Paksaan Rangga

2001 Kata
Empat hari hidup Dhevi terasa damai tanpa panggilan dari ruang BK, pertama karena kamis dan Jumat dia tidak terlambat, lalu bertemu akhir pekan dua hari, dan belum ketemu pelajaran PJOK lagi yang jadwalnya setiap hari selasa pagi, jadi pelajaran itu baru ada besok pagi. Tapi mulai hari ini, tepatnya pulang sekolah nanti, selama dua jam dia harus menjadi asisten bu Wening, petugas perpustakaan. Katanya tugas Dhevi menyusun buku - buku yang baru selesai dikembalikan murid dan membantu membersihkan area perpustakaan selama lima hari, yaitu dari Senin sampai Jumat. Kalau dikasih hukuman, Dhevi tidak pernah menghindar ... dia akan menjalaninya tanpa memberi alasan karena tahu konsekuensi apa yang sudah dia lakukan, dia hanya perlu memberi alasan ke mbak Ninis kalau dia akan pulang terlambat karena mau ikut bakti sosial di perpustakaan, dan minta di jemput jam empat. Alasannya harus baksos banget ya? Iya, soalnya itu yang paling aman, kalau ngaku di hukum, Popa yang akan langsung turun tangan untuk datang menjemput, Dhevi tidak mau itu. Waktu di ruang BK kemarin itu, dia sebenarnya khawatir kalau Popanya benar - benar dipanggil ke sekolah oleh bu Dewi, Dhevi yang tidak ingin jadi pusat perhatian, bisa mendadak terkenal kalau sampai Popanya datang, pasti marah - marah, soalnya. Jadi, demi damai di bumi dan seisinya, lebih baik Popa jangan sampai datang ke sekolah. "Dek .. ke kantin nggak?" tanya Anya, lengkapnya Savanya Armadi—satu-satunya teman sekolah yang jadi sahabat perempuannya, ingat ya, cuma Anya yang perempuan, kalau yang lainnya ada Buana dan Vino. "Skip, Adek mau main sama mereka," tunjuk Dhevi ke kedua sahabatnya yang laki - laki setelah menyantap bekalnya bersama Anya, Buana dan Vino juga. Dhevi memang selalu membawa bekal lebih untuk sahabat - sahabatnya itu. "Main ML lagi?" tanya Anya. "Iya." Diantara mereka berempat hanya Anya yang tidak main mobile Legend, sedangkan yang bertiga, selalu main di saat senggang seperti jam istirahat pertama ini. "Yaudah, gue ke kantin dulu. Ada yang mau nitip nggak? Gue pengen cari minuman yang manis - manis seger, nih," tanya Anya ke Dhevi, Buana dan Vino. "Nggak, tumbler Adek masih penuh isinya, makasih," jawab Dhevi lalu berdiri mau pindah duduk di belakang sama bestie-nya, Buana dan Vino. "Gue kenyang beut, Nya ...thanks." "Gue juga nggak, Nya," sahut Buana. Anya akhirnya keluar kelas sendirian karena teman - teman sekelasnya yang lain sudah ke kantin dari tadi. Sebenarnya Anya juga sudah kenyang, pancake yang dibawa Dhevi tadi besar - besar, tapi dia lagi ingin minum minuman yang ada rasa segar dan manis seperti es jeruk atau sprite pakai es juga boleh, mungkin dia pms, jadi banyak mau. Tiga sekawan itu memulai permainan Mobile Legend dari hape mereka masing - masing, Dhevi satu - satunya perempuan. "Pulang sekolah lanjut main di FM yuk, lumayan sambil ngopi," usul Vino, tentu saja melanjutkan main ML ini maksudnya. "Adek ngga bisa, lima hari ini, setiap pulang sekolah Adek harus ke perpus bantuin bu Wening," jawab Dhevi. "Itu hukuman karena nggak bawa baju olahraga, Dek?" tanya Buana. "Iya." "Lagian lo juga nekat sih, bawa aja bajunya, Dek ... nanti pas disuruh lari, bilang aja mendadak sakit perut kek, pusing kek ... kalo alasan sakit, pak Sarjan terima kok." "Dosa nggak, gitu?" tanya Dhevi. "Lo nggak bawa baju olahraga aja sudah bikin pak Sarjan darah tinggi, itu lebih dosa, Dek ... kan sama aja melawan orangtua namanya. Kalo cuma bohong tipis - tipis, kayaknya levelnya di bawah itu dikit, deh." Entah dapat inspirasi dari mana Buana bisa menasehati Dhevi soal level dosa sampai sedetail itu. Dhevi diam sejenak, dia fokus dengan permainannya. "Adek heran deh sama orang - orang, kenapa ya sering banget darah tinggi sama Adek, padahal Adek nggak ngapa - ngapain lho." "Ya karena lo nggak ngapa - ngapain itu masalahnya, Dek. Kita disuruh olahraga lo nggak mau, bahkan disuruh bawa bajunya aja, lo juga nggak bawa ... itu definisi udah disuruh tapi lo nggak ngapa- ngapain, dan itu bikin pak Sarjan darah tinggi, Dek!" ucap Buana dengan sangat semangat karena permainan game mereka juga mulai seru. Vino tertawa mendengar ucapan Buana. "Kalo boleh di calo in, udah gue bantu lo buat ambil nilai PJOK, Dek," sahut Vino. "Adek nggak perlu joki, lagian kenapa ya guru - guru itu nggak ngertiin passion kita tuh apa, Adek juga nggak pengen jadi atlet kok, nggak ada bakat sama sekali, terus kenapa disuruh lari keliling GBK gitu? Apa gunanya buat Adek selain kepanasan dan keringetan?" "Tujuannya bukan jadi atlet, Dek, tapi olah tubuh. Aelah ... gue juga nggak cita - cita jadi atlet kali. Tapi kan itu praktek yang memang bagian dari mata pelajaran. Ambil sisi positifnya aja deh, Dek, seenggaknya kalo lo suatu hari nanti mau beli tiket konser kelas festival, lo kuat larinya biar dapat posisi strategis, dekat panggung." "Kelas festival?" "Iya .. seru lagi kelas festival, wajah penyanyinya jelas banget, tauk." "Backstage lebih jelas nggak, sih?" "Kalo bokap lo promotornya, bisa tuh di backstage, kalo perlu ikut after party-nya. Jangan lupa ajak kita." Buana dan Vino tertawa. Dhevi terdengar sangat polos. "Sayangnya papa Adek cuma dokter anak, mana ngerti jadi promotor," jawab Dhevi sambil tersenyum. "Nah kan, jadi sekarang lo mau ikut latihan lari nggak sama pak Sarjan?" "Nggak, mending Adek nabung aja deh buat beli tiket VIP, kalian juga Adek ajak kalo mau nonton konsernya." Tepok jidat nggak tuh bestie-nya? Tiba - tiba .... "Dek, gawat!" Anya masuk kelas dalam keadaan panik. "Anya kenapa?" tanya Dhevi hanya melirik sebentar ke Anya. "Lo dicari Kak Rangga," jawab Anya masih dengan nafas yang terengah-engah, sepertinya dia baru saja berlari menuju kelas. Dhevi tidak menyahuti, matanya masih fokus ke layar hape. "Dek, gue serius nih." Anya meminta perhatian karena diabaikan oleh Dhevi. "Nggak kenal," jawab Dhevi, tapi tatapannya tetap tidak beralih dari layar ponselnya. pertarungan Mobile Legends sedang berjalan, dia tidak mau sampai gagal fokus. "Kak Rangga, dua belas IPA satu, Nya?" tanya Buana, meski dia juga tak menoleh, tapi telinganya menyimak dengan jelas. "Menurut lo siapa lagi?" balas Anya, kini duduk di sebelah Dhevi, dia perlu mengatur nafas dulu, walau sepertinya panik dan effort-nya berlari ke kelas, tidak dianggap Dhevi. "Serem banget, tauk! Gue sampe nggak jadi beli es jeruk, padahal gue udah ngantri ... mendadak hilang haus gue disamperin kak Rangga sama dua orang temannya." "Emang lo beneran nggak kenal sama kak Rangga, Dek?" tanya Vino, yang tubuhnya sudah mulai miring-miring mengikuti keseruan permainan mereka bertiga. "Nggak!" "Mungkin lo nggak kenal dia, Dek, tapi sayangnya dia kenal lo. Jelas-jelas dia mention nama lo waktu dia samperin gue di kantin barusan. Gue takut banget kalo sampe dia nyusul ke sini, Dek." Lagi - lagi Dhevi tidak menanggapi. Kakak kelas yang minggu lalu jadi partner di ruang BK itu, tiba-tiba muncul lagi, padahal Dhevi tak punya niat bertemu lagi dengannya. Waktu itu memang Dhevi keluar dari ruang BK duluan karena kesalahannya dianggap lebih ringan, dia cuma dapat hukuman jadi asisten Bu Wening di perpustakaan. Padahal, dia berharap dihukum tidak boleh datang ke sekolah selama satu minggu, eh, malah tidak terkabul. Sejak saat itu, dia tidak pernah bertemu Rangga lagi, dan memang kalau bukan di ruang BK itu, mungkin mereka tidak akan bertemu. Kantin yang merupakan tempat paling strategis untuk pertemuan lintas angkatan, memang jarang disambangi Dhevi, terus kelas mereka juga jauh, Dhevi di lantai tiga sedangkan Rangga di lantai satu, mau ketemu dan kenal bagaimana, coba? Tapi kenapa sekarang Rangga mencarinya? Perasaan dia tidak punya hutang, apa karena ancaman 'awas lo' itu? O iya, sejak Ig story tentang sepatu Rangga dua hari yang lalu, banyak sekali DM yang masuk ke akun IG Dhevi. Komentarnya bermacam-macam. Ada yang bilang, Dari sepatunya aja udah ganteng, apalagi orangnya ya, Dek, dan ada juga yang bilang, Setelah si Barokokok hilang, sekarang ada objek baru ya, Dek? Dhevi hanya membaca dan mengabaikannya, dia tidak pernah menjawab DM di kotak pesan IG-nya. Isi feed IG Dhevi memang keren, estetik, dan menarik untuk dilihat. Bidikan kameranya selalu pas, bikin penasaran. Kontennya membuat banyak orang tertarik untuk mengikuti akunnya, meski tak ada yang tahu siapa dia, usianya berapa, dan bagaimana wajahnya. Dhevi selalu menyebut dirinya sebagai ‘Adek’. Dulu, Baldy sering jadi bulan-bulanan postingannya dengan julukan 'Barokokok', sekarang giliran Rangga, meski belum diberinya gelar. Dhevi tak pernah menampilkan wajah 'korban' status IG-nya, hanya bagian tubuh, seperti kaki dan sepatu Rangga kemarin, lagi pula belum tentu Rangga akan menjadi objek rutin seperti Baldy dulu, tapi tetap dia bikinkan highlights 'Member BK', siapa tahu nanti dia ketemu member - member yang lain yang bisa jadi sumber inspirasinya. "Halo, Dek! Yuk ke kantin, akang traktir!" tiba - tiba suara Rangga terdengar di pintu kelas yang terbuka. Rangga datang bersama dua orang temannya, persis seperti yang dibilang Anya tadi. Rupanya Rangga cukup terkesan panggilan akang yang belum pernah dia dengar di kota metropolitan ini, khususnya di sekolah mereka. Adik kelasnya biasa memanggilnya dengan sebutan kakak, dan para anggota geng-nya memanggilnya Rangga atau kadang dengan sebutan, Dan, kependekan dari komandan. Dhevi menoleh sebentar, hanya sekian detik, sampai - sampai dia tidak melihat dengan jelas wajah teman - teman Rangga. "Halo Dek banget, ya?' gumam Dhevi yang hanya bisa didengar teman - temannya, jarak Rangga masih agak jauh, tapi sekarang mulai mendekat. Dhevi yang dicari, tapi teman-temannya yang stress. Jangan dipikir Buana dan Vino tidak stres walau mereka terlihat fokus ke layar ponselnya, pikiran mereka langsung ambyar..., sudut mata fokus dengan langkah kaki Rangga yang semakin mendekat. "Main apa sih?" tanya Rangga, kepo. "ML." "Enak dong?" "Kang bacot otaknya ngeres!" Yang menjawab pertanyaan Dhevi, yang panik Buana dan Vino, yang terkekeh Rangga, sementara Anya dan dua teman Rangga sibuk dengan pikiran masing-masing. "Ayo Dek kita ke kantin," ajak Rangga lagi. "Males." "Sebentar doang, paling dua puluh menit lagi juga sudah bel masuk." "Nggak ah," jawab Dhevi bertahan. Bukan karena Rangga yang mengajak, tapi sejak Anya mengajak ke kantin tadi, kan dia juga sudah menolak. Dhevi memang tidak berniat ke kantin sama sekali. Karena tidak berhasil membujuk Dhevi, pandangan Rangga beralih ke Buana dan Vino. "Lo berdua bisa berhenti main dulu nggak," begitu ucap Rangga dan seketika membuat keduanya langsung Log Out. Memang yang menonaktifkan permainannya, Buana dan Vino, tapi kan berefek juga ke Dhevi, karena mereka main bertiga secara online, otomatis permainan Dhevi pun terhenti. "Ckk ... kenapa sih?" tanya Dhevi dengan nada kesal. "Rang, kok lo mau - maunya sih dibentak sama anak baru netes gini?" tanya Rava, salah satu anggota geng Rangga yang mengajukan protes, tapi dia malah mendapat tatapan dari Dhevi. "Emangnya Adek anak ayam?" tanyanya dengan tatapan malas, lalu dia melihat Rangga sebentar dan beralih ke ponselnya lagi. "Ayo ikut sebentar, ada yang mau gue kasih lihat ke elo," bujuk Rangga, ini sudah ajakan yang ketiga. "Nggak ah." Dhevi tidak bodoh, memangnya Rangga mau kasih lihat apa? Mereka cuma bertemu sekali di ruang BK, tidak akrab, tidak ada urusan sama sekali ... memangnya mau lihatin masa depan? udah ganti nama jadi Rangga gumay, ya? "Sebentar doang, gue pengen lihat seberapa jagonya lo di depan teman - teman gue." "Jago apaan?" "Yaudah sih ikut aja ... sebentar doang." "Adek malas naik turun tangga, kantin juga panas, nanti Adek keringetan, nggak enak banget," jawab Dhevi santai. Buana dan Vino yang mendengar alasan Dhevi, rasanya ingin membopong temannya ini untuk turun ke kantin. Biarlah capek sedikit daripada mengundang keresahan seperti ini. Barusan saja ada dua orang teman sekelas mereka mau masuk, langsung keluar lagi melihat 'biang masalah' ada di dalam kelas mereka. "Nanti dikasih tisu," jawab Rangga. "Adek juga punya." "Yaudah dibeliin es jeruk deh biar seger." "Maksudnya jeruk peras asem yang banyak aer sama gulanya itu? Adek nggak suka, kasih dia aja nih," ucap Dhevi sambil menunjuk Anya yang katanya tadi gagal beli es jeruk. "Ya udah, kalau gitu temen lo aja nih yang gue bawa," ancam Rangga melihat ke arah Anya. Tentu saja Anya langsung panik dan melihat ke arah Dhevi dengan tatapan memelas, minta dikasihani. "Bawa aja," jawab Dhevi santai, alhasil bukan hanya Anya yang kaget, Buana dan Vino saja sampai tidak percaya dengan pendengaran mereka. "Dek, " rengek Anya yang benar - benar ketakutan menjadi tumbal Dhevi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN