hujan

2096 Kata
hujan. Kalo ada yang sulit. Kenapa harus mudah. Arif. --- Jam pulang sekolah adalah hal yang paling ditunggu oleh kebanyakan orang. Tak terkecuali Dimas dan juga kawan-kawan, tapi berb dan dengan yang lain. Ketika mereka memilih untuk berdesak-desakan untuk pulang. Dimas dan yang lain malah memilih untuk mengukur waktu hingga sekolah benar-benar sepi dari para murid yang berdesakan di gerbang sekolah. "Eh, nanti sore jadi ke rumah gue?" Arif tiba-tiba merangkul pundak Dimas dan juga Raka yang berdiri di depannya. "Gue nggak tau. Liat aja nanti." "Yah masak gagak lagi! Padahal yang kemaren juga gagal." Dimas menatap Raka sejenak, sahabatnya itu sepertinya masih menyimpan masalahnya sendiri, dan terlihat dari raut wajahnya sepertinya dia belum lepas dari masalah dengan sang ayah. "Kalo nggak bisa bilang aja, biar gue sama Arif aja nanti." "Gue nggak janji tapi gue usahakan." "Emang kenapa Lo nggak bisa?" Tanya Arif penasaran. "Ada les? Atau masih ada masalah sana ayah?" Seketika itu juga Dimas menyenggol pundak Arif, dan melotot tajam kearah sahabatnya itu. Memang dasar. Arif selalu saja blak-blakan tanpa tedeng aling-aling yang membuat Raka harus terdiam di tempatnya. "Yaelah Dim, gue kan cuma nanya doang, salah ya?" "Nggak salah. Tapi waktunya yang nggak tepat! Lo ini mikir-mikir lagi lah kalo mau tanya sesuatu itu!" "Ck, iya iya maaf. Lagian, Raka juga nggak marah ini!" Dimas memutar bola matanya malas, berbicara dengan Arif memang harus kuat mental, karena anak itu selalu saja membalikkan perkataannya. "Sebodoh amat deh sama Lo." "Yah ... Yah ... Kok ngamok. Gue kan cuma bercandaan elah!" "Ya ya ya, bodi amat!" Dimas melambaikan tangannya dan berjalan menjauh dari Raka dan juga Arif, dia memilih untuk mendekati si king sebelum akhirnya mengambil helm dan menaiki si king. "Ka! Kalo masih sibuk, mending nggak usah dengerin Arif. Kalo lo butuh. Lo bisa datang ke rumah gue nanti malam." "Eh, terus rencana kita gimana astaga!" "Pending!" Dimas berlalu. Tanpa menunggu kedua sahabatnya, karena hari ini dia sudah memiliki janji untuk mengantarkan laundry milik para pelanggan mamak. Dia memang menyempatkan dirinya untuk membantu mamak walaupun dia memiliki acara sekalipun, sekali dua kali tidak masalah. Setidaknya dia sudah meringankan beban sang mamak walau hanya sedikit. Mamak Dimas memang memiliki sebuah laundry yang sudah memiliki banyak pelanggan, dan untuk itu. Dimas berinisiatif untuk membantu sang mamak agar pekerjaan beliau tidak terlalu banyak. Setidaknya berbakti walaupun tidak banyak adalah pilihan yang bisa dia ambil. Selama perjalanan pulang. Dimas tidak memperhatikan sekitar rumahnya, di langsung melesat dengan si king menuju tempat laundry mamak yang terletak tak jauh dari rumahnya. Hanya berjarak lima rumah saja, maka dia sudah sampai di tempat laundry. "Assalamualaikum!" "Waalaikumsallam! Udah pulang kak?" "Hem, baru aja mak." Balas Dimas yang kini segera mendekati mamak untuk memberi salam dan sekedar mencium tangan sang mamak. "Agung kemana Mak? Tumben nggak keliatan." "Ada, tadi sih lagi makan. Nggak tau sekarang ke mana." "Pasti main lah tuh." "Ya udahlah biarin aja, kamu makan dulu aja sana, abis itu anterin pakaian ke rumah pelanggan baru." "Pelanggan baru? Yang mana, mak." "Ada pokonya, di baru banget pindah ke sini. Dan kebetulan cuciannya juga banyak. Jadi nanti kamu sama si Siti anterin ke sana ya." "Siap Mak! Ya udah Dimas makan dulu ya mak, laper." "Hem, sayurnya ada di atas kulkas ya, kali udah masukin ke lemari makan, tadi mamak lupa masukin pas ngambilin sayur buat adik kamu." "Iya mak." Keseharian Dimas memang seperti itu, selain membantu sang mamak, dia juga sering menghabiskan waktu dengan belajar membuat usaha sampingan dengan sahabatnya, tapi itu hanya dia lakukan ketika dia luang saja. Karena waktu untuk membantu sang mamak membuat dirinya tidak memiliki waktu luang. Contohnya saja siang ini, melihat ada begitu banyak pakaian dan kain yang siap untuk diantar membuat Dimas harus menyelesaikan makanya dengan cepat, sebelum dia mengganti baju, dari seragam SMA kini sudah berganti menjadi sebatas celana jeans pendek, dan kaus oblong. Dia siap menganjurkan beberapa kain para pelanggan. Tapi, siang itu dia tidak membawa si king, karena akan sulit jika membawa banyak barang dengan si king. Dia memilih untuk menggunakan motor metic milik mamak yang terparkir di halaman rumahnya. "Mak, mana kain yang kau diantar?" "Loh. Kamu udah makan emang?" "Barusan aja selesai." "Duduk dulu lah. Gampang masalah cucian mah, kamu juga baru Sampek kan?" "Nggak papa lah Mak, biar cepet selesai juga. Oh ya Siti mana mak?" "Yakin nggak papa?" Sorot mata mamak terlihat ragu di sana. Tentu saja siapa yang tidak khawatir melihat anaknya harus bekerja membantu dirinya padahal dia sendiri baru saja pulang sekolah. Dan itulah kenapa mamak sering melarang Dimas untuk datang ke tempat laundry, karena mamak tidak ingin melihat Dimas terbebani. Memang dasar Dimas yang selalu keras kepala, untuk itu laki-laki itu tidak pernah memperdulikan ucapan sang mamak. "Yakin lah Mak. Udah biasa juga." Menghela napas pelan. Mamak hanya bisa mengalah jika Dimas sudah memaksa seperti itu, karena dilarang pun juga percuma saja. "Ya udah, bentar mamak panggil Siti dulu, sekalian siapin kainnya." "Oke, aku siapin motornya kalo gitu." Segera saja Dimas bergegas untuk menyiapkan motornya dan setelah motor matic terparkir sempurna di depan pintu laundry, Dimas segera masuk. Kebetulan mamak dan Siti, salah satu pekerja mamak juga sudah siap dengan kain yang akan diantar oleh Dimas. "Ini alamatnya, nggak jauh dari masjid depan rumah. Kamu boncengan sama Siti, sialnya bawaannya banyak." Dimas melihat dua karung berukuran sedang berisi pakaian bersih di sana, lalu melihat Siti sebentar. "Mak kayaknya sendiri aja deh, kalo sama Siti malah susah nanti. Sialnya karyanya besar." "Terus kalo sendiri siapa yang megangin?" "Di tali aja, Dimas ingat kemaren ada nyimpen tali karet di bagasi." Dimas segera turun lalu membuka jok motor dan mengambil tali karet yang cukup panjang di sana. "Biar Dimas tali di belakang aja. Satunya Dimas taro depan." "Yakin nggak repot?" "Aman Mak." Dimas dengan segera mengambil alih dua karung itu dan menyusunnya ke atas motor. "Cuma ini aja kan mak?" "He'em. Itu aja." "Oke kalo gitu aku berangkat dulu Mak." Seperti biasa, Dimas selalu cekatan mengambil semua laundry itu dan menyiapkannya ke atas motor. ---- Siang itu. Walau udara sedikit mendung dan langit seolah siap menurunkan air hujan, Dimas tetap saja mengantarkan kain cucian milik pelanggan mamak. Walau dengan udara yang sedikit dingin dan dengan barang bawaan yang cukup banyak, Dimas masih semangat untuk menyelesaikan pekerjaannya. "Jangan ujan jangan ujan, please!" Gumam Dimas ketika melihat awan mendung yang terlihat sangat berat di atas awan sana, dia segera bergegas karena tidak ingin kain bersih yang dia bawa basah terkena hujan. "Please! Please! Jangan hujan! Ayolah! Ayo ayo!" Dengan segera dia menarik gas di tangannya. Dan laju motornya semakin bertambah, tak sampai sepuluh menit dia sampai di sebuah pekarangan rumah yang pernah dia lihat pagi tadi saat dirinya pergi ke masjid. "Permisi!" Teriak Dimas sembari beranjak turun. Mendung sudah mulai menurunkan rintik tipis yang terlihat akan bertambah deras. Tidak peduli apakah ada orang atau tidak, Dimas langsung menurunkan barang bawaannya, dia melepaskan tali pengikat lalu mengusung jantung yang ada di jok belakang untuk segera dia selamatkan ke teras rumah. Tepat saat dirinya akan mengambil karung di depan, hujan langsung turun dengan derasnya. Dimas segera berlari. Tidak peduli jika tubuhnya akan bahas, dia harus menyelamatkan uang mamak yang sudah mamak kerjakan sejak kemarin. "Huh! Untung aja masih sempet!" Dia melihat sekilas air hujan yang turun dengan lebatnya, tidak sampai lima menit pekarangan rumah sudah basah kuyup, dan motornya pun mendapat cuci gratis karena air hujan yang turun. "Untung nggak untung sih ini mah!" Gumam Dimas. Dia tidak pernah mau mengeluh karena turunnya hujan, karena bagaimanapun juga, hujan adalah berkah, dan sebuah rezeki dari Tuhan yang diberikan dengan percuma. Sejenak dia menatap air yang mengalir melewati genting, menjulurkan tangannya untuk merasakan dinginnya air hujan siang itu. Entah ide dari mana, tiba-tiba dia memikirkan sebuah hal konyol yang terlintas di benaknya. Segera saja Dimas mengeluarkan ponselnya dari saku celananya, setelah itu dia membuka sebuah aplikasi ** dan mengaktifkan modul kamera, memilih efek yang sesuai dan seger merekam kejadian yang ada di sana. "Ini, yang sering bilang, `langit bisakah kau turunkan hujan?` Nih karena doa Lo orang, cucian gue hampir basah kuyup karena hujan! Hujan-hujan ndasmu!" Sentak Dimas, lalu mengalihkan kameranya ke arah wajah, menatap tajam ke arah kamera sebelum dia mengakhiri rekaman itu. Setelahnya dia melihat hasil dari rekamannya sebelum dia terkekeh pelan. "Njirr! Alay bet gue!" Tapi dia tidak peduli dengan hasilnya yang terlihat konyol. Dia segera mengunggah rekaman itu ke salah satu aplikasi yang tengah digandrungi oleh banyak orang. "Bodo amat! Siapa tau viral kan, bisa dapet duit gue!" Setelah selesai dia menyimpan ponselnya. Dia berniat untuk memanggil si pemilik rumah. Lalu setelah dia berbalik, dia dikejutkan dengan sosok anak gadis yang berdiri di depan pintu sembari memperhatikan dirinya. "Eh!" Dimas terkejut. "Udah lama dek?" Tanya Dimas setengah malu jika saja anak kecil itu sudah sedari tadi ada di sana. "Em! Om siapa?" Tanya anak itu dengan tatapan heran di sana. "Om?" Dimas menatap anak itu lalu menatap dirinya sendiri. Serius dia manggil gue om? Lah muka gue om-om banget emang? "Eh, itu ...." Dimas yang bingung mau ngomong apa hanya bisa menggaruk tengkuknya. "Ibu ada? Ini kakak mau nganter kain ibu." "Ibu?" Beo anak perempuan itu sedikit bingung. "Iya ibu ... ibu adek ada di rumah?" "Em .... Ibu nggak ada om." Om lagi nggak tuh? Ya Allah, emang muka gue udah tua banget apa, bisa-bisanya gue dipanggil om. Dimas menahan dirinya untuk tidak marah dan terlihat kesal, dia berusaha untuk tetap tenang dan memasang senyum di wajahnya. Sabar-sabar, untung aja cantik. Kalo nggak udah gue pites nih anak! "Terus, adek di rumah sama siapa?" Tanya Dimas dengan sabar. Tidak mungkin kan seorang anak kecil ditinggalkan di rumah sendirian di rumah? "Sama mamak, ibu aku ada di kampung, nggak di sini." Lah emang apa bedanya ibu sama mamak? "Em iya itu, maksud kakak, mamak ada di rumah?" "Lah tadi kan Ara bilang di rumah sama mamak, kok tanya lagi, om?" Dimas bengong seketika, antara terkejut, dan kesal atau malah merutuki kebodohannya sendiri. Lah iya juga? Kan tadi dia bilang sama mamak di rumah. Kenapa gue tanya lagi? Ini sebenarnya Dimas yang b**o atau anak itu terlalu pintar sih? Atau memang Dimas yang lemot. Dimas memasang senyumnya lagi, lalu berjalan mendekati sang anak perempuan yang kini berjalan mundur untuk menjaga jarak dari Dimas. "Om siapa? Om mau ngapain?" Tanya anak itu dengan raut takut di wajahnya. Em ... Di sangka penculik nggak tuh gue? Nasib gue gini amat astaga, udah kejebak hujan, malah ketemu sama anak yang pintarnya nggak nanggung-nanggung. "Itu loh dek, kakak kesini mau nganter pakaian adek sama mamak, kemaren mamak tuh titip cucian di tempat cucian kakak, nah sekarang kakak mau nganter baju adek." Semoga anak itu mengerti dengan kata-katanya. Semoga saja, karena Dimas sudah tidak ingin terlalu lama lagi menjelaskan beberapa hal yang malah membuat dirinya terlihat bodoh di depan anak-anak. "Em ...." Anak itu terdiam sembari menatap Dimas dalam, sebelum akhirnya dia menarik napas panjang dan ... "Mamak! Ada yang nyari nih!" Teriak anak itu dengan suara melengking. Dimas bahkan harus menutup telinganya karena suara lengkingan yang begitu tajam. Bisa kali dek pelan dikit teriaknya. Telinga gue berdenging nih! Dimas hanya bisa bergumam dalam hati karena dia tidak mungkin mencibir anak itu di depan matanya langsung. "Ada siapa Ra hujan-hujanan gini?" "Ada om om yang nganter baju!" Dimas terdiam lagi sembari menatap anak perempuan yang kini menoleh ke arah dalam untuk melihat mamak yang memiliki suara lembut khas ibu-ibu itu sembari merutuki anak perempuan itu di dalan hati. Entah bagaimana ceritanya anak ini memanggil dirinya om. Padahal dia masih begitu muda dan masih anak SMA. Astaga, pamor gue jatuh hari ini! "Eh ada tamu, dari laundry ibu Sumarni ya?" Suara lembut mendayu itu membuat Dimas mengangkat wajahnya, sejenak dia melihat paras ayu dari seorang wanita yang usianya jelas jauh diatasnya, dia terdiam sejenak sembari menatap wanita dihadapannya kini. Bidadari dari mana nih, cantik banget gila! "Mas?" "Eh!" Dimas tersentak saat dia terbengong pelan dan tersadar saat wanita itu melambaikan tangannya ke udara. "I-iya, Tante. Ini saya disuruh mamak buat nganter cucian Tante." "Oalah, saya kira siapa, maaf ya saya nggak tau. Mari masuk dulu. Hujan di luar." "Eh ... Iy-iya Tante." Entah Dimas harus bersyukur atau tidak, karena hari ini selain dia terjebak dalam hujan dan nasib s**l, dia juga mendapat sedikit berkah karena bisa mampir di rumah wanita cantik. Yang mungkin saja sudah bersuami. Buktinya udah ada ekor di sana. Dimas hanya terkekeh pelan melihat keadaan ini. Pantas aja anaknya cantik. Orang mamaknya aja nggak kalah cantik itu. Ya setidaknya dia bisa mencuci mata sejenak, tidak peduli jika dia harus berhadapan dengan sang suami, tapi setidaknya dia bisa melihat parah cantik dari wanita ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN