Emosi Jack

1096 Kata
"Pretty, jangan membandingkan dirimu dengan kakakmu," ketus Julia sambil melirik tajam ke arah putrinya itu. "Karena kau tidak bisa dibandingkan dengan Monica. Monica cantik di setiap sisi, sedangkan dirimu mirip seperti seorang pembantu!" Pretty hanya terdiam, tapi hatinya bagai ditusuk belati. Ucapan itu kembali menghancurkan sisa-sisa kepercayaan dirinya yang sudah rapuh. Air mata mulai menggenang di matanya, namun ia menahan agar tidak menangis di depan mereka. "Adikku, jangan merasa sedih. Kenyataan memang seperti ini. Aku memiliki wajah cantik dan menawan, sedangkan dirimu? Sangat jelek sekali. Dengan ini saja kau sudah kalah jauh dariku," ujarnya, dengan nada mengejek. Monica mendekati Pretty, menunduk, dan berbisik di telinganya, "Masih ada yang ingin ku katakan padamu. Calon suamimu itu bukanlah pria yang baik. Papa dan Mama sengaja merahasiakannya darimu. Demi keuntungan besar, kau harus menikah dengan pria yang suka bermain dengan wanita. Aku sering melihatnya di klub malam, bermain dengan wanita yang berbeda. Aku yakin hidupmu pasti akan menderita tanpa akhir." Pretty mengepalkan tangannya, menahan kemarahan yang hampir meledak. "Kalian semua menjadikanku sebagai boneka! Hanya demi uang, kalian menyerahkanku pada pria itu!" bentaknya dengan penuh kesal. Monica hanya tertawa kecil, menutupi mulutnya dengan tangan. "Semua sudah diatur. Dia pria kaya raya, kau bisa menikmati hidup dengan bergelimang harta. Tapi kau harus bertahan melihatnya membawa wanita lain pulang ke rumah." Pretty menatap Monica dengan mata penuh air mata. "Monica, aku adalah adikmu. Kenapa kau malah merasa bahagia di saat aku menderita?" Monica mengangkat bahu, lalu menyeringai. "Adikku? Jangan lupa, di keluarga ini tidak ada ruang untukmu. Aku bagaikan berlian di mata Papa dan Mama, sedangkan dirimu bagaikan batu kerikil di keluarga ini!" Pretty menggeleng pelan, menahan isak yang hampir pecah. "Kau jangan merasa senang atas penderitaan orang lain, karena suatu saat kau pasti akan mendapatkan balasannya!" Namun Monica hanya tertawa keras, suaranya menggema di seluruh ruangan. "Hahahaha... Aku tidak akan menderita! Aku hidup bahagia dan dimanjakan oleh Papa dan Mama. Kau tahu? Aku meminta kalung berlian, maka mereka akan membelinya untukku. Semua perhiasanku diberikan oleh Papa, sedangkan dirimu tidak memiliki apa pun!" Ucapan itu adalah pukulan terakhir bagi Pretty. Ia menatap Monica dengan mata yang berkaca-kaca. "Papa dan Mama selama ini memang selalu memihakmu. Aku tidak tahu salahku di mana. Jika saja aku bisa memilih, aku juga tidak mau dilahirkan di dalam keluarga ini!" katanya ketus, lalu melangkah pergi menuju kamarnya. Monica hanya tertawa kecil, lalu duduk di kursi dengan anggun. "Dasar wanita tidak sadar diri. Aku berharap kau segera menikah dengan David. Dengan begitu, kau pasti akan menderita selamanya," batinnya, dengan seringai puas di wajahnya. Sementara itu, Pretty masuk ke kamarnya, langsung melangkah menuju kamar mandi. Ia merasakan seluruh tubuhnya dipenuhi rasa jijik, terutama setelah kejadian semalam yang tak dapat ia lupakan. Ia menyalakan shower, membiarkan air hangat mengalir deras ke tubuhnya. Tangannya yang gemetar terus menggosok kulitnya dengan sabun, seakan ingin menghapus jejak luka yang tak terlihat di tubuhnya. "Arrggh!" teriak Pretty dengan penuh rasa frustrasi dan putus asa. Tangisnya pecah, menggema di dalam kamar mandi kecil itu. Tidak ada yang mendengarnya, tidak ada yang peduli. Ia hanya seorang diri, menghadapi rasa sakit yang tak pernah ia minta. Malam yang menyakitkan itu terasa semakin panjang bagi Pretty. Tubuhnya yang lelah akibat kerja keras sepanjang hari kini diguyur air dingin dari pancuran kamar mandi. Tangisannya bercampur dengan aliran air yang mengalir, menyembunyikan suara isaknya. Hatinya terasa begitu sakit, penuh dengan luka yang tak terlihat oleh mata siapa pun. Sudah lebih dari satu jam ia berdiri di sana, seolah-olah berharap air itu mampu membasuh semua kepedihan di hatinya. Namun, rasa sakit itu tetap ada, menghantui pikirannya seperti bayangan gelap yang tak mau pergi. Dengan langkah gontai, ia keluar dari kamar mandi, air menetes dari tubuhnya yang lemah. Pretty berjalan ke alas tidur tipis yang tergeletak di lantai—satu-satunya tempat di mana ia bisa beristirahat. Ia duduk di sana, memeluk lututnya erat-erat, sementara air mata terus mengalir tanpa henti. "Kenapa papa dan mama sangat membenciku? Siapa yang bisa melindungiku? Aku sedang terluka dan tidak ada sesiapapun yang bisa mengobati lukaku. Aku harus mengadu pada siapa?" pikir Pretty dalam hati. Di sisi lain, suasana di mansion Jack Harrison begitu tegang. Para anggota gengnya berdiri dalam ketakutan, menunduk dalam-dalam karena gagal menjalankan perintah bos mereka. Jack, yang sejak tadi menahan amarah, akhirnya meledak. Dengan gerakan penuh emosi, ia melempar cangkir di tangannya ke lantai. Prang... Pecahan kaca berserakan di lantai, membuat suasana semakin mencekam. Para anggota yang berada di ruangan itu saling melirik, takut menerima amarah lebih lanjut. "Kenapa masih berdiri di sini? Pergi dan dapatkan dia!" Jack membentak, suaranya menggema di seluruh ruangan. "Iya, Bos!" seru mereka serempak, segera meninggalkan mansion dengan langkah tergesa-gesa. Jack memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan amarah yang membakar dadanya. Namun, pikirannya terus memutar bayangan Pretty Jolie, gadis yang kini entah di mana. *** Di pagi hari, di mansion Albert Jolie, Pretty terbangun dari tidurnya yang tak nyenyak. Sudah menjadi kebiasaannya untuk bangun pukul 03.00 pagi dan menyelesaikan semua pekerjaan rumah sebelum berangkat kerja. Meski tubuhnya masih terasa sakit akibat tabrakan beberapa hari lalu, ia memaksakan diri untuk mengepel lantai, mencuci pakaian, dan menyiapkan sarapan bagi keluarganya. Setelah semua selesai, ia berdiri di ruang makan, menghidangkan sarapan ke meja. Albert, Julia, dan Monica duduk menikmati makanan mereka tanpa sedikit pun memperhatikan keberadaan Pretty. Dengan suara pelan, Pretty mencoba meminta bantuan. "Pa, apakah nanti aku bisa menumpang mobilmu untuk ke tempat kerjaku? Karena tabrakan kemarin, aku masih merasa sakit," pintanya dengan nada penuh harap. Namun, Albert bahkan tidak menatapnya. "Itu urusanmu. Kau bisa memanggil taksi ataupun bus!" jawabnya cuek, sambil menyeruput kopi. Pretty merasa perih mendengar jawaban ayahnya. "Tapi untuk ke terminal cukup jauh. Aku takut tidak sempat, dan taksi juga sangat mahal ongkosnya!" katanya dengan suara yang mulai bergetar. Julia, yang sejak tadi diam, tertawa kecil sambil meletakkan sendoknya. "Pretty, mobil papamu itu hanya boleh digunakan untuk orang yang berlevel. Kau tidak pantas duduk di mobil kami!" ucapnya dengan nada mengejek. Monica menambahkan penghinaan dengan mengambil selembar uang dari dompetnya dan melemparkannya ke lantai. "Ambil uang ini dan panggillah taksi!" Pretty hanya berdiri terpaku, menahan tangis. "Kenapa mereka selalu saja bersikap tidak adil padaku? Apakah aku memang bukan anak mereka?" pikirnya. Dengan langkah pelan, ia berjalan ke dapur, meninggalkan uang yang dilemparkan Monica. Duduk di lantai, ia memegang sepotong roti sambil mengunyah dengan pelan. Setiap gigitan terasa getir, diiringi air mata yang tak bisa dibendung lagi. "Andaikan aku punya tabungan, aku pasti sudah meninggalkan rumah ini. Tapi gajiku selalu habis untuk membayar listrik dan kebutuhan rumah mereka. Kenapa mereka begitu kejam padaku? Apa aku memang bukan anak mereka?" gumam Pretty dalam hati, sambil terus memandangi roti di tangannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN