dia....

1843 Kata
Dia ... Kalo ada yang pasti kenapa harus yang sulit. Raka. ---- "Sumpah gue laper anjir!" Suara itu membuat Dimas yang sedang merapihkan bukunya mendengkus kasar. Dia menoleh dan mendapati Raka yang tengah bersandar pada kursinya dengan buku yang masih berserakan di atas meja. "Laper makan, nggak usah teriak di telinga gue njing." "Makan pala Lo peang. Istirahat aja belom!" "Ya udah sabar! Nggak usah teriak di kuping orang! Sakit kuping gue!" Sentak Dimas yang merasa kesal, pasalnya sahabat ini memiliki sifat yang sulit untuk ditebak, kadang jadi orang yang pendiam. Terkadang juga menjadi orang yang paling berisik. Mendengar perkataan Dimas, Raka hanya mendengkus kasar lalu berdiri dari kursinya, membiarkan bukunya masih berantakan diatasi meja. Dia mendatangi siswa lain yang bernama Tito. Murid yang pendiam, cupu dan memiliki penampilan udik dengan kaca mata bulat tebal bertengger di hidung mancungnya. Satu-satunya aset yang membuat anak itu terlihat lebih baik di balik wajah penuh jerawatnya. Walau demikian, Tito adalah anak yang tergolong cerdas, apalagi menyangkut komputer dan jenis aplikasi yang ada di dalamnya. Dia adalah salah satu anak yang memiliki nilai tertinggi di pelajaran tersebut. Dimas masih mengamati apa yang dilakukan Raka dari tempatnya. "To! Lo laper nggak?" Tanya Raka yang tiba-tiba saja duduk di meja tepat di hadapan Tito. Mendapat perlakuan seperti itu tentu membuat Tito menunduk dan tak membuka suara, anak itu memang sangat jarang bersuara selain mendapatkan pertanyaan dari guru secara langsung. Maka tak heran jika dia tidak memiliki teman di kelas ini. Satu-satunya anak yang sering mengajaknya berinteraksi hanyalah Raka dan juga Arif, dan Dimas hanya beberapa kali saja. Terlihat dari tempat duduk Dimas saat Tito hanya mengangguk pelan di sana, walau Dimas yakin Tito tidak lapar, tapi karena dia tidak enak ketika ada Raka, maka dia hanya mengangguk sebagai jawaban. Raka tersenyum di sana, lalu dengan santainya dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan uang lima putih ribu dari sana. "Tolong beliin gue somai Dong. Tiga porsi yang sepuluh ribu. Susahnya buat Lo. Nggak papa kan?" Mendengar biru Dimas hanya bisa menarik sudut bibirnya, dia sudah bisa menebak jika sahabat akan melakukan hal itu untuk meminta bantuan. Seperti yang sudah-sudah Raka memang tidak pernah memaksa untuk meminta tolong, tapi dia juga akan memberi, anggap saja upah untuk orang yang mau dimintai tolong olehnya. Seperti sekarang ini. Dan Tito adalah langganan Raka ketika dia sedang malas pergi ke kantin. "Nggak papa kan?" Tanya Raka sekali lagi sebelum akhirnya Tito mengangguk pelan, dia menerima uang Raka, dan setelah dia pergi. Meninggalkan Raka yang kini berjalan ke arah kursinya. Disambut Dimas yang hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan. "Kebiasaan." "Lah kenapa? Gue nggak maksa ini." "Lo emang nggak maksa, tapi kebiasaan Lo bikin Tito telat masuk di jam berikutnya." Memang. Karena kelakuan Raka yang satu ini terkadang membuat Tito harus terlambat beberapa menit di jam pelajaran berikutnya, beruntung karena hal itu tidak membuat Tito mendapatkan masalah. "Nggak masalah kan, toh Tito juga pinter buat alasan." Dimas berdecih pelan karena sikap Raka yang terbilang santai itu. Padahal karena dirinya juga Tito sering di kenal dengan remaja yang memiliki masalah dengan dirinya karena dia sering kali ke toilet tanpa sebab. Walau hal itu hanya sebuah alasan agar dirinya selamat dari hukuman sang guru, tapi tetap saja. Apa yang dilakukan Raka benar-benar menyulitkan orang lain. "Tetep aja, sama temen satu kelas nggak boleh gitu, kasian." "Ck, iya iya! Lagian gue nggak sering juga kan, cuma beberapa kali aja!" "Terserah deh." Dimas tidak ingin ambil pusing, dia memilih untuk meraih ponselnya sembari menunggu pelajaran berikutnya di mulai. Membuka game moba yang sering dia mainkan sebelumnya hanya untuk melihat daftar event terbaru yang di sediakan. Hingga tak lama setelahnya mereka yang berada di kelas itu dikejutkan dengan kedatangan pak kepala sekolah yang masuk secara tiba-tiba tanpa mengetuk terlebih dahulu. Dimas yang panik segera menyimpan ponselnya, dan dengan segera dia duduk sempurna di kursinya. Kelas yang awalnya sedikit ramai tiba-tiba menjadi senyap, dan hal itu membuat Raka sedikit cemas, karena sampai detik ini Tito belum kembali ke kelas. "Assalamualaikum dan Selamat pagi menjelang anak-anak!" "Waalaikumsallam, selamat pagi pak." "Baik, bapak datang ke kelas ini karena bapak ingin menyampaikan sesuatu pada kalian." Semua murid di kelas itu kembali terdiam sembari memperhatikan apa yang dikatakan oleh kepala sekolah kepada mereka. "Jadi, bapak datang ke tempat ini ingin memberitahu jika mulai hari ini kalian akan mendapatkan teman baru ..." Keadaan masih hening, dan pak kepala sekolah menoleh ke arah pintu yang tak lama setelahnya sesosok siswi berjalan kearah kelas. "Perkenalkan, dia adalah siswi pindahan dari luar kota yang mulai hari ini akan belajar bersama kalian." Pak kepala sekolah menatap siswi itu sebentar. "Silahkan perkenalkan diri kepada teman-teman baru kamu." Dimas yang memperhatikan gerak gerik siswi baru itu terkejut bukan kepala, bahkan dia sampai tak bisa berkata-kata saat melihat siapa siswi baru itu. "Dia ...." Bisik Dimas dengan suara pelan yang masih bisa di dengar oleh Raka. "Hak teman-teman, salam kenal. Perkenalkan nama aku Niki Anane Pangestu, biasa dipanggil dengan Niki, salam kenal!" "Salam kenal Niki!" Baiklah seluruh anak-anak menjawab perkenalan riang dari Niki, sosok yang terlihat memiliki sifat ramah dan juga mudah bergaul itu langsung mendapat perhatian dan suasana baru di dalam sekolah. "Eh, dim! Dia Niki yang dulu bukan sih?" Bisik Arif dari kursi belakang yang membuat Dimas melirik kearahnya, lalu setelahnya dia mengedikkan bahu acuh. Namun berbeda dengan Raka yang masih hanyut memperhatikan Niki dari tempat duduknya. "Baiklah, karena kalian sudah berkenalan, maka mulai sekarang, bapak harap kalian bisa lebih dekat dan berteman dengan Niki." "Baik pak!" "Ya sudah kalau begitu. Hanya yang bisa bapak sampaikan, dan sebelum bapak permisi." Pak kepala sekolah menyangka wajahnya dan menatap Dimas yang terlihat malas dengan kehadiran siswi baru tersebut. "Dimas! Setelah pulang sekolah bapak harap kamu bisa antar Niki untuk berkeliling di sekolah ini." Mendengar itu Dimas langsung mengangkat wajahnya dan menatap kepala sekolah, memberi tatapan hendak memprotes yang di sambut tatapan tajam dari pak kepala sekolah. "Saya tidak menerima alasan!" "Baik pak." Balas Dimas lesu setelahnya. Seperti itulah nasibnya, jika ada murid baru dia selalu menjadi sasaran di sekolahnya. Terlebih, apakah tidak aneh jika Niki pindah di saat mereka sudah duduk di semester akhir kelas tiga? Apakah tidak masalah dengan kurikulum yang ada? Cih sekolah ini memang benar-benar kekurangan murid, hingga masih saja di saat detik terakhir menerima murid pindahan dari luar kota. Sungguh tidak masuk akal. "Baiklah jika sudah tidak ada pertanyaan lagi, bapak izin pamit dan untuk kalian tolong berteman baik dengan Niki." "Baik pak." Jawab para murid dengan serempak. Setelah itu pak kepala sekolah benar-benar pergi dan meninggalkan Niki yang kini tengah di kerumuni siswi lain yang ada di kelas, mereka semua mengajak Niki berkenalan, dan tak lupa mereka juga bertanya bagaimana Niki bisa pindah di sekolah mereka padahal saat ini mereka sudah berada di semester akhir yang mendekati kelulusan. Dengan ramah dan penuh senyum, Niki menjelaskan semuanya, bagaimana dia bisa pindah dan bagaimana dia bisa sampai di sekolah ini. Dimas yang hanya bisa mendengar dengan samar-samar cuma bisa mendengkus kasar, menunjukkan jika dirinya sama sekali tidak suka dengan keberadaan sosok itu. "Heh! Lu ini ada temen baru bukannya semangat malah lesu gitu!" Sentak Raka yang terlihat begitu tertarik dengan siswi baru itu. "Yemen baru apaan?" Tanya Dimas malas. "Lah itu jelas-jelas siswi baru di kelas kita, lu nggak denger apa gimana?" "Baru apaan? Jelas-jelas itu anak temen lama Dimas." Ucap Arif setelahnya yang membuat Raka menoleh cepat dan menatap sahabatnya itu. "Serius?" "Hem" "Wah kenapa Lo nggak bilang kalo lo punya temen cewek cantik gitu?" "Lo nggak tanya." Jawab Dimas malas. Sebenarnya dia memang mengenal siapa sosok gadis itu, tapi Dimas malas untuk mengingatnya lagi, bagaimana juga Dimas sedikit urusan yang belum selesai dengan gadis itu. Raka yang penasaran segera saja ingin mengajukan pertanyaan, tapi sayangnya, ketika dia ingin bertanya guru matematika segera datang dan menghentikan niatan Raka untuk bertanya, karena jika dia membuat kegaduhan sedikit saja, guru yang terkenal killer itu akan menghukum mer ia saat itu juga. Pelajaran berlangsung mereka terhanyut dalam pelajaran dan s**l yang diberikan oleh sang guru, hingga ada saat di mana mereka harus menghentikan kegiatan mereka saat Tito baru saja masuk, dan seperti biasa dia selalu memberikan alasan bahwasanya dia baru saja dari toilet, padahal jelas-jelas dia menyembunyikan satu plastik kecil di tas selempang yang dia bawa sebelumnya. Raka tersenyum saat Tito baru saja datang. Ketika guru matematika lengah, Raka berjalan mendekati Tito untuk meminta makanannya. Semua berjalan mulus hingga Raka bisa menikmati somai kesukaannya sembari mengerjakan tugas yang diberikan sang guru, tentu saja dia melakukan hal itu dengan cara sembunyi-sembunyi. ---- Bel akhir pelajar berdering. Jam sudah menunjukkan pukul satu siang dan pertanda jika itu adalah akhir dari hari ini. Mereka yang tidak memiliki pelajaran tambahan tentu saja diperbolehkan pulang. Terkecuali Dimas yang harus tertahan karena hari ini dia memiliki pelajaran tambahan untuk perusahaan ujian. Akhir. Satu kelas Dimas harus bertahan selama satu jam lagi sebelum mereka diperbolehkan pulang. "Sumpah. Males banget gue jam tambahan gini." Ujar Arif dengan nada lesu. "Kali males balik aja!" Balas Dimas santai. Arif memang selalu tidak bersemangat untuk mengikuti jam tambahan, padahal hal ini sangat baik untuk dirinya, tapi kembali lagi, daya serap otak Arif tentu saja tidak sanggup untuk dipaksa sekeras itu. Dan tidak jarang jika Arif lebih banyak tidak mengikuti jam tambahan dikarenakan penyakitnya itu. "Mau balik kagak ada temen, males gue." "Ya udah tunggu aja kalo gitu." Balas Raka yang sedari tadi tatapannya tidak pernah lepas dari sosok Niki yang saat ini tengah berbincang dengan tenaga sebangkunya, jarak mereka tidak terlalu jauh dari tempat duduk Dimas dan Raka. "Btw, dim. Lo tau rumah Niki?" "Entah. Dia balik ke sini aja gue nggak tau." "Serius? Gue kira Lo temannya." "Temen itu dulu, sebelum dia dan keluarga keluar kota, kalo sekarang mana gue tau." "Huh, sayang amat. Padahal kalo Lo tau kan enak, gue bisa gitu tanya info ke Lo." "Kenapa nggak tanya langsung aja?" Tanya Arif tiba-tiba. " Bener kata Arif tuh." "Heh! Mana bisa gitu, kali gue tanya langsung yang ada kesannya aneh lah!" "Ya kalo penasaran mah nggak ada yang aneh. Dari pada lo mati penasaran kan?" Ucap Arif. "s**l! Nggak deh lebih baik gue tahan aja! Nanti juga bakal tau sendiri." "Ya udah terserah Lo itu mau." Raka mengangguk setelahnya, tak lama berselang, pelajar tambahan dimulai, dan mereka mulai sibuk untuk mengikuti arahan dari guru Pembimbing mereka, terkecuali Arif yang saat ini tengah berada di luar kelas dan mungkin saja dia sudah berada di kantin. Beberapa saat lalu dia memang sengaja meminta izin kepada guru pembimbing untuk tidak ikut dalam jam tambahan hari ini. Karena dia sudah merasa lelah dan tidak sanggup lagi. Sebagai guru yang sudah mengetahui masalah yang dialami oleh Arif. Tentu membuat sang guru membiarkan Arif untuk tidak mengikuti pelajaran kali ini. Dan hal itu sudah berlangsung sejak lama, maka dari itu, tidak ada yang terkejut akan hal ini. Di sisi lain. Dimas sendiri tidak bisa konsentrasi dalam mengikuti pelajaran kali ini karena dia masih kepikiran tentang adiknya yang saat ini tengah berada di rumah pak RT, dia memikirkan apakah sang adik benar ada di sana, atau malah memilih untuk pulang. Dia benar-benar cemas dan berharap untuk segera pulang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN