13. Mutan 1,2 dan Janji Logan

2468 Kata
Juli 2046 Markas Bawah Tanah Titanium di Antartic Leo berdiri di tengah ruang komunikasi dengan topeng terpasang menutupi wajahnya ditemani beberapa staf kepercayaannya. Fury salah satunya. Hacker yang ditemukannya ketika pria itu berusaha membobol sistem SOUL hanya karena ia penasaran. Bukannya menghukum pria itu, Leo malah menawarkan pekerjaan kepada Fury sebagai salah satu programernya. “Orang yang berusaha meretas sesuatu bukan karena uang tapi hanya karena penasaran, perlu di apresiasi,” ucap Leo waktu itu ketika Logan keberatan dirinya mengajak Fury bergabung. Untung saja insting Leo akan Fury terbayar. Pria bertubuh kurus kecil itu terbukti menjadi salah satu staf andalan Leo dan juga orang kepercayaannya. Karenanya tepat pukul 9:45 Fury menjadi salah satu orang yang ada di dalam ruangan komunikasi bersama Leo. “Bagaimana Tuan Presiden?” tanya Leo ke arah layar yang terpampang di hadapannya. “Apakah kau sudah memikirkan tawaranku?” Ronald Baldwin tertawa kecil mendengar ucapan Leo. “Maafkan aku sudah mengecewakanmu, Tuan Titanium. Tapi seperti yang kau tahu, Amerika tidak pernah bernegosiasi dengan teroris. Tuntutan pertama aku mungkin bisa mengabulkannya, bahkan menambah jumlahnya. Sebutkan saja berapa jumlah digital currency yang kau inginkan dan aku akan membuatnya muncul di rekeningmu. Tapi pengunduran diriku, dan pengakuan atas sesuatu yang tidak pernah kami lakukan….” Ronald menggelengkan kepala botaknya. Senyuman yang dari tadi ada di wajahnya masih tersemat di bibirnya, membuat Logan semakin jengah. “….tentu saja tidak bisa kami lakukan.” “Sayang sekali kalau begitu, Tuan Presiden.” Logan tersenyum miring di balik topeng nya sambil menganggukkan kepalanya ke arah Fury, yang langsung mengetik kan beberapa perintah di tombol keyboard yang ada di depannya. Layar lebar yang tadinya menayangkan wajah botak Ronald mendadak berubah, menjadi tayangan cctv sebuah perempatan di tengah kota yang sibuk. “Ini adalah kota Metro. Kau lihat betapa banyaknya orang yang berlalu lalang. Betapa banyaknya nyawa yang akan hilang karena kau menolak tawaranku?” Leo meraih ponsel dari sakunya. Ia membuka ponsel bak sedang membuka lipatan kertas hingga benda kecil itu menjadi selebar tablet. “Dibawah persimpangan jalan yang sedang kau lihat, ada sebuah gorong-gorong. Didalamnya, aku sudah menyiapkan salah satu kawan lamamu, Tuan presiden.” Leo kemudian menggeserkan jarinya ke permukaan tablet, mengirimkan perintah kepada sebuah kandang berbalut kekuatan plasma yang ada di dalam gorong-gorong agar terbuka. Beberapa menit tidak ada yang berubah dengan tayangan di layar. Orang masih tetap berlalu lalang di trotoar seperti biasanya. Mobil juga masih berjalan dan berhenti di lampu merah perempatan. Hingga mendadak, lingkaran besi yang menutupi lubang gorong-gorong di tengah jalan, terlempar keatas seakan didorong oleh sebuah kekuatan luar biasa dari dalamnya. Sebuah mahkluk berkulit gelembung merangkak naik diiringi raungan yang membuat Leo kembali teringat akan kejadian malam itu. Ia mengusap tengkuknya sambil melanjutkan. “Jika kau lupa, Presiden Ronald. Kenalkan mahkluk yang pemerintah ciptakan 18 tahun yang lalu. Mahkluk yang menyebabkan kematian hampir separo penghuni San Jose pada bulan Maret 2028 silam. Kalau tidak salah kalian menyebutnya Mutan No 1. Tapi aku memberinya nama lain. Nama yang lebih…uhm… menarik…. Aku menyebutnya Manusia Bergelembung,” ucap Leo. Teriakan mulai terdengar dari cctv yang di tayangkan di layar, berasal dari orang-orang penduduk Metro yang mulai panik melihat munculnya monster di tengah-tengah keramaian. Mahkluk dengan kulit bergelembung itu terlihat kebingungan dan mulai melepaskan gas paralisisnya kemana-mana, membuat orang di sekelilingnya tergeletak jatuh satu- per satu. Kuatnya gas paralisis yang dikeluarkan makhluk itu bahkan mengakibatkan orang yang berada di dalam mobil kehilangan kontrol akan tubuhnya. Mobil-mobil mengerem mendadak dan menabrak satu sama lain menambah kekacauan di perempatan jalan dari mobil yang bertubrukan satu sama lain. Makhluk yang kebingungan dan marah itu mulai berlari sepanjang jalan yang ramai, mengeluarkan lebih banyak gas dari gelembung tubuhnya yang pecah. Leo menggeser kan jarinya sekali lagi ke atas tablet, mambuka kurungan kedua yang berada di sebelah mutan pertama. Sebuah mahkluk menyerupai manusia merangkak keluar dari dalam gorong-gorong. Tubuhnya yang berwarna abu-abu tidak tertutup sehelai pakaianpun, menampakkan kulitnya yang licin dan berotot. Memiliki dahi yang lebar dan kepala yang menonjol, mahkluk itu menggerakkan kepalanya kesegala arah. Mengamati tubuh-tubuh yang tergeletak diatas aspal. Mutan itu menghampiri manusia pertama yang ada di dekatnya, mengendusnya pelan. Gerakannya menyerupai binatang liar, mungkin anjing atau serigala.  Kedua telapak tangannya yang berkuku tajam menggelantung tertekuk di pergelangan tangannya. Beberapa detik mahkluk itu hanya menciumi korbannya, sebelum mendadak, dalam sepersekian detik, ia membuka rahangnya yang terbelah hingga ke telinga dan menerkam kepala mangsanya dengan giginya yang runcing dan tajam. Menggigitnya hingga hanya tersisa separuh. Tidak ada bedanya dengan ketika seseorang sedang menggigit sebutir apel utuh. CRUNCH! Suara tulang tengkorak yang remuk terdengar jelas di dalam rekaman cctv yang ada di layar. Membuat mual bahkan Leo yang sudah mengira apa yang akan terjadi. Tidak berhenti di situ, mahkluk itu berpindah ke korban berikutnya. Melakukan hal yang sama, mengendus mereka. Sebelum kemudian menggigit bagian kepala korbannya yang sudah tidak bisa bergerak. “Ugh!” seru Leo. “Kuharap kau memiliki perut yang lebih kuat dariku Pak Presiden. Karena jujur saja, aku sedikit mual melihatnya. Kau masih ingat bukan teman kedua mu. Aku menyebutnya Werewolf, karena… yah kau bisa tebak kenapa,” sambung Leo tersenyum di balik topeng putihnya. Leo memencet sesuatu di tabletnya, mengembalikan wajah Ronald yang pucat pasi di layar. “Jika kau ingat, aku masih memiliki 5 mutan lagi, Tuan Presiden. Dan sasaran berikutnya akan lebih besar daripada Metro. Pikirkan tawaranku hingga besok. Kau memiliki 24 jam untuk berubah pikiran,” sambung Leo sambil mematikan sambungan telepon. Ia menarik nafas dalam-dalam sebelum kemudian mendudukkan tubuhnya keatas kursi tidak jauh darinya. “Tahap kedua selesai. Semua berjalan sesuai dengan rencana… kecuali wanita itu. Sialan!” gumamnya sendiri. *** Oktober 2028 San Francisco, California Sebulan berlalu sejak hari pertama mereka pindah ke San Francisco, namun keadaan tetap tidak membaik bagi kedua Dalton bersaudara, terutama Leo. Disekolah, Leo masih menerima ejekan dari sepupunya, Nick. Sementara di rumah, keadaan dengan paman dan bibi mereka terasa semakin menyudutkan keduanya. Setiap makan malan, keduanya menerima omelan dari Randal dan Nancy tentang berbagai hal. Tentang Logan yang sering pulang dalam keadaan babak belur dan baju kotor. Atau Leo yang sering lupa atau tidak rapi ketika melakukan tugas yang diberikan oleh Nancy. Berbeda dengan sepupunya yang bebas bermain sepanjang hari, Leo dan Logan memiliki segudang kewajiban yang harus di kerjakannya. Nancy memastikan bahwa mereka mendapatkan banyak tugas, sebagai gantinya tinggal secara gratis, alasan wanita itu. Menyapu, membersihkan kebun depan dan belakang, mengelap jendela, mencuci piring, pokoknya, apapun yang perlu di kerjakan, mereka akan memerintahkan Leo dan Logan untuk melakukannya sementara kedua anaknya sendiri hanya bermain game sepanjang hari. Selama sebulan berada di rumah paman dan bibinya, Logan yang memang lebih pandai membaca suasana mulai bisa beradaptasi dengan kebiasaan keluarga barunya. Pamannya, Randall,adalah seorang kontraktor serabutan. Ketika sedang ada kerjaan, pria itu akan berangkat kerja pagi-pagi sekali sebelum semuanya bangun, dan baru pulang kalau tidak sekitar jam makan malam. Namun ketika menganggur, maka bisa dipastikan suasana rumah yang sudah buruk, akan menjadi semakin buruk. Randall akan berkeliaran di rumah seharian. Memaki dan memarahi apapun yang melintas di depannya. Malamnya ia akan pergi, entah kemana, dan baru pulang tengah malam dalam keadaan mabuk.  Ketika hal itu terjadi, tidak ada satupun orang yang bebas dari amukannya yang kerap kali berubah menjadi kekerasan. Logan, selalu melarang Leo untuk keluar dari basement ketika pamannya sedang dalam keadaan mabuk. Tapi selama mereka bisa menghindar, Randall bukanlah masalah besar bagi Logan dan adiknya. Lain halnya dengan Nancy. Seorang ibu rumah tangga, ia menghabiskan banyak waktu di rumah mengerjakan entah apa di kamarnya. Ada seorang pelayan yang datang sekitar seminggu dua kali untuk membereskan rumah selama beberapa jam. Tapi selain itu, hampir semua pekerjaan rumah kini diserahkan pada Dalton bersaudara, Logan terutama. Hal tidak terlalu buruk di rumah senin hingga jumat. Tapi ketika akhir pekan, dimana semua orang ada di rumah. Itulah saat-saat yang ditakutkan oleh Logan. Sabtu pagi ini, Logan sedang berada di halaman belakang rumahnya, menyapu dedaunan yang rontok ke halaman. Udara musim gugur bulan Oktober yang dingin, berhembus mengelus pipinya yang bengkak karena bekelahi di sekolah dengan beberapa bully dari kelasnya sendiri. “Aku merindukan Mom dan Dad,” celetuk Leo yang bekerja tak jauh darinya tiba-tiba. Anak itu sedang memasukkan daun yang dikumpulkan oleh Logan ke dalam kantung plastik hitam yang di bawanya. Logan tidak menjawab. “Kau dengar aku, Lo? Aku rindu Mom dan Dad!” seru Leo sekali lagi lebih keras. “Aku mendengarmu Leo! Mereka sudah tiada. Tidak ada gunanya kau merindukan mereka,” sahut Logan sekenanya. Terlalu lelah untuk menanggapi rengekan adiknya setelah tidak bisa tidur semalam karena wajahnya yang berdenyut ngilu. Leo terdiam mendengar jawaban Logan. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya. Tapi tak lama kemudian terdengar bocah itu menggumam. “Jika saja kau tidak menginap di rumah Charlie. Mungkin mereka akan membatalkan rencana makan malam mereka.” Celetukan adiknya, membuat Logan menghentikan pekerjaannya. Ia langsung melepaskan sapu yang dipegangnya dan mendorong tubuh Leo hingga bocah itu terjatuh ke belakang. “Jadi maksudmu, ini semua salahku? Hah?” Logan menduduki tubuh Leo dan mencengkeram kerah kaos adiknya itu. Wajah Leo pasti sudah merah padam saat itu jika saja bekas luka yang menebal di kulitnya tidak menutupi pembuluh darahnya yang mulai naik. “Tentu saja ini salahmu. Gara-gara kau, Mom dan Dad meninggal. Dan aku harus hidup dengan wajah cacat seperti ini,” teriak Leo sambil merontah berusaha menendang tubuh kakaknya yang lebih besar. Logan mengangkat tangannya keatas, terkepal, hendak menghujamkannya ke wajah Leo. Ia menggertakkan rahangnya erat dengan bibir terkunci rapat, sebelum kemudian sadar akan apa yang hendak dilakukannya. Perlahan Logan menurunkan kepalan tangannya dan turun dari tubuh adiknya yang langsung mendorong tubuh kakaknya dan melompat berdiri. “Aku membencimu, Logan! Kau saja yang seharusnya mati! Bukan Mom dan Dad!” jerit Leo sambil berlari masuk ke dalam rumah. Logan terdiam sejenak berdiri di kebun belakang. Tatapannya mengikuti tubuh adiknya yang menghilang ke balik pintu belakang. Tidak berniat mengejar, Logan meraih kembali gagang sapu yang terjatuh diatas tanah dan mencengkeramnya erat hingga tangannya terasa membeku. Dalam hatinya, ia setuju dengan Leo. Jika saja ia tidak pergi malam itu, mungkin kedua orang tuanya masih hidup, dan mereka tidak akan berada di situasi ini. Mungkin sekarang mereka sedang ada di rumah lama mereka di San Jose, bermain salah satu boardgame favorite mereka bersama Mom dan Dad. Mungkin monopoly, atau jengga. Sambil meminum coklat panas dan tertawa di sekitar pemanas ruangan yang hangat, dan bukannya berdiri di udara beku bulan Oktober sambil memegang sapu seperti sekarang. Logan kembali menyapukan sapu lidinya, sambil dalam hati bersumpah, ia sudah menghancurkan masa depan adiknya, dan kini ia tidak akan membiarkan apapun terjadi pada Leo. Sementara itu, Leo yang baru saja bertengkar dengan kakaknya, mungkin karena terlalu terguncang, tidak memperhatikan langkahnya. Ia berlari masuk dan tanpa sengaja menubruk Randall yang berjalan keluar dari dapur. Cangkir kopi yang dipegangnya langsung terlepas dari genggaman. Isinya yang panas mengguyur d**a Randall yang hanya mengenakan kaos putih dan celana pendek. “ARG! APA-APAAN INI?” jerit pria itu dengan mata melotot memandangi kaosnya yang basah. Leo bisa melihat kulit kaki Randall yang memerah terkena siraman kopi panas yang tumpah karenanya. “Maaf, Uncle. Aku tidak senga—” PLAK! Sebuah tamparan keras menyambar pipi Leo, langsung menjungkirkan tubuh kecil bocah itu menabrak sisi tangga. Telinganya bahkan berdengung akibat kerasnya pukulan pria itu. “APA KAMU BERJALAN TANPA MEMAKAI MATA HAH?!? ANAK BODOH!! MENYUSAHKAN SAJA! SUDAH MENAMBAH-NAMBAHI BEBAN MULUT YANG HARUS DIBERI MAKAN, SEKARANG BERLARIAN SEENAKNYA! APA KAU ANGGAP INI TAMAN BERMAIN?!?!??” Randall berjalan menuju perapian di ruang tengah dan meraih sebuah batang besi yang tersandar di sebelahnya. Dengan mata yang sudah tertutup oleh emosi, pria itu mengayunkan batang besi di tangannya ke arah Leo. BUAG! Sebuah sabetan mengenai bahu anak itu,langsung menyebabkan Leo menjerit kesakitan. Logan yang mendengar kegaduhan dari kebum belakang langsung berlari masuk. “Hentikan, Uncle!” jerit Logan meraih lengan Randall yang terangkat hendak menyambar tubuh Leo kedua kalinya. “SATU LAGI ANAK BANG*SAT TAK TAHU DIRI!” bentak Randall. Pria yang bertubuh dua kali lipat Logan itu mengayunkan kakinya, menendang perut bocah malang, dan langsung mengirimkannya terguling-guling di sebelah tubuh Leo. Randall mengambil kesempatan itu untuk melampiaskan kemarahannya kepada kedua Dalton bersaudara. Tumpahan kopi mungkin menjadi pemicunya, tapi bukan satu-satunya yang membuat Randall menyulut emosi pria itu hingga tidak terkendali. Ia dituduh menggelapkan uang perusahaannya. Walau Randall masih belum mengakuinya, tapi bukti yang diberikan oleh perusahaan tidak bisa di bantah olehnya. Kini pihak perusahaan menuntut pria itu untuk mengembalikan uang yang digelapkannya atau kasusnya akan dilimpahkan ke kepolisian. Keputus asaan yang kini dilimpahkan kepada kedua anak yang tidak bersalah. Logan memeluk Leo erat, berusaha melindungi adiknya dari sabetan-sabetan gagang besi yang di layangkan pamannya. Sekuat tenaga, Logan menahan mulutnya agar tidak menjerit kesakitan. Sementara pukulan demi pukulan terus mengenai punggungnya yang meringkuk diatas tubuh Leo. “Randal! Hentikan! Kau akan membunuh kedua anak ini, dan masalah akan semakin rumit bagi kita!” Teriakan Nancy mendadak terdengar. Wanita itu menarik lengan Randal agar berhenti mengayunkan batangan besi di tangannya. “Kalian berdua turun ke bawah dan jangan keluar!” perintah Nancy kepada Logan dan Leo, mungkin berupaya menyingkirkan keduanya dari jangkauan suaminya. Logan, sambil meringis menahan sakit di sekujur tubuhnya, menarik lengan Leo dan menyeret adiknya ke kamar mereka di basement. “Kau tidak apa, Leo?” tanya Logan begitu mereka sudah duduk diatas kasur. Suara-suara teriakan Nancy dan Randall masih terdengar di lantai atas. Membuat jantung keduanya tidak bisa beristirahat dari rasa cemasnya. Logan mengamati lengan Leo yang memerah. Tapi selain itu, sepertinya adiknya baik-baik saja. “Lo… Punggungmu berdarah…,” bisik Leo sambil menunjuk ke arah kakaknya. Logan berusaha menoleh kebelakang, tapi setiap gerakannya membuat punggungnya terasa kesakitan. Leo segera menjulurkan tangannya dan mengangkat kaos yang dikenakan kakaknya keatas. Guratan-guratan akibat pukulan batang besi tercetak jelas di punggung Logan. Balur-balur berwarna merah yang sobek dan berdarah memenuhi permukaan kulit Logan mulai dari pundak hingga ke pinggulnya. Leo segera berdiri dan mengambil handuk miliknya. Memakai air keran yang ada di ujung ruang basement, Leo membasahi kain di tangannya dan membawanya kembali ke Logan. “Aku akan membersihkan darahnya, Lo. Usahakan jangan bergerak,” ucap Leo. Logan mengangguk dan menarik nafas dalam-dalam ketika Leo mulai mengelapkan ujung handuk ke punggungnya. “Sakit?” tanya Leo ketika melihat wajah kakaknya yang meringis. “Uhm… sedikit.” Leo menempelkan kain basah itu ke atas luka Logan pelan, lebih berhati-hati agar tidak menyebabkan kakaknya merasa kesakitan. “Maafkan aku atas apa yang kukatakan, Lo. Aku hanya….” “Aku tahu, Leo,” potong Logan. “Aku juga merindukan mereka…. Tapi… tidak ada yang bisa kita lakukan untuk mengembalikan masa lalu, Leo. Yang perlu kau ketahui, sekarang adalah aku menyayangimu, dan aku tidak akan membiarkan apapun melukaimu. Aku berjanji.” ===== Note: Siapa fav kalian sejauh ini? Logan atau Leo? Otor sih suka Presidennya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN