pagi sekolah

2067 Kata
Pagi sekolah. Suara adzan subuh membangunkan Dimas dari tidurnya, dia langsung beranjak duduk. Mengumpulkan sisa kesadarannya sebelum dirinya beranjak turun dari tempat tidur. Kebiasaan bangun bagi yang diterapkan oleh sang mamak membuat Dimas terbiasa untuk bangun di waktu subuh seperti saat ini. Maka tidak heran, jika hanya dengan suara adzan saja bisa membangunkan Dimas dari tidurnya. Padahal jika diingat lagi, semalam dia baru bisa tidur saat jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Ketika dia baru saja pulang bersama dengan Rani malam itu. Dia menghela napas sejenak, lalu merentangkan tangannya ke udara dan berusaha untuk mengenyahkan pikiran itu dari kepalanya. Dia tidak ingin lagi mengenang masa-masanya bersama Rani. Karena seperti yang dia katakan tadi malam. Dia hanya harus berusaha untuk mengikhlaskan, bukan melupakan. Jadi mari berdamai dengan masa lalunya dan menyingsing hari esok dengan sempurna. Beh, udah macam orang bener aja gue. Dimas terkekeh pelan sebelum akhirnya dia memilih untuk turun dan luar dari dalam kamar. Kebiasaan lain setelah bangun adalah, kamar mandi, Dimas hanya perlu mencuci wajah, mengambil wudhu dan menunaikan sholat dua rakaat yang sudah menjadi kewajibannya selama ini. Ketika dia membuka pintu kamar, mamak dan adiknya sudah menyambutnya di depan kamar. Mereka terlihat baru bangun tidur sama seperti dirinya. Dan terlihat wajah kantuk dari anak berusia 9 tahun di sana yang terlihat malas untuk bergerak. "Adek baru bangun Mak?" Tanya Dimas sembari menutup pintu kamarnya. "Hem. Susah banget di bangunin ini anak, padahal udah sering bangun subuh tapi masih aja susah di bangunin." Dimas terkekeh pelan ketika mendengar ucapan sang mamak. "Biru bapak sih, makanya susah bangun, mau jadi kebo kayaknya dia Mak." "Heh! Enak aja, kamu anggap bapak kebo, Hem?" "Eh!" Dimas langsung menutup mulutnya ketika suara bapak terdengar garang di sana, dengan kumis tebal di atas bibirnya yang bergoyang ketika beliau berusaha menatap tajam ke arah Dimas. "A ... anu ..., Bukan gitu pak maksudnya, ah! bapak nih ngagetin aja!" "Lagian kamu enak aja bilang bapak kebo." "Bukan aku, mamak yang kasih tau aku!" Elak Dimas ketika bapak semakin melotot tajam. "Lah kok jadi mamak pula yang kena?" "Nah kan, mamak aja nggak ngaku kalo mamak yang bilang bapak kebo, jadi kamu kan yang bilang bapak kebo?" "Eh?! Pak? Kalo aku bilang bapak kebo jadi aku anak kebo dong? Ah nggak pak, enggak, aku mah anak bapak yang paling tampan, ya kan Mak?" Elak Dimas berusaha mencari bantuan sang mamak yang hanya bisa menahan senyum di sana. Keharmonisan keluarga itu memang begitu erat, dan hanya dengan celoteh serta perdebatan kecil yang tidak bermutu itu sudah menunjukkan bagaimana mereka terlihat sangat dekat di sana. Maka tidak heran, jika Arif dan juga Raka sangat betah dan merasa nyaman di rumah ini. Karena para orang tua di rumah ini bisa mengimbangi dan mengayomi mereka secara bersamaan, mereka tidak pernah menuntut Dimas untuk selalu pintar dan juara kelas, tapi justru sebaliknya, mereka membebaskan apa saja yang Dimas lakukan asal semua itu masih dalam tahap baik dan positif. Untuk itu, Dimas tumbuh menjadi pribadi yang baik dan hangat kepada siapa saja. "Ck! kalian ini masih pagi udah ribut aja! Malu sama tetangga. Udah buru siap-siap terus berangkat ke masjid sana!" Dimas dan bapak hanya bisa mengangguk patuh setelah mamak memberi perintah. Mereka segera bergegas untuk bersiap-siap sebelum akhirnya bapak sudah siap dengan baju Koko dan juga sarung. Sedangkan Dimas sudah siap dengan celana panjang dan juga baju kopiahnya. Hingga tak lama setelahnya, mereka berjalan beriringan menuju masjid yang lokasinya hanya beberapa meter saja dari rumah. Selama perjalanan menuju masjid, bapak banyak bertanya pada Dimas, mengenai sekolah, kegiatan dan usaha yang saat ini tengah Dimas kembangkan. Usaha yang kata Dimas adalah sebuah peluang masa depan yang bagus. Dan dia bercita-cita untuk menjadi seorang content creator dan menghasilkan uang dari kegiatan bersama teman-temannya itu. "Jadi gimana perkembangan usaha kamu itu. Katanya udah hampir dapat penghasilan ya?" Tanya sang bapak di sela percakapan ringan mereka sebelumnya. "Alhamdulillah pak, kemaren udah pengajuan, tinggal nunggu lolos apa enggaknya. Mudah-mudahan aja lolos biar bisa merintis sejak dini pak." "Bapak doakan yang terbaik aja sih, soalnya bapak nggak ngerti masalah gituan, bapak taunya mah cuma tani doang, nanam sawit sama nanam kopi bapak jago." Yah, Dimas memang seorang anak petani sederhana yang bisa dikatakan berkecukupan, tidak terlalu kaya tapi masih bisa mencukupi apa kebutuhan keluarga dan menuruti keinginan sang anak. Bapak Dimas adalah seroang yang ramah dan terbuka, serta tidak pernah keras kepada anak-anaknya hingga membuat Dimas dan juga adiknya tumbuh besar dengan kasih sayang yang berlimpah. Dimas selalu bersyukur dengan apa yang dia dapatkan, keluarga yang harmonis, adik pintar, dan pendidikan yang dia dapatkan, untuk itu, dia tidak akan mengeluh ataupun memusingkan segala macam masalah, Karen sejatinya dia memiliki seorang ayah dan keluarga yang sangat sempurna baginya. Hingga beberapa langkah kedepan, Dimas menghentikan langkahnya ketika dia menyadari jika rumah kosong yang berada di belakang masjid terlibat seperti sudah ada penghuninya, dia menoleh dan memperhatikan tempat itu sejenak. Tempat yang sudah sangat lama kosong dan tidak berpenghuni, kini terlihat terang dan memiliki kehidupan di dalamnya. "Heh malah bengong. Liat apaan itu?" Dimas tersentak kaget ketika sang bapak menepuk pundaknya. "Ah bapak, ngagetin aja!" "Lagian, kamu liat apaan coba!?" "Eh, itu. Liat rumah kosong di sana. Itu udah ditempatin yah pak?" Tanya Dimas bingung, karena beberapa hari yang lalu, seingatnya tempat itu masih kosong dan belum seperti sekarang ini. "Oh itu. Nggak tau juga sih bapak, kalo kata tetangga mah udah ada yang nempatin kemarin." "Lah iya? Kok Dimas nggak tau?" "Ya gimana mau tau, kamunya aja nggak pernah di rumah." Dimas terkekeh pelan saat sang bapak mengatakan apa yang sebenarnya. Memang beberapa hari terakhir Dimas jarang berada di rumah, jadi tidak heran ketika dia tidak menyadari jika selama ini ada sesuatu yang baru. "Jadi, kita punya tetangga baru dong pak?" "Hem. Mana kata tetangga, penghuninya janda pula." "Lah iya?" "Hem." "Wah bahaya nih." "Lah kok bahaya?" "Bahaya lah, bisa-bisa bapak mejengin tuh janda tiap hari!" "Hus ngawur aja kamu!" Dah dah nggak usah macem-macem, ayok buru ke masjid, udah mau iqomad tuh!" Dimas tertaw pelan melihat raut ekspresi bapak yang terlihat salah tingkah itu. Padahal Dimas tahu jika bapak bukanlah orang yang seperti itu. Rasa cintanya kepada mamak tuh udah nggak bisa diremehkan lagi. Makanya nggak heran kalo bapak tub bisa di bilang bucin akud sama mamak, untuk selingkuh adalah hal yang mustahil untuk bapak. Dimas bisa pastikan itu. ××× "Dek udah belum!" Teriak Dimas dari teras rumah mema.ggil sang adik. Dia sudah siap untuk berangkat ke sekolah hari ini, tapi seperti biasa, tugasnya setiap pagi sebelum berangkat sekolah adalah mengantarkan adiknya terlebih dahulu sebelum akhirnya dia berangkat menuju sekolahan. Itu adalah rutinitasnya setiap pagi, dan Dimas sudah biasa melakukan hal itu. "Sebentar!" Balas sang adik. Lalu tak lama setelahnya, ketika Dimas selesai mengenakan sepatunya, adiknya datang sembari menenteng sepatu di tangan kiri dan roti bakar di tangan kanan. Bocah berusia sembilan tahun itu terlihat tergesa-gesa sebelum akhirnya dia duduk di sebelah Dimas dan bersiap memakai sepatunya. Melihat sang adik yang kesulitan mengikat tali sepatu, Dimas akhirnya turun tangan dan membantu adiknya untuk mengikatkan tali sepatunya di sana. "Makanya siap-siap tuh dari tadi. Jadi nggak buru-buru gini." "Mamak tuh, dari tadi sibuk di dapur, akunya nggak diurusin." "Lah kamu kan udah gede. Belajar mandiri dong?" "Kakak! Sejak kapan aku udah gede? Aku itu masih kecil tau, masih perlu diurusin." Dimas mencebik pelan sembari menatap sang adik dengan tatapan malasnya. "Iya iya, terserah kamu aja lah. Udah nih! Yuk berangkat!" "Bae-Bae di sekolah, belajar yang rajin biar pinter!" Ucap Dimas setelah mengantarkan sang adik hingga di depan gerbang sekolah. Dia mengulurkan tangannya, membiasakan sang adik untuk melakukan cium tangan kepada orang yang lebih tua darinya. "Iya-iya, bawel deh, jangan ikutan kayak mamak ah, cukup mamak aja yang bawel, kakak jangan!" "Lah bocah, baru di kasih tau malah ngejawab." "Iya iya, aku tau. Udah ah, aku masuk ke kelas dulu. Kakak hati-hati di jalan jangan ugal nanti jatuh! Kasian si king kan kalo nanti jatuh." "Kasian banget sama si king? Sama kakak nggak?" "Lah kakak mah jatuh bisa bangun sendiri. Kenapa di kasiani!" "Walau si bocil. Makin pinter aja ngomongnya!" "Pinter lah, kan selama ini aku belajar kak." "Iyain udah iyain!" Dimas sekuat hati menahan dirinya untuk tidak marah ataupun meledak. Dia hanya berdeham pelan sembari menatap sang adik yang begitu ingin dia pites, tapi sayangnya dia adik satu-satunya dan dia sayang. Jadi Dimas menahan amarahnya untuk sejenak sebelum akhirnya memilih untuk segera berangkat ke sekolah. Jalanan pagi seperti biasa masih lengang dan Dimas tidak perlu melalui jalan raya untuk menuju sekolahnya, walaupun letak sekolah yang berada di pinggir jalan raya, tapi masih ada jalan desa yang bisa membawanya ke sekolah. Itu adalah satu pilihan yang tepat untuk menghindari kemacetan yang ada. Walau sebenarnya memilih jalan itu juga ada resiko yang harus dia ambil. Contohnya saja bertemu salah satu mantan yang sampai saat ini masih belum bisa membuat dirinya move. Dan benar saja, ketika dia sudah melewati beberapa tikungan di jalanan desa, dia melihat seorang gadis berseragam putih abu-abu tengah berjalan di depannya. Dia adalah Rani, gadis yang dia temui malam tadi. Dan membuat dirinya mau tak mau harus berhenti di sana. "Pagi!" "Eh pagi! Abang! Ngagetin aja! Gue kira siapa!" Dimas terkekeh pelan sembari menggaruk puncak kepalanya dengan tangan kiri. "Biasa kang ojek pagi datang mau jemput buat antar ke sekolah. Neng cantik dah siap ke sekolah?" Padahal Dimas tidak sekalipun ada niatan untuk mengantarkan gadis itu ke sekolah, tapi berhubung dia bertemu di persimpangan jalan. Maka tidak ada salahnya bukan untuk berangkat bersama. "Eh, nggak usah deh bang. Gue udah dijemput di depan. Nggak enak juga." "Oh." Seketika Dimas terdiam, dia baru ingat saat ini Rani tidaklah sendiri seperti dirinya yang baru saja putus, jelas-jelas gadis itu sudah memiliki pacar. Jadi tentu saja jika ada yang menjemput dirinya. "Oke ... Kalo gitu gue duluan yak." Rani mengangguk pelan. "Maaf ya bang. Lain kali aja kalo mau anter aku ke sekolah." "Oke, nggak masalah, aku juga tadi lupa kalo kamu udah ada pacar." Ucap Dimas sembari terkekeh pelan. Sakit tak berdarah. Sepertinya dia terlalu banyak berharap hingga lupa pada satu kenyataan. Yah, walaupun sudah dari awal dia tidak memiliki niatan untuk bertemu dengan gadis ini. Namun apa daya, ketika bertemu hatinya malah terlalu berharap akan satu sosok yang mungkin bisa menghabiskan waktu bersama dengannya. "Em, ya udah kalo gitu, gue duluan ya?" Dimas melajukan si king melewati Rani setelah mendapat jawaban iya dari bibir manis gadis itu. Setelahnya dia berlalu, lalu tepat di persimpangan jalan, dia melihat seorang cowok dengan seragam yang sama seperti dirinya dan juga Rani yang mungkin saja tengah menunggu gadis itu. Seperti yang Rani katakan sebelumnya. "Hem, ganteng doang, jemputan cewek di depan gang." Cibirnya pelan lalu setelahnya dia berlalu melewati cowok dengan motor keluaran terbaru di sana. Dia berharap untuk tidak melewati rute itu lagi dan membuat dirinya bertemu dengan Rani yang bisa saja akan menolak dia ketika dirinya bertemu nanti. Hem, cukup sekali saja dia melalui rute ini. Dan tidak ada lain kali yang akan dia ambil di kemudian hari. Lima belas menit berlalu, Dimas sudah sampai di depan gerbang sekolahnya, terlihat cukup ramai di sana karena hari sudah mulai mendekati waktu jam pertama pelajaran. Untuk itu. Dimas segera memarkirkan motornya di tempat parkir langganan sebelum akhirnya dia berjalan menuju ke dalam sekolah. Seperti biasa, koridor sekolah selalu saja ramai dan dipenuhi dengan murid-murid yang tengah bercanda dan berbincang dengan beberapa teman lainnya. Dimas berjalan tanpa menghiraukan keberadaan mereka, tujuan utamanya adalah kantin. Jam pertama tanpa gorengan adalah hal yang membosankan dan akan membuat dirinya mengantuk. Untuk itu, Dimas tidak akan pernah meletakkan menyantap gorengan sebelum jam pertama di mulai. "Woy bro!" Dia menghentikan langkahnya ketika mendengar suara Arif yang tengah berjalan kearahnya dengan ponsel di tangannya. "Apaan!" "Dih sipek bet macam cewek pms!" Ucap Arif sembari menyimpan ponselnya ke dalam saku dan mendekati Dimas. "Lagian lu!" "Lah kenapa gue? Gue kan cuma manggil Lo doang." Tanya Arif dengan lirikan mata kesal di sana. "Mau kantin kan? Bareng lah." Dimas tak menjawab ucapan Arif, dia memilih berjalan lebih dulu dan menuju salah satu warung langganannya untuk memesan gorengan berupa bakwan dan juga tahu bunting. Yang kata orang udah bertahun-tahun bunting tapi kagak lahir-lahir juga. Setelah mendapat apa yang dia inginkan di dalam piring. Dimas beranjak dan memilih meja yang cukup sepi untuk menikmati santapannya pagi itu. Tidak peduli dengan orang-orang yang melihat aneh ke arah dirinya, Dimas hanya butuh sarapan untuk kelanjutan kegiatan belajar mengajarnya hari ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN