-orang kepercayaan mama dan papanya, kalau tidak, pasti bersamaku atau bersamamu, ada celah dia hamil saat bersamaku atau bersamamu, itu yang sedang aku cari, pada saat apa dan dengan siapa hingga dia hamil? Aku kecewa? Pasti! Aku tak pernah berbuat jahat pada siapapun, aku tak menganggu siapapun tapi ternyata apa yang aku alami sungguh menyakitkan, entah siapa dalang dibalik itu tapi aku berterima kasih setidaknya aku sadar jika musuh itu tidak hanya mereka yang terlihat tapi justru musuh yang tak tampak lah yang lebih mengerikan."
"Lalu kau mau apa?"
Andra mengernyitkan keningnya.
"Aku yang harusnya bertanya, kau mau apa ke sini? Kita belum memulai apapun dan jangan pernah berharap apapun, kau tahu sejak dulu kan jika aku sangat tak menyukaimu, sebagai sahabat Luna kau tak melakukan apapun jika Luna ada masalah sedang Luna terlalu tulus padamu."
"Aku kasihan padamu, kecewa pada Luna tapi semua hal yang kau libatkan dalam kekecewaanmu, harusnya kau lupakan wanita yang telah ..."
"Dia sangat aku cintai, meski aku kecewa, tak ada lagi cinta setelah dia mati, tak akan pernah, aku menikmati hidup saat ini, aku tak butuh pernikahan, jika kau berharap lebih pada keinginan mama, kau hanya berharap hal yang tak akan mungkin terjadi, pergilah dan jangan pernah Kembali lagi, aku tak ingin melihatmu lagi."
"Tapi aku menyukaimu Andra, sejak lama, harusnya kita dekat sejak dulu hingga datang Luna yang merusak ..."
"Aku yang mengejarnya, sudah aku sudah bilang tadi jika sejak dulu pun aku tak pernah menyukaimu, kau wanita bermuka dua, hanya Luna terlalu lugu, pergilah aku tak butuh apapun darimu."
"Kau akan menyesali ucapanmu."
"Kau yang akan menyesal karena pernah menyukaiku."
Eriska berbalik dan melangkah ke arah pintu dengan wajah marah, meninggalkan Andra yang menatap punggung wanita dengan mata penuh kebencian.
***
Sesampainya di rumah Eriska membanting semua yang bisa ia banting. Napasnya menderu, ia pandangi wajah cantik Luna yang tertawa lepas di foto yang memeluk bahunya. Foto saat mereka baru saja lulus SMA masih ada di dinding kamarnya.
"Kau! kau yang mempersulit aku, menyesal kau ku ajak ke rumah Andra jika ternyata Andra lebih memilihmu, baik hidup ataupun mati kau tetap mempersulit aku, aku pikir setelah kau mati akan aku dapatkan laki-laki itu ternyata dia masih saja angkuh akan aku buat dia merangkak dan memohon padaku."
Pintu kamar terbuka nampak Rafka, kakak Eriska yang masih menggunakan baju kantornya berdiri di mulut pintu. Menatap wajah adiknya yang penuh amarah. Wajah Rafka terlihat datar tanpa ekspresi.
"Kau hanya akan menyakiti dirimu, sejak awal kau tahu jika dia tak akan pernah menyukaimu, itu obsesi namanya bukan cinta, jangan sampai kau kelewat batas hingga melakukan hal mengerikan. Kau menyakiti dua orang, asal kau tahu. Andra sebagai kekasih dan aku sebagai laki-laki yang diam-diam menyukai Luna, saat dia meninggal ya saat itu juga jiwaku dan jiwa Andra bagai terbang dan ikut hilang, jika kau memaksa Andra mencintaimu, percuma, aku yakin caramu sangat fulgar menunjukkan cintamu pada Andra, laki-laki tak suka pada wanita yang terus mengejarnya, ingat itu!"
"Aku tak butuh nasehatmu, bukankah kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan? Jika berakhir menyakitkan itu bukan salahku!"
"Tapi secara tak langsung kau merenggutnya dariku, kau akan membayar apa yang kau lakukan, meski kau adikku tapi tingkahmu tak seperti manusia normal lainnya, kau sakit, jiwamu yang sakit." Rafka segera berlalu dari pintu kamar Eriska yang tak lama kemudian terdengar lagi semua barang yang dilempar dan pecah.
***
Andra melangkah dengan malas menuju ruang makan, lalu duduk dan menarik dasinya perlahan. Ia meraih gelas yang telah tersedia dan berisi air yang siap minum, ia buka tutupnya dan meminumnya sekali teguk.
"Silakan kalau Bapak mau makan malam."
"Ck, bikin kaget aja, gak dengar langkahnya tiba-tiba aja ada suara."
"Maaf."
"Mama dan papa mana?"
"Ke villa katanya Pak, mungkin tiga hari, tadi ada nelepon entah ada apa." Suara Inayah agak keras karena ia masih menghangatkan sayur untuk Andra makan malam.
"Iya sih aku lupa, mama sudah bilang tadi."
"Silakan Pak kalau mau makan ini sudah siap semua." Inayah meletakkan sayur dan mendekatkan beberapa lauk lebih dekat ke arah Andra duduk.
"Iya."
"Bapak apa tidak lebih baik ganti baju dulu."
"Nggak usah, sekalian setelah ini mau mandi, aku ada tamu, tapi ingat jangan pernah katakan apapun pada papa dan mama jika aku ada tamu, tamuku ini beda karena ini ada hubungannya dengan kerjaanku di kantor, jika ini deal maka aku akan dapat keuntungan besar, bisa saja sih di hotel lebih baik tapi aku ingin dia merasa nyaman dan nyaman dulu, siapkan kamar tamu, siapkan juga minuman kaleng letakkan di ruang tamu dengan rapi."
Inayah hanya diam, ia hanya merasakan aneh saja, masa ia harus berbohong pada orang yang telah ia anggap orang tua?
Satu jam kemudian tamu yang dikatakan oleh Andra ternyata sudah datang, Inayah menyilakan duduk, ia tak mengira jika tamu yang dimaksud Andra adalah seorang wanita yang bajunya membuat Inayah beristighfar berulang.
Blouse tanpa lengan, berkerah rendah hingga lekuk dadanya terlihat jelas, sedang rok yang ia pakai hanya beberapa centi dibawah pangkal pahanya. Menggunakan Stiletto yang rasanya jika dipakai Inayah langsung terjatuh pada langkah yang pertama karena entah berapa centi meter tingginya.
"Silakan duduk, saya panggilkan Pak Andra."
Inayah mengetuk kamar Andra dan Andra langsung muncul dengan harum parfum yang langsung menyeruak ke hidung Inayah. Andra terlihat sangat segar dengan tshirt warna dark grey dipadukan dengan celana jins.
"Tamunya sudah datang Pak, semua sudah beres, saya ke belakang dulu ya Pak."
"Iya, nanti saja jika aku panggil baru bereskan semua di meja ruang tamu, ini tamu istimewa."
Senyum Andra semakin lebar.
"Calon istri Bapak?"
"Bukanlah, tapi aku akan membuat dia seolah akan menjadi istriku, kalo nggak gitu nggak lancar ini mega proyek, kamu kan rajin berdoa, doakan aku semoga lancar."
Kening Inayah berkerut, ia bukan wanita yang lugu-lugu amat, ia cukup berpendidikan dan mengerti maksud Andra.
"Apa proyek yang seperti itu akan lancar Pak jika baru mulai saja niatnya sudah nggak benar?"
"Sssttt nggak usak sok suci, di mana-mana ya kayak gini, toh dia mau dan aku juga mau, ini hanya jalan untuk menuju hidup yang lebih baik, udah ah aku mau menemui Karen."
***
Lewat jam dua belas malam Inayah bergegas menuju ruang tamu, ia tertidur dan baru ingat pesan Andra agar membereskan ruang tamu jika sudah selesai semuanya.
Saat melewati kamar tamu yang besar ia mendengar suara-suara aneh, pintu yang tak tertutup rapat membuat Inayah semakin jelas mendengar hal yang tak seharusnya ia dengar. Desah keras, erangan juga rintihan yang membuat bulu kuduknya berdiri terlebih saat ia dengar benturang dua kulit yang semakin membuat Inayah takut.
Inayah berbalik dan segera kembali menuju kamarnya. Pikiran bersihnya hanya membuat ia berkali-kali mengusap dadanya. Apa sebenarnya yang dicari oleh orang-orang kaya? Inayah semakin paham, apa yang dikatakan oleh Andra tadi, haruskah sampai sejauh itu hanya demi sebuah mega proyek?
Sementara itu di dalam kamar dua manusia yang berlainan jenis sedang mengejar kenikmatan. Si wanita terlihat maju mundur di atas tubuh Andra, menggerakkan pinggulnya dengan cepat, desah keras karena berulang sampai membuat si wanita terengah namun ia seolah tak puas tetap berada di atas pangkal paha andra namun membelakangi Andra dan kembali menggerakkan pingulnya maju mundur, Andra bangkit ia ciumi punggung wanita yang terus mendesah keras di depannya, ia remas d**a besar itu dan sesekali menarik ujungnya hingga jerit karena nikmat terdengar lagi. Masih dalam keadaan menyatukan diri, Andra mendorong tubuh kecil nan padat itu dan menghentaknya dari belakang sesekali Andra pukul b****g padat itu. Andra memejamkan mata ia terus menggempur tubuh wanita yang terus maju mundur dan berteriak-teriak karena nikmat hingga geraman keras Andra menyudahi malam panjang itu. Keduanya tersungkur, lalu berbalik saling memeluk dan mencium lagi, tubuh mereka basah namun tak ada tanda-tanda Lelah. Si wanita bangkit lagi, menyodorkan dadanya yang langsung dilahap dengan rakus oleh Andra, menggigit dan meremas kasar, sedang tangan wanita itu menggenggam milik Andra lalu menggerakkan tangannya naik turun dengan cepat hingga tak perlu waktu lama milik Andra kembali mengacung tegak dan keras, Andra segera menyatukan diri dan kembali erangan keduanya memenuhi kamar tamu itu hingga dini hari.
***
Ketukan keras berulang di pintu kamar Inayah membuat Inayah yang baru selesai mandi bergegas memasang kerudungnya dan segera membuka pintu. Di depan pintu nampak wajah gusar Andra.
"Kamu ngadu apa sama Mama!"
Inayah terlihat kaget.
"Ngadu? Ibu tadi subuh telepon pada saya tanya, apakah ada tamu di rumah? Ya saya jawab ada, bukankah tamu Bapak masih ada di kamar tamu?"
"g****k kamu! Aku kan sudah bilang tadi malam, jangan bilang sama papa dan mama, pake otak kamu, ini semua demi kelancaran mega proyekku!"
"Maaf, tadi malam saya tidak mengiyakan saran Bapak, karena saya tidak mungkin tega berbohong pada orang yang telah saya anggap seperti orang tua saya, malah saya yang justru tidak mengerti jalan pikiran Bapak, mengapa tega menyuruh saya berbohong pada orang yang telah melahirkan dan membesarkan Bapak!"