IX

2214 Kata
“Dek, main bola yuk...,” ajak Fauzan yang baru saja keluar dari kamarnya dengan membawa benda bulat yang menggelinding itu. “Gak ah, Bang, lagi gak mood.” Haikal menopang dahinya, malas. Tangannya sendari tadi sibuk menekan-nekan remoted mengganti siaran televisi tak tentu arah. “Aelah, gayanya pake segala gak mood.” Fauzan menghempaskan bokongnya dengan kuat di sofa, membuat tangan Haikal terjatuh dari dagunya. “Bisa pelan gak sih Bang duduknya? Jatuh nih tangan..“ Haikal menoleh, memperlihatkan tanganya yang sudah bercerai dari dagunya. “Tuh liat, tangan kamu lemah gitu, nopang dagu aja jatuh. Makanya harus banyak olahraga salah satunya main basket. Tangkap Dek...” Haikal belum siap, dan refleks menamengi dirinya dari hantaman bola basket. “Gak jadi deh, entar patah tuh tangan.” Fauzan terkekeh atas reaksi berlebihan Haikal. “Apaan sih Bang, bercandanya gak lucu,” ketus Haikal. Fauzan masih belum berhenti dengan tawanya, Haikal hendak beranjak dari sofa tapi terhenti saat melihat ibu dan ayahnya yang baru saja pulang bergandengan tangan bak pasang suami istri yang baru saja menikah melupakan fakta bahwa mereka sudah menikah hampir 25 tahun lamanya. “Masyallah, habis nyebrang, Yah? “goda Fauzan, alisnya naik-turun di sertai kekehan pelan. Haikal juga tidak mampu menahan rasa ingin tertawanya, baginya hal romantis seperti itu masih terasa sangat mengelikkan meski Haikal sudah menginjak usia remaja, 16 tahun. “Duh, Bu, susah ya kalo punya anak pada jomblo gak tahu rasanya gandengan tangan sama pasangan,” kata Abbas—ayah Haikal, balik menggoda anak-anaknya. Skakmat. Suara tawa Fauzan seketika menghilang dari peredaran, menyisakan Haikal yang malah makin kencang tertawa disambut tawa Abbas dan Itta. “Ayah, gak boleh ngomong gitu, kasihan Fauzan kena mental breakdance,” tambah Ita, semakin memperiya tawa Haikal dan Abbas. “Dek, jangan lupa situ juga jomblo,” ketus Fauzan tidak ingin ngenes sendiri. Haikal tidak peduli, dia terus tertawa sampai Fauzan menjitak pelan kepalanya membuat Haikal mengadu kesakitan. “Tuh, Bu, Abang emang suka gangguin Haikal.” Haikal mengadu. “Tadi aja mau lempar Haikal sama bola basket.” Ita langsung menoleh ke arah Fauzan. Fauzan buru-buru menggeleng cepat sebelum ibunya termakan hasutan si anak bungsu. “Fauzan cuman mau ngajak si adek main basket, biat tubuhnya sehat bu, masa nopang dagu aja bisa ke pleset,” kata Fauzan. “Tuh, Bu, orang gak mau main basket di paksa main, nyebelin banget tuh jomb—“ Pltak Tangan Fauzan kembali bertengger di kepala Haikal, sebelum adiknya itu menyempurnakan kalimatnya ‘jomblo’. Haikal meringgis. Itta langsung melemparkan tatapan tajam pada Fauzan. “Hehehe...niat Fauzan kan baik, Bu.” Fauzan menampilkan senyum kuda. “Kalo adek sering olahraga, bakal sehat jasmani.” “Bu....” Haikal beringsut mendekati Itta. Haikal langsung merenggek manja pada Itta, sebagai anak bungsu naluri untuk manja tidak luput dari Haikal, meski dia sudah remaja. Fauzan juga tidak mau kalah mencari sekutu. Fauzan beringsut mendekati ayahnya. “Yah.... niat abang kan baik, biar si adek kuat gitu, manja banget.” “Orang gak mau kok di paksa, iya kan, Bu? Orang Haikal lagi nyantai.” Haikal membela diri. Itta menggelus kepala Haikal. Nampak tidak tega melihat anak bontotnya. “Bener kata Fauzan, kamu juga harus olahraga. Jangan rebahan muluk.” Hasutan Fauzan berhasil. Fauzan mendapat sekutu dari pihak yang tidak kalah kuat, ayahnya. Kepala keluarga. Haikal cemberut. “Buruan sana main basket bareng abang. Jangan gangguin ibu, kamu. Ini waktunya ibu sama ayah.” Abbas menarik lembut tangan Itta, menjauhkan Ita dari Haikal. “Buruan sana,” titah Abbas. “Setelah olahraga baru kita makan siang.” Fauzan dengan semangat langsung merangkul bahu Haikal agar mengikuti langkahnya. Haikal tidak punya pilihan. Haikal melangkah ogah-ogahan. “Semangat dong, Dek. Kayak orang cacingan aja.” “Lagian, orang lagi gak mau di paksa terus,” dumel Haikal. “Lagian kenapa sih, Dek, lesu gitu? Cerita dong.” . . “Kita kan ada tugas buat cerpen, kamu mau buat cerpen apa? “tanya Billa. Fatiah memutar otaknya, sebenarnya dia sedang dalam mode malas berpikir. “Temenin ke perpustakaan aja yuk, siapa tahu cerpen aku yang kemarin masih ada. Aku lagi malas ngarang nih.” “Eh, tumben Seorang Fatiah, sobat magerqu gak suka ngarang-mengarang.” “Iya nih, gara-gara begadang lusa kemarin, efeknya masih sampai sekarang, kepala aku nyut-nyutan. Kayak darah rendah.” “Makanya kalo gak bisa gedang jangan begadang.” “Iya sih, ya, tapi, nasi dah jadi bubur, mending di tambah kecap biar enak.” Billa terkekeh. “Yuk, mau ke perpustakaan gak? Mumpung masih ada waktu sepuluh menit sebelum bel masuk.” “Yuk, lah...”Fatiah beranjak dari singgah sana ternyamannya—bangku. Keduanya berjalan beriringan ke perpustakaan yang jauhnya berada di seberang kelas mereka, melewati deretan kelas-kelas sebelas lainnya. Kelas mereka memang berada di bangunan paling ujung. “Hahah...” “Aneh-aneh aja Lo. Gimana ceritanya bisa kepentok tembok? Perasaan tuh tembok gak gerak kemana-mana deh.” Fatiah menoleh sekilas karena mendengar suara tawa membahana dari dalam kelas saat dia lewat. “Eh, Fatiah, kok kamu tiba-tiba senyum sih?” bingung Billa saat melihat dua sudut bibir Fatiah terangkat ke atas. “Gak kenapa-napa sih, lucu aja.” “Lucu karena apa? “ “Itu tadi ada yang ke pentok dinding.” “Eh, di mana? Kok aku gak liat.” “Iya, bukan siaran langsung, cuman dengar doang.” “Eh, gimana-gimana, gak mudeng aku? “ “Itu tadi aku dengar ada yang ke pentok dinding pas lewat kelas tadi, terus aku auto bayangin makanya jadi ikut ketawa.” “Oalah, emang beda ya bakat penulis, halunya tingkat kabupaten/kota.” Billa terkekeh. Keduanya akhirnya sampai di perpustakaan. Fatiah langsung menuju ke meja di mana ia meletakan cerpennya kemarin. Tapi sudah tidak ada lagi. “Mungkin jatuh di bawa kolong, atau nyelip di buku-buku, kita cari aja dulu,” saran Billa. Fatiah setuju. Keduanya lalu sibuk mencari, tapi tidak juga mereka temukan, bahkan Billa dengan segenap keberaniannya menanyai petugas perpustakaan tapi tetap tidak ada. “Ya ubahlah, gak pa-pa,” kata Fatiah, legowo. “Terus gimana? “ “Ya, mau gimana lagi, ngarang lagi aja. Aku tiba-tiba dapat ide pas nunduk tadi.” Billa terkekeh. “Emang beda ya penulis, nunduk aja langsung dapat ide.” “Hiperbola sekali, Bun.” “Lah emang iya, kemarin aku liat kamu bengong, eh tahu-tahu dah jadi aja cerpen.” “Weeeh aku gak bengong itu, aku lagi mikir. Ide tuh suka muncul tiba-tiba kayak sakit perut. Mules kalo gak di ladenin.” “Mules, hahahh... sa ae.” “Kuy balik ke kelas.” “Beneran gak papa tuh cerpen hilang ?” tanya Billa lagi. “Iya gak pa-pa.” . . Fatiah menunduk dalam, berpikir keras, tangannya tanpa sadar memainkan buku jari jemarinya. Di hadapannya ada Ustadzah Lala menunggu kelanjutan dari hadapan Fatiah. “Wa laqod kazzaballaziina ming qoblihim fa kaifa kaana nakiir,” sambung ustadzah mencoba memancing ingatan Fatiha, mengenai kelanjutan ayat 18 surah Al-Mulk. Fatiah benar-benar lupa total. Bahkan untuk sekedar mengulang ayat yang tadi ustadzah Lala bacakan. “Afwan ustadzah, ana lupa,” kata Fatiah, akhirnya. “Ya udah gak papa, lain kali jangan gini lagi. Sekarang hafalin lagi,” kata ustadzah pelan namun sarat akan kekecewaan. Fatiah mundur dari barisan, membiarkan santri lain maju untuk menyetor hafalan mereka. Dengan perasaan campur aduk, Fatiah kembali ke kamar. Fatiah termenung duduk di kasur miliknya. Apa lagi yang kurang? Dia sudah berusaha lebih keras mungkin lebih keras dari yang lain. Di saat semua orang istirahat tidur siang, Fatiah duduk menghafal dengan keras meski berjam-jam ia hanya mampu menghafal dua atau paling banyak tiga ayat. Saat semua orang tidur di malam hari, Fatiah bangun, membiarkan rasa kantuk sirna dan kembali menghafal. Fatiah menyadari bahwa daya menghafalnya tidak sebaik teman-temannya yang lain, yang hanya duduk selama tiga puluh menit dan berhasil menghafal berlembar-lembar ayat. Dan karena itu Fatiah terus mengulang-ulang surah yang hendak di setorkan. Tadi saat waktunya, Fatiah sudah memastikan bahwa dirinya sudah hafal betul. Tapi lagi-lagi, kerja kerasnya seolah tidak ada hasilnya, Fatiah blank dan semua hafalan terlupakan. Fatiah dirundung perasaan kecewa, dia merasa benar-benar bodoh. Tidak bisa setara dengan yang lain. Bacaan Al-Qur’an masih buruk bahkan hafalan juga buruk. Sangat menyedihkan. “Iah, nyeduh s**u yuk...” Billa muncul dari balik tembok mengangetkan Fatiah. Fatiah spontan langsung menghapus air matanya. “Kenapa bengong sendirian di sini? Kamu udah setoran, kan? Aku baru aja selesai, makanya mau minum s**u biar otak aku segeran dikit.” Fatiah berusaha terlihat baik-baik saja. Berusaha mengulas senyum di bibirnya. “Udah, barusan sama ustadzah Lala.” “Oh...aku sama ustadzah Ria,” jawab Billa. “Eh, ponsel belum di kumpul kan?" “Belum.” “Huft, kenapa sih ponsel mesti di kumpul.” “Entahlah.” “Pada hal anak mahad putra gak di kumpul loh.” “Kalo gak salah ini kebijakan Ustadzah sendiri sih, bukan dari yayasan.” “Iya makanya, aku belum selesai nih drakoran. Tinggal lima episode lagi nih. Kepo banget, gak bisa tidur dengan nyenyak nih, sangking keponya.” “ Oh iya, tadi kamu tadi setoran berapa ayat? “ “Dikit. Cuman dua surah Al-Tharim sama Al-Talaq.” Dikit ? Fatiah mentertawakan dirinya sendiri, apa kabar dia yang hanya beberapa ayat saja? “Masyallah,” kata Fatiah. “Tadi siang kamu ngafal ya? Kamu ngafal kapan sih?" “Aku gak hafal tadi siang, kebablasan tidur siang. Aku juga gak ada jadwal ngafal sih, kapan aja gitu.” “Oh, tadi kamu ngafal kapan?” “Pas sudah salat magrib tadi, sekalian nungguin giliran setoran, aku ngafal.” “Masyallah...” Bolehkah Fatiah iri dengan hal seperti ini? Dia juga ingin semudah itu dalam mengingat ayat-ayat suci Al-Qur’an. Apa dia begitu kotor hingga sangat sulit baginya menyimpan Al-Qur’an di dalam kepalanya? “Bill, kamu udah mulai ngafal Al-Qur’an kapan sih? “ “Ehm, dari SD kelas enam. SMP aku berhenti sekolah formal biar bisa fokus ngafal, terus aku ambil paket C biar bisa dapat ijasah karena abah pengin aku SMA formal kayak yang lain.” Rasanya tidak pantas Fatiah iri pada mereka. Mereka telah membersamai Al-Qur’an sejak kecil, wajar saja jika Al-Qur’an sudah bersahabat baik dengan mereka, sedangkan Fatiah? Mengenal Al-Qur’an saja baru-baru ini. Seharusnya Fatiah banyak bersyukur karena Allah mau menyentuh hatinya untuk tergerak mendekatkan diri pada kalam yang isinya tidak akan bisa diubah tapi isinya mampu mengubah hidup seseorang. Al-Qur'an. Mengingat sebelumnya Fatiah sangat jauh drai Al-Qur’an. Bahkan setahun belum tentu Fatiah menyentuh mushafnya sebanyak lima kali. Al-Qur’an miliknya hanya terpanjang rapi di lemari, berdebu sendirian tanpa pernah dibaca sang empunya. “Oh iya, kita ada tugas ngafalin 100 angka dalam bahasa Prancis, kan? Kamu udah hafal? “ tanya Billa. Fatiah mengangguk pelan. “Alhamdulillah udah hafal.” Billa berdecak sedih. “Aku belum tahu, Iah. Belum hafal, padahal dari kemarin aku udah ngafalin terus. Malam ini aku harus begadang nih, ngafalin.” “Palingan pekan depan kamu maju, nama kamu kan akhir juga.” “Iya sih, tapi takut aja, tiba-tiba Madam manggilnya acak. Buat persiapan aja.” “Iya juga sih.” “Aku salut deh sama kamu, otak kamu kali soal hafalan cepat banget, gak kayak aku,” kata Billa yang sekarang sibuk mengaduk s**u di gelasnya. Fatiah tertegun. Otaknya memang sangat cepat dalam meteri hafal-menghafal, sewaktu SD Fatiah juga selalu menjadi yang pertama dalam menyetor hafalan pelajaran yang diberikan guru. Tapi... Kenapa saat berhadapan dengan Al-Qur’an, dia tidak mampu? Satu ayat saja bisa menghabiskan berjam-jam untuk menghafalnya Ya... Inilah letak kesalahan Fatiah. Kesalahan yang sulit Fatiah ubah. Selama ini Fatiah terbiasa mengandalkan otaknya dalam menghafal, begitu pun saat menghafal Al-Qur’an. Fatiah terlalu mengandalkan segumpal isi di kepalanya. Fatiah lupa kalo menghafal Al-Quran, bukan soal cerdas tapi juga soal rasa. Dan otak tidak akan bisa menginput rasa itu. Itu bukan tugasnya. Hatilah yang berperan penting. Fatiah harus menghadirkan hati di dalam proses menghafalnya. "Jangan engkau (Muhammad) gerakkan lidahmu (untuk membaca Al-Qur'an) karena hendak cepat-cepat(menguasai)nya. (QS. Al-Qiyamah 75: Ayat 16) "Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di da-damu) dan membacakannya." (QS. Al-Qiyamah 75: Ayat 17). . . “Duh belum ngantuk nih,” gumam Billa di kasurnya, menatap hampa langit-langit kamar. “Iah...,” panggil Billa. Fatiah yang memang masih belum tidur, refleks mengangkat kepalanya yang sejak tadi ia tutupi selimut. “Eh, belum tidur juga, Iah ?” sambar Lail, yang posisinya berada di kasur sebelah Fatiah. “Belum ngantuk. Kamu lagi ngapain Lail? Begadang terus,” sahut Fatiah, ikut menatap layar terang dari leptop Lail. “Mau nonton film ya, Lail? “ Billa menyahut, dan langsung beringsut mendekati kasur Lail. “Iya nih, bosen banget. Belum bisa tidur. Mau nonton bareng gak? “ “Nonton apa? “ tanya Fatiah. “Gak tahu nih. Film yang bagus apa ya?" “Lelaki hebat aja,” rekomondasi Billa. “Filmnya romantis, haru gitu cocok nih malam-malam nonton film itu.” “Boleh juga sih.” Lail mengangguk setuju. “Mau ikut nonton, Iah? “tanya Billa, pasalnya Fatiah baru saja sembuh dari efek begadangnya lusa kemarin. “Iya, entar malah kayak ayam sakit lagi,” goda Lail. Fatiah yang sedang unmood bercanda hanya tersenyum tipis sebagai formalitas. “Gak deh, kalian berdua aja. Aku gak mau begadang.” Fatiah memberikan ruang untuk Billa duduk di sebagian kasurnya yang berdempetan dengan kasur Lail. “Aku mau gosok gigi, cuci muka terus bobok,” kata Fatiah, beranjak dari kasurnya ke kamar mandi. Fatiah memiliki kebiasaan sebelum tidur dia akan solat witir terlebih dahulu. Tiba-tiba pintu kamar di ketuk, Fatiah yang posisinya berada di depan dekat pintu, langsung segera membuka setelah menggunakan dengan sempurna mukenanya. “Assalamualaikum,” “Waalaikumsalam, ustadzah. Ada apa Ust? “ Ustadzah Lala sejenak melihat keadaan kamar yang sudah remang karena Lingsi dan Rani tidak bisa tidur dengan lampu menyala terang. “Udah pada tidur semua? “ “Belum, semuanya Ustadzah. Baru mbak Rani sama Lingsi yang udah tidur.” “Oh..” “Ada apa Ustadzah? “ “Ini dari tadi ponsel kamu dering. Takutnya ada hal penting. Kamu telepon balik aja. Kalo udah selesai, langsung taruh di laci biasanya ya.” Fatiah mengangguk. Seperginya ustadzah Lala, Fatiah langsung mengcek panggilan masuk. Panggilan masuk dari.. Fatiah langsung mengklik nomor itu dan melakukan panggilan balik. Panggilan diangkat. “Assalamualaikum, m—“ Suara Fatiah tertahan di tenggorokan. “Waalaikumsalam. Kamu apa kabar? “ Fatiah tertegun. “Kenapa diam? Apa sebesar itu kamu gak mau bicara sama mama lagi? “ **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN