Keisengan Willy

1414 Kata
Mobil Aldo melaju dengan kecepatan tinggi meninggalkan pekarangan rumah ku. Mata kupejamkan saat melihat sisi lain dari seorang Aldo. Entah kenapa pria itu melajukan mobilnya begitu kencang, padahal itu masih berada di komplek perumahan belum memasuki jalan utama. Hembusan napas kasar aku hempaskan, tak habis pikir dengan sikap Aldo barusan. "Al, kamu baik-baik saja? Apa dia sudah pergi?" tanya Pak Willy dari balik punggungku, yang seketika membuat aku terlonjak kaget. Aku langsung berbalik menghadap ke arahnya. Tampak dia menatapku dengan senyum tanpa dosanya. Aku mendengus kesal, bisa-bisanya masih menebar senyum setelah membuat orang jantungan. "Bapak! Kenapa ngagetin sih? Aku kira tadi siapa?" "Kamu kaget, Al? Padahal saya tidak berniat untuk mengagetkan kamu, saya hanya bertanya. Salah?" dia malah balik bertanya. "Tidak! Sama sekali Bapak tidak pernah salah. Di sini saya yang salah karena terlalu kagetan," jawabku ketus. "Hahaha. Ketus amat Neng, jawabnya. Padahal beneran saya tadi tidak berniat mengagetkan kamu, Al. Saya minta maaf kalau pertanyaan saya tadi mengagetkan kamu. Kamu mau kan memaafkan saya? Kita baikan, ya!" ucapnya sembari mengulurkan jari kelingking ke hadapanku. Aku mengernyitkan dahi, tidak mengerti dengan maksud dari bosku itu. "Apa maksudnya, Pak? Kenapa Bapak menyodorkan kelingking ke saya?" Pak Willy tersenyum kecil, dia menatap lekat wajahku. "Kan sudah saya bilang kita baikan. Kamu lupa kalau mau baikan itu biasanya saling menautkan kelingking, bukan?" Rasanya aku ingin ketawa terpingkal-pingkal, dikiranya kami ini bocah SD apa? Yang kalau habis berantem terus baikan, dan setelahnya harus saling menautkan kelingking. "Tidak salah, Pak? Kita bukan bocah SD. Ngapain melakukan itu?" tanyaku dengan menahan tawa. Pak Willy menggaruk kepalanya, muka dia pun memerah. Mungkin malu karena aku katai bocah SD. Namun, tak berselang dia menjawab juga omongan ku. "Ya, tidak gitu juga, Al. Kan tidak apa-apa kita niru mereka. Meski mereka masih bocah setidaknya mereka kalau berantem tidak akan lama. Berbeda dengan kita yang udah dewasa." "Ah, Bapak ada-ada aja. Udah nggak usah bahas itu lagi," ucapku ingin mengakhiri percakapan. Namun, tiba-tiba Ratu julid lewat atau mungkin sengaja lewat depan rumahku, itu aku tidak tahu. Yang pasti muka julidnya sudah kelihatan. Dia menengok ke sana kemari seperti sedang mencari sesuatu, tapi aku abaikan saja. Karena aku anggap itu tidak penting. Terlebih disana ada Pak Willy, mungkin Ratu julid penasaran ingin tahu tentang dia. Dan mungkin saja dia melihat mobil Pak Willy yang terparkir cantik di halaman rumah. Bu Leha berdiri menatap kami yang tengah berdiri di teras. Dia mendekat seakan ingin mengetahui sesuatu. Tak lama dia pun bertanya dengan raut wajah serius. "Pacar kamu ya, Al? Kenapa beda? Bukannya yang kemarin makan bakso dengan kamu ya, pacarnya?" tanya dia begitu ingin tahu. Pak Willy melirik ke arahku, dia mengernyitkan dahi mungkin aneh dengan pertanyaan ibu-ibu di depannya yang berani langsung bertanya di hadapan orangnya. "Dia bos saya, pemilik restoran tempat saya bekerja. Memangnya kenapa? Ibu mau kenalan sama dia? Sok atuh silakan!" ucapku sembari mengulum senyum melihat reaksi yang di tunjukan Pak Willy. Dia melotot dengan bibir komat-kamit tak jelas. Sungguh sangat lucu sekali melihatnya. "Oh, bos kamu, Al. Saya kira pacar kamu. Oh, iya lupa pacar kamu kan yang bawa motor kemarin, bukan bawa mobil seperti ini." "Eh, Bu maaf saya ikut nimbrung. Mungkin sebentar lagi saya otw jadi pacarnya Alia. Iya, 'kan, Al?" jawab Pak Willy sekenanya. Aku melotot dengan mulut menganga. Tak percaya dengan jawaban random yang Pak Willy berikan. Dikiranya nanti pemikiran Ratu julid, iya. Padahal sama sekali kami tidak punya hubungan. "Pak, kenapa bilang begitu? Dikiranya benar nanti. Dia kan suka julid. Bagaimana kalau dia menebar gosip?" protesku setengah berbisik. Pak Willy malah tersenyum menatap ku. Seolah dia tidak terusik dengan protesan yang kulayangkan. "Santai aja, Al. Kalau pun memang dia mau menyebar gosip, bagi saya tidak masalah. Dan saya akan bertanggungjawab untuk meredam gosip itu," ucapnya santai. "Caranya?" tanyaku penasaran. "Kamu mau tahu aja, atau mau tahu banget?" tanyanya malah ngajak bercanda. Yang seketika membuat aku jengkel. Kukerucutkan saja bibirku sebagai tanda protesan pada dia. Pak Willy terlihat tertawa, dia sepertinya seneng banget menggoda aku. "Caranya dengan aku menikahi kamu, Alia. Bagaimana ide saya, cemerlang 'kan?" tanyanya kembali dengan mengedipkan sebelah matanya. Aku semakin kesal di buatnya. Ternyata Pak Willy memanglah tidak pernah seriusan orangnya. Dia sukanya membercandaiku terus. Dan kubiarkan saja pertanyaan random dia, tanpa minat aku menjawabnya. "Alia, beneran dia itu pacar kamu? Kok, pacarnya beda-beda, sih?" pertanyaan Bu Leha menyadarkan aku bersama Pak Willy, jika Ratu julid itu masih berada di antara kami. "Eh, Bu jangan di anggap. Dia itu atasan saya. Dan soal laki-laki yang kemarin makan bakso dengan saya, dia juga bukan pacar saya. Dia anak teman Bapak yang kebetulan sedang membeli bakso juga." "Halah, tidak usah mengelaknya, Al. Saya tahu kok, kalau dia itu beneran pacar kamu. Dan kalau Mas ganteng ini, saya tidak tahu apa dia pacar kamu atau bukan?" Kuhembuskan napas kasar mendengar perkataan dari Bu Leha. Dia benar-benar selalu mengajak aku ribut dan menguji kesabaranku. "Terserah Ibu saja mau beranggapan apa juga. Yang pasti saya sudah menjelaskan semuanya. Kalau Ibu tidak percaya dengan apa yang saya katakan, ya terserah saja. Saya udah cape menjelaskan, bahkan kerongkongan saya pun udah terasa kering." Bu Leha terlihat mendelik, rupanya dia tak suka dengan jawaban yang aku berikan. Dia kembali berkata memancing-mancing emosi ku. "Alia, saran saya lebih baik kamu itu cepat menikah lagi. Tahu sendiri kan, kalau lama menjanda bisa-bisa jadi bahan ghibahan orang terus. Jadi janda itu tidak enak, lho. Selalu menjadi sorotan," katanya sok menasihati orang. Padahal dia sendiri yang selalu menjadi biang gosip plus Ratu julid. Rupanya dia tak sadar diri. Aku hanya bisa tersenyum kecut menanggapi ocehan Bu Leha. Semua yang Bu Leha katakan memang benar adanya. Aku yang satu tahun ini hidup menjanda memang selalu menjadi bahan omongan orang. "Hmm, ya Bu terima kasih atas nasihatnya. Doakan saja supaya secepatnya saya mendapatkan jodoh lagi," ucapku pada akhirnya. Aku ingin Bu Leha cepat pergi dari tempat ini. Aku sudah bosan dengan segala ocehannya dan juga tuduhan-tuduhannya itu. "Tumben kamu tidak membantah, Alia? Biasanya kamu itu tidak suka kalau saya nasihati," ujarnya seperti ingin kembali mengajak ribut. Namun, aku mencoba untuk menahannya. "Mungkin hati akunya sedang stabil, Bu. Jadi aku tidak ingin membantah. Aku juga tidak ingin ribut terus, cape. Oh, ya. Apa Ibu tidak ada yang ingin di tanyakan lagi? Soalnya saya mau masuk, udah sore juga belum mandi." Aku sengaja ngomong demikian agar Pak Willy juga peka untuk segera pulang. "Hmm, sepertinya udah. Saya juga sudah tidak penasaran lagi. Kalau gitu saya mau pulang. Mari Mas ganteng saya pamit pulang dulu, ya. Besok-besok mampir juga ke rumah saya. Rumahnya dekat kok, tuh di sana hanya terhalang beberapa rumah saja. Saya juga punya anak perawan seumuran lah sama, Alia. Mas gantengnya bisa berkenalan nanti." Pak Willy hanya mengangguk dan tersenyum canggung. Dia biasanya orangnya iseng, sekarang kena batunya di isengin orang agar berkenalan dengan anaknya. Bu Leha benar-benar pergi berlalu dari hadapan kami. Dia tidak lagi protes ataupun bertanya kembali. Wanita bertubuh tambun itu melenggang berjalan semakin menjauh dan tak terlihat lagi karena terhalang gerobak penjual siomay yang sedang lewat. Kembali kuhembuskan napas kasar. Entah kenapa rasanya aku seperti kesal terus bawaannya, setiap mendengar omongan yang keluar dari bibir Bu Leha. "Pak!" "Alia!" Ucap aku bersama Pak Willy kompak sekali. Pipi kami langsung memerah menahan malu dan saling lempar senyum kikuk. "Kamu mau bertanya apa, Al? Kamu duluan saja bicara." Pak Willy kembali menyuruhku untuk bicara. "Lebih baik Bapak saja yang bicara duluan. Karena apa yang akan saya katakan itu tidak penting," ucapku kikuk. "Oh, ya sudah kalau kamu tidak jadi bicara saya tidak bisa memaksa. Saya juga mau pamit pulang. Jangan membuat orang harus menunggu atau menggantung kalimat. Kasihan dia," ucapnya ambigu. Kukernyitkan dahiku, aku tidak paham dengan apa yang di ucapkan Pak Willy. Maksud dia apa bicara seperti itu? Terus omongannya di tujukan pada siapa? Aku benar-benar tak habis pikir pada mahluk yang satu itu. Omongannya selalu membuat aku penasaran akan makna di dalamnya. Aku tersenyum kikuk saat Pak Willy menyentuh tanganku lembut. Sebenarnya Pak Willy itu orangnya baik, tapi tetap aku tidak suka kalau dia mengerjaiku terus. Pada akhirnya Pak Willy pulang juga. Dia pulang sendiri tanpa aku suruh. Yang pasti batinku terasa lega saat Pak Willy juga pulang menyusul Aldo. "Huft—! Maksud omongan dia itu apa, ya? Siapa sebenarnya orang yang di maksudnya itu? Kenapa dia suka sekali ngasih aku teka-teki? Dasar punya bos itu sukanya ngasih kerjaan melulu. Jadinya aku harus mikir terus. Ya, sudah lah biarkan saja. Terserah apa maunya dia. Lebih baik sekarang aku masuk kerumah aja," monologku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN