Catatan No. I : “Hantu Masa Lalu”

1199 Kata
Bab 1 : “Exiastgardsun”  Mari meninggalkan gadis berambut biru tadi—Tak perlu mengacuhkan dunia gelap, penderitaan, kematian, beserta berbagai hal negatif—untuk kemudian beralih pada gemerlap bintang di angkasa. Ibarat butir pasir di padang luas nan gersang, planet tadi sebenarnya hanya satu dari miliaran planet lainnya dalam galaksi bernama Bima Sakti. Tak sampai di sana, sesungguhnya jagat raya memiliki miliaran galaksi lain berisikan ragam planet dalam jumlah nyaris tak terhingga. Hamparan bintang itu berpendar semu dalam hening kehampaan. Di luar sana, ada beragam dunia yang tak terhitung jumlahnya. Semua perjuangan, penderitaan dan kekacauan tadi tak lebih dari tetes air dalam lautan. Tak berarti dibanding seluruh drama dalam semesta sejagat raya. Pun begitu, kehebatan ruang dan waktu tak berhenti sampai di sana. Masih ada tingkatan lain yang lebih gila. Ilmuwan biasa menyebutnya dengan multiverse, atau dunia yang terpecah-pecah. Dinamakan buble theory. Jadi, alam semesta kita itu selalu berkembang tiap kali sebuah kemungkinan baru tercipta dari aliran waktu. Sebagai contoh, ketika kau selamat dari sebuah kecelakaan, ada kemungkinan dunia paralel lain sukses tercipta berisikan fakta bahwa kau meninggal dalam kejadian tersebut. Jadi, dalam konsep multiverse. Ada sebuah dunia berisikan Hitler yang memenangkan perang dunia kedua, atau Nusantara di masa lampau sukses menjajah Eropa. Semua kemungkinan itu ada dan tercipta dalam ragam semesta paralel dengan jumlah tak terhingga. Masing-masing semesta itu terpisah sempurna, memiliki realitas tersendiri, tak memiliki hubungan satu dengan yang lain. Dan ke sanalah kita beranjak, memasuki satu dari kemungkinan dimensi paralel tersebut. Dalam salah satu semesta ini, terdapat sistem tata surya dengan dua bintang kembar bersinar terang. Dua puluh planet berukuran raksasa terlihat mengorbit teratur pada poros masing-masing. Salah satu dari planet itu terlihat mencolok dengan pantulan cerah berwarna biru muda, menandakan permukaannya didominasi oleh air— atau lebih tepatnya lautan. Exiastgardsun—begitulah planet ini dipanggil—jauh berbeda dengan bumi yang dikotori oleh peperangan, pembunuhan, dan kebencian. Dunia ini penuh dengan kedamaian antar sesama. Penghuninya menikmati hidup rukun tanpa khawatir ditimpa kemalangan. Sebuah negeri utopia, dibangun oleh darah dan air mata setelah sukses membebaskan diri dari raja iblis yang menguasai dunia. Air menutupi sebagian besar lanskap. Hanya ada dua benua di planet itu, sisanya hanyalah lautan luas tanpa batas. Pada satu dari dua daratan itu terdapat sebuah negeri. Dinamakan dengan Kekaisaran Exiastgardsun. Itu karena seisi dunia tunduk dalam satu pemerintahan. Pusat pemerintahan negeri itu jauh dari pusat perdagangan dan hiruk pikuk perekonomian. Kota Villian. Sebuah pemukiman berukiran sedang menghadap lautan. Pasir putih memanjang sejauh lima kilometer hingga mencapai tepi pelabuhan. Dikelilingi oleh pegunungan, semua bangunan di sana dibuat menghadap satu arah, menuju Kastel di pinggir pantai. Orang-orang menyebut bangunan itu sebagai Kastel Pencerahan. Jauh dari kesan kastel kumuh di abad pertengahan, susunan batu marmer di permukaannya terlihat bersih mengilat. Area seluas 5 hektar itu diisi oleh pepohonan rindang dan taman berisi bunga. Kastel megah itu merupakan tempat raja keturunan Lionearth menghabiskan hari-harinya. Perjuangannya dalam memimpin perang melawan raja iblis membuatnya dianugerahi gelar raja dan berhak untuk menjadi penguasa seisi dunia. Pada balkon yang menjulang tinggi. Terlihat sang raja muda berpakaian piama sedang berdiri menikmati pemandangan. Sorot matanya mengedar pada ratusan bangunan beserta formasi gunung di kejauhan. Rambutnya panjang terurai, menutupi mata kanan berwarna merah kecokelatan. Alisnya tipis membentuk sudut di kedua ujung, memiliki hidung agak mancung dengan kulit putih agak kecokelatan. Termenung sendirian, jemarinya erat menggenggam secarik foto lusuh. Wajahnya mengukir ekspresi sedih. Batinnya dilanda rindu. Pria itu tersadar akan sesuatu. Iris matanya bergerak perlahan, mendapati seorang perempuan berdiri tepat di sampingnya. Perempuan itu berwajah teduh, mengenakan kaos putih dan rok menjuntai  menutupi sepatu. Ayunan kaki bergerak anggun mengambil langkah kecil seraya memperpendek jarak. Matanya memperhatikan secarik foto lusuh di tangan sang raja, lalu berucap mengawali percakapan, “Nida, lagi-lagi kau memikirkan dia..” “Bukan urusanmu.” Pemuda yang dipanggil Nida melepaskan sandarannya, memasukkan foto kecil tadi ke saku baju. Di dalamnya terlihat potret gadis cantik berambut biru panjang, matanya terlihat seperti ukiran kristal batu safir. Perempuan itu terhenyak, “Sampai kapan mau berduka seperti ini? Ini sudah tahun ketiga, kau tidak bisa terus menerus lari dari kenyataan.” “Ibu!” bentak sang pemuda. Ucapan perempuan itu terhenti, terkejut akan lawan bicaranya yang meledak penuh emosi. Nida menatapnya penuh emosi, sekilas tadi jelas menunjukkan dengki. “Tak usah bersimpati padaku. Biarkan aku mengenang Fia selama yang kumau,” ucapnya agak bergetar. Pemuda itu melangkah pergi. Napas sang ibu mengembus sejenak. Ia merasa iba, terlebih setelah memergoki air mata memercik di pipi sang anak. Adalah hal rutin bagi Nida untuk mengawali hari seraya menatap sosok kekasih hati di dalam foto. Para Maid menyingkir seraya menundukkan badan. Seraya menyusuri lorong, langkah Nida mencipta suara derap. Bahunya tegap, sorot matanya tajam, membuat segan siapa pun yang berhadapan dengannya. Akan tetapi, batinnya pergi melanglang buana. Terik mentari pagi membias indah menyinari. Kereta kuda hilir mudik memadati. Jalanan begitu padat berisi dipenuhi pejalan kaki. Para penjaga menggunakan pedang dan perisai untuk mengamankan situasi. Segala sesuatu terlihat seperti di abad pertengahan. Orang-orang bahkan hanya mengandalkan secarik kertas untuk mencatat hasil penjualan. Tak ada komputer, hp, ataupun gadget canggih lainnya bertindak sebagai alat perhitungan. Segalanya terlihat begitu sederhana. Suasana terasa tenteram nan damai. Mendadak dinding di lorong itu jebol dari samping. Seseorang terpental keluar, lalu terduduk lemas bak seonggok boneka. Dari tembok yang bolong, muncul seorang perempuan melangkahkan kaki melewati serpihan bata di dinding. Caranya berjalan terlihat seperti seorang preman pasar, “Yuki b**o! Katanya aman, sampai mental gitu?” Nida datang menyela, “Halo, Celine. Pagi yang meriah ya.”  Pria itu menyeka air mata sebentar, lalu memandangi keduanya dengan wajah ramah. “Latihan sihir di pagi hari?” “Nida,” ucap pemuda bernama Yuki. Para maid berusaha memberikan pertolongan pertama, akan tetapi wajahnya masih saja terlihat datar. Tak ada sedikit pun ekspresi yang terukir di sana. Celine terlihat gugup. Jemarinya tiada henti memutar-mutar ujung rambut sebahu, “Uuuh… Maaf ya.” Lengan satunya lagi lantas mengarahkan ujung tongkat berhiaskan Kristal kepada Yuki. Mulut Celine merapal sejenak, lalu mengucap mantra akhir, “Cura!” Luka goresan di pipi Yuki menutup dengan sendirinya, “Dengan progres seperti ini, harusnya Anda sudah bisa mencipta Explosion dalam dua atau tiga hari lagi.” “Hey Yuki,” Nida menyela, “Aku paham Celine adalah spesialis sihir putih, healer yang hebat. Tapi kau yakin untuk mengajarinya sihir bersifat menyerang?” Dalam budaya Exiastgardsun, adalah hal tabu untuk menguasai dua atau lebih cabang sihir. Itu karena seseorang dianggap memiliki affinity khusus sejak lahir yang tidak boleh diutak-atik sama sekali. “Tidak apa-apa Kak Nida, aku yang meminta.” Celine membela Yuki. “Dia bilang, dia tak ingin lagi menjadi beban sebagai orang lemah yang harus dilindungi,” Yuki menambahkan. “Juga agar aku bisa melindungi orang yang kusayangi,” suara Celine kian melemah, hingga menggumam nyaris tak terdengar, “Aku tak ingin lagi menyaksikan seseorang meninggal di hadapanku.” Tiga tahun lalu, dalam perang terakhir, baik Nida maupun Celine sama-sama telah kehilangan sang kekasih hati. Nida mengerti itu. Ia tak lagi berkomentar banyak tentang proses pembelajaran Yuki. Celine lantas menepuk-nepuk rok mini hitam demi membersihkan diri dari kotoran dan debu. Seragam sekolahnya terlihat kusut. “Hari ini aku ada ujian semester. Aku pergi dulu ya, terima kasih kak Yuki.” “Pagi yang tenang ya..” ujar Nida. Yuki bangkit tanpa sedikit pun merespons. Rona kulit di wajahnya minim sekali. Dia terlihat seperti sedang terkena anemia. Rambut jabrik yang berdiri lurus itu terlihat meruncing di bagian penghujungnya. Entah kenapa selalu mengingatkan Nida pada bentuk seekor ayam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN