9. Gadis Chimera

1954 Kata
Juli 2046 San Jose, California Logan mengangkat tubuh kurus yang terbaring diatas kasur usang bekas miliknya dan membawanya turun. Dengan langkah tergesa-gesa ia berlari membawa wanita itu keluar dari rumah diikuti oleh ke empat rekannya. Leo yang masih menunggu di depan melongokkan kepalanya ke arah kakaknya dengan wajah kebingungan. “Apakah kau membunuhnya?” tanya Leo ketika melihat wanita yang tidak sadar di dalam dekapan Logan. “Tidak, ia sudah dalam keadaan pingsan ketika kami menemukannya,” jawab Logan dengan suara biasa. Leo mengerutkan keningnya kebingungan. Tapi Logan tidak menghentikan langkahnya dan terus berlari dengan kecepatan penuh ke arah sungai, dimana pesawat mereka menunggu. Ke lima pria yang lain termasuk Leo harus berlari pontang panting mengejar Logan. Jika ada yang mengamati saat itu, sudah pasti mereka akan kebingungan melihat 6 pria yang terlihat sedang balap lari sambil menggendong seorang wanita yang tampak tidak sadarkan diri. Untung saja suasana kota sedang sepi siang itu sehingga mereka tidak berpapasan dengan siapapun dalam perjalanan kembali ke pesawat yang terparkir di sisi sungai. Leo menekan sebuah tombol di jam yang dipakainya begitu mereka berada di lokasi pesawat terparkir. Seketika memunculkan penampakan pesawat yang tadinya tidak terlihat. Ia menekan tombol lain dan pintu pesawat pun langsung terbuka. “Leo, perintahkan S.O.U.L untuk pulang. Sekarang!” perintah Logan begitu semuanya sudah berada di dalam pesawat. “Apa yang terjadi? Siapa wanita—” Leo balik bertanya. “Akan kujelaskan begitu kita keluar dari sini. Lekas!” potong Logan tidak memberi Leo kesempatan untuk bertanya lebih jauh. “Arg!” Leo berjalan ke arah komputer yang menjadi kendali pesawat dan mengetikkan koordinasi markas mereka dan menekan enter. “S.O.U.L, mode kamuflase!” perintah Leo ketika pesawat mulai berdengung halus dan terangkat dari permukaan tanah. “Siap Leo. Mode kamuflase,” ulang S.O.U.L. Logan menidurkan Mara diatas sofa panjang yang ada di dekat bar. Ia meraih Q-RA dari balik telinganya dan melepaskannya. Pria itu tidak ingin ada seorangpun mendengar apa yang sedang berpacu dalam benaknya. “Siapa Mara, Lo?” tanya Grant kearah Logan. “Kami semua mendengarmu.” “Apa?! Mara?” tanya Leo terkejut. “Mara Stevensson?” Logan menoleh kearah Grant dan Leo yang berdiri di belakangnya, sementara ketiga pria lain terlihat berdiri tak jauh darinya dengan wajah yang sama penasarannya dengan Grant. Logan tidak menjawab. Ia menoleh kembali ke arah gadis itu. Bagaimana mungkin Mara yang menghilang bertahun-tahun itu mendadak muncul di dalam rumah miliknya? Jika yang diucapkan oleh Leo benar, maka semua ini bukanlah kebetulan. Ia ada di sana karena suatu alasan. Tapi apa? Leo membungkuk di sebelah Logan mengamati wajah wanita yang masih tidak sadar itu. “Apakah dia mutan yang kita cari?” tanya Leo. “Entahlah. Tapi tidak ada siapapun di dalam rumah selain dirinya. Kami sudah memeriksa,” sahut Logan. “Hm… aku akan meminta Ben memeriksanya setibanya kita di markas. Untuk sementara ini, tidak perlukah kita memborgolnya dengan borgol plasma? Kita tidak tahu apa yang akan terjadi jika ia mendadak terbangun dan sadar.” “Tidak!” bentak Logan. “Kita tidak akan mengikat Mara.” “Tapi jika ia adalam mutan—” “Leo! Kita tidak akan mengikat Mara,” ulang Logan dengan suara menggeram, memotong protes dari adiknya. Leo mendengus dan berjalan kearah salah satu kursi yang tadi di dudukinya dan menghempaskan tubuhnya keatasnya. Ia melepaskan kerudung, masker dan kacamata yang dipakainya dan memasang kembali topeng titanium yang diletakkannya diatas meja. Perjalanan pulang ditempuh dengan diam. Tidak banyak perbincangan dari keenam pria. Logan duduk di sebelah Mara mengamati wajah wanita itu. Beberapa kali ia mendekatkan tangannya ke leher Mara memeriksa denyut nadi wanita itu, memastikan ia masih dalam keadaan stabil. Leo sementara itu duduk terdiam di kursinya dengan wajah tertutup topeng. Kemunculan Mara mengangkat sesuatu dari masa lalu yang berusaha dilupakannya. Hari-hari masa kecilnya yang selama ini berusaha ia lupakan. *** Juni 2028 San Jose, California, USA Hal pertama yang ditatap Leo begitu membuka matanya adalah plafon ruangan yang terang oleh lampu neon. Disusul dengan wajah Logan yang muncul ke dalam ruang lingkup pandangannya yang terbaring terlentang. Leo mencoba membuka mulutnya, tapi sesuatu menahan mulutnya untuk bisa bergerak. Mulai panik, Leo berusaha menggerakkan tangannya meraih ke wajah Logan yang masih ada di hadapannya. “Leo…tenanglah… Jangan banyak bergerak. Tubuhmu masih penuh dengan perban. Biar aku panggilkan perawat dulu ya.” Suara Logan terdengar panik, dan ketika wajahnya menghilang, kini Leo ikut panik. Ia mencoba untuk menjerit memanggil nama Logan, tapi tidak satupun otot wajahnya yang mampu untuk digerakkannya. Logan!, jeritnya dalam hati. Logan! Apa yang terjadi? Mengapa aku tidak bisa menggerakkan tubuhku? Suara derap kaki terdengar mendekat, membuat Leo sekuat tenaga berusaha untuk menggerakkan kepalanya menoleh. Wajah seorang wanita berbaju putih muncul di dalam pandangannya. “Hai Leo. Jangan khawatir, dokter memberimu obat penenang. Mungkin efeknya masih terasa beberapa jam kedepan sebelum kau bisa mulai mengontrol otot mu. Aku sudah memanggil dokter Stevensson dan ia akan segera kesini, okay?” Leo mengedipkan matanya, satu-satunya bagian dari tubuhnya yang bisa digerakkannya. Wajah wanita itu menghilang lagi dari pandangan Leo, digantikan oleh wajah kakaknya. “Aku ada di sini Leo. Semua akan baik-baik saja. Aku tidak akan kemana-mana,” ucap Logan berulang-ulang. Kembalinya kesadaran Leo menandakan mulainya perjalanan panjang menuju pemulihannya. Walaupun sudah dinyatakan bebas dari masa kritisnya, tapi bukan berarti Leo sudah boleh kembali ke rumah. Bekas luka bakar di wajahnya menghancurkan bukan hanya bentuk tapi juga otot yang ada di bawahnya. Yang artinya, berbagai macam terapi dan operasi harus di jalani Leo untuk bisa mengembalikan kemampuan otot wajahnya. Dokter Stevenson berulang kali mengomentari keberuntungan bocah itu sebagai satu-satunya korban yang selamat dari pembakaran. Sebuah mujizat yang tidak terasa bagaikan mujizat bagi Leo. Apalagi ketika akhirnya perbannya dilepaskan dan bocah itu melihat wajahnya sendiri. Tidak ada yang bisa menjabarkan bagaimana perasaannya kala itu. Bahkan Logan yang setiap hari berada di sisi adiknya tidak mampu menatap wajah Leo lebih dari beberapa detik tanpa membuang muka. “Semua akan baik-baik saja, Leo. Dokter akan mengusahakan yang terbaik,” ulang Logan berkali-kali sementara Leo menatap cermin yang di pegang oleh perawat. Wajah aneh yang terlihat seperti lilin meleleh menatap balik ke arahnya. Penuh dengan guratan dan bekas luka berwarna merah diseluruh permukaan wajahnya yang bengkak, bocah itu bahkan kesulitan untuk berkedip. Tapi kini setidaknya dengan dilepasnya perban yang mengikat wajahnya, Leo bisa leluasa menggerakkan mulutnya. “Aku seperti seorang monster, Lo. Seorang monster. Tidak ada bedanya dengan pria itu. Pria berkulit menggelembung yang membunuh Daddy dan Mommy,” bisik Leo dengan suara parau seolah menahan tangis. Logan hanya terdiam mendengar rengekan Leo. Sebagai seorang anak yang baru berusia 9 tahun, ia sendiri juga tidak mempu memproses semuanya. Yang bisa dilakukannya saat itu hanyalah berada di sisi adiknya dan memastikan bahwa Leo tahu bahwa ia tidak sendirian. Pihak kepolisian tidak mengungkapkan apa-apa tentang kejadian itu. Mereka hanya menyebut peristiwa itu sebagai ulah kelompok teroris yang ingin memecah belah negara demi paham radikal mereka. Media masa menyebut peristiwa yang memakan korban jiwa hingga ratusan penduduk San Jose itu dengan sebutan “Maret Berdarah”. Isakan tangis Leo kembali mengalihkan perhatian Logan pada adiknya. Air mata mulai menggenang di kelopak mata Leo yang berkerut. Seorang perawat yang mendadak berjalan masuk ke kamar perawatan, membuat Leo buru-buru mengusap air mata dari wajahnya dan menunduk. Tanpa sadar bocah itu mengangkat tangannya meraba kepalanya yang botak, dan baru sadar bahwa tempat dimana seharusnya ditutupi rambut, kini digantikan oleh kerutan dan kulit yang mengelupas. “A…apa yang terjadi pada rambutku?” tanya Leo. “Jangan takut, Dear,” jawab sang perawat. “Selain operasi plastik, Dokter Stevensson berencana untuk melakukan cangkok rambut secara bertahap untuk memperbaiki penampilanmu.” “Apakah aku akan terlihat seperti sebelumnya?” tanya Leo penuh harapan. “Hm… mungkin tidak, tapi lebih baik. Bersabarlah, okay?” sahut sang perawat dengan suara lembut sambil menyerahkan menyerahkan beberapa pil obat dan segelas air putih kepada Leo. “Ini antibiotik, antiradang, dan beberapa vitamin. Pastikan kau meminum semuanya,” perintah wanita itu. Leo menurut. Usai memastikan Leo nyaman di ranjangnya, wanita itu berjalan keluar, meninggalkan keduanya di dalam kamar.  Logan melangkah mendekati Leo. Ia meraih lengan adiknya dan meremasnya pelan. Seakan hendak memberi kekuatan yang tersisa dari dirinya. “Leo,” panggil Logan. “Apakah kau mengingat kejadian malam itu?” “Tentu saja Lo. Aku mengingat semuanya dengan jelas. Mulai dari bau yang tercium di dalam ruangan itu, hingga warna-warna yang muncul di sekelilingku. Oranye, putih, hitam…” KLEK! Pembicaraan keduanya kembali terputus oleh suara pintu  yang kembali terbuka. Keduanya menoleh ke arah datangnya suara dan mendapati seorang gadis muncul dengan mambawa kantung kertas berisi makanan. “Leo! Perbanmu sudah dilepas?” seru Mara dengan membelalakkan matanya. Gadis itu buru-buru mendekat dengan wajah tersenyum. Merasa terganggu, Leo langsung membalikkan badannya dan berbaring memunggungi gadis itu menghadap ke tembok. Ia tidak pernah menyukai kehadiran Mara. Leo merasa setiap Mara muncul, Logan akan langsung mengabaikan dirinya dan lebih memperhatikan Mara daripada dirinya. “Hm… Aku membawakan sesuatu untukmu, Leo. Logan mengatakan kau menyukai buku. Aku membawakan sebuah buku untukmu,” ucap Mara tidak mempedulikan wajah cemberut Leo. Mara mengaduk isi tas kertasnya dan mengeluarkan sebuah buku komik. Ia menyodorkannya ke arah Leo yang perlahan membalikkan badannya kembali menghadap ke arah Mara karena penasaran. Tangan kecilnya menyambar benda di tangan Mara dan mulai mengamati sampulnya dengan bibir mengerucut. “Komik? Kau kira aku suka komik?” gerutu Leo. “Leo… Mara sudah susah payah membawakan hadiah untukmu. Setidaknya ucapkan terima kasih padanya,” hardik Logan yang membuat Leo semakin cemberut. “Aku bisa membawanya pulang jika kau tak suka…,” sahut Mara menjulurkan tangannya hendak meraih kembali buku komik di tangan Leo. “Tidak usah! Lebih baik ada bacaan daripada hanya menonton kartun setiap hari,” jawab Leo memeluk lembaran buku komik itu ke dadanya, menghindari raihan tangan Mara. Dengan bibir masih merengut, mata Leo melotot menatap wajah Mara. Jika Logan memperhatikan bintik di wajah wanita itu. Lain hal nya dengan Leo. Walaupun samar, tapi gadis itu memiliki warna mata yang berbeda. Biru dan Hijau. Yang terlihat lebih jelas ketika tersorot oleh cahaya seperti sekarang. Sangat indah dan menghipnotis, pikir Leo. Gadis Chimera. Manusia dengan dua set DNA. “Bilang apa pada Mara, Leo?” timpal Logan melepaskan Leo dari hipnotis mata Mara. “Ugh! Terima kasih, Mara,” lanjut Leo sambil memutar bola matanya keatas karena kesal. “Sama-sama, Leo,” sahut Mara mengembangkan senyumannya, geli karena melihat tingkah laku Leo. Sementara Leo mulai membolak balik halaman komik berwarna yang dibawanya, Mara menyerahkan kantung kertas nya ke Logan. “Aku membawakan mu ayam goreng dan kentang tumbuk,” ucapnya. “Terima kasih, Mar,” jawab Logan menyambar kantung kertas itu dan mulai mengeluarkan isinya. Mara melepaskan tas punggungnya dan mengeluarkan buku-buku pelajaran dari dalamnya. “Aku juga bawakan beberapa tugas sekolah yang tertinggal. Apakah kau akan melanjutkan sekolah di San Jose?” Logan membuka kotak bekal yang dibawakan Mara dan meletakkannya di atas meja. “Kurasa kita harus pindah. Paman dan Bibi tinggal di San Francisco.” “Aku tidak pernah melihat mereka datang berkunjung,” celetuk Mara. “Sepertinya mereka tidak terlalu peduli pada kalian.” Logan membagi isi bekal menjadi dua, dan menyerahkan satu bagian ke Leo yang sedang asik membaca. “Nih makan dulu,” ucapnya ke arah adiknya sebelum kemudian berjalan kembali ke sofa dan mendudukkan tubuhnya diatasnya. “Mereka satu-satunya keluarga yang tersisa. Tidak ada pilihan bagi kami berdua. Setidaknya bersama keluarga lebih baik daripada panti asuhan, bukan?” tebak Logan kala itu. Tanpa sadar betapa salahnya tebakannya. Karena hidup dengan keluarga paman dan bibi mereka, bukan perlindungan yang mereka dapatkan, melainkan sebuah ujian. Bak tekanan luar biasa yang mengubah arang menjadi berlian. Membentuk hubungan kedua kakak beradik itu hingga dewasa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN