I

1219 Kata
“Btw, kalian tahu gak sama orang yang namanya Haikal ?” tanya Lail tiba-tiba. Fatiah menggeleng, begitu pun Billa dan Lingsi. “Serius kalian gak tahu?” kaget Lail, seolah tidak mengetahui orang yang Lail sebutkan adalah hal yang paling aneh di dunia. “Hem, kelas 12 kah? “tanya Lingsi. Lail mengangguk pelan. “Anak kelas sebelah. Masa kalian berdua gak tahu sih..., Bil, Iah? “ Lail dan Lingsi memang tidak menggunakan embel ‘Kakak' untuk Fatiah dan Billa, meski selisih umur mereka terpaut satu tahun. Hal itu dikarenakan saat pertemuan pertama mereka, mereka tidak saling menanyai umur. Lingsi dan Laill pikir mereka sebaya. Sehingga mereka saling memanggil dengan sebutan nama. Pertemuan pertama itu sangat berkesan, jadi terasa canggung jika sekarang tiba-tiba menggunakan embel ‘Kakak’ setelah sebelumnya dengan santai mereka saling menyapa dengan nama saja. Fatiah dan Billa juga tidak ambil pusing mengenai hal itu. Mereka sangat legowo jika tidak di panggil kakak. “Memangnya ada apa sih, Lail? “tanya Billa kepo. ** Haikal terbangun dari tidurnya dan spontan meraba tubuhnya. “Kamu ngapain, Dek? “ tanya Ita—ibu Haikal yang sejak tadi sudah berdiri di ujung kasur Haikal, menatap bingung tingkah aneh anaknya yang baru saja bangun. Haikal mengerjap, remaja berwajah oval dengan alis tebal dan mata belo yang sedikit browne saat terkena sinar matahari, menatap ibunya dengan wajah penuh tanda tanya. “Bu, liat Haikal, kan?” tanyanya cemas. Dahi Ita makin berlipat. “Kamu kenapa sih? Emang kamu jin gak keliatan? “ “Alhamdulillah,” Haikal menghela nafas panjang. “Ternyata cuman mimpi.” “Bu, liat sarung Fauzan gak? “ Fauzan langsung menerobos masuk ke dalam kamar Haikal, tanpa ba-bi-bu atau permisi pada pemilik kamar. Fauzan merupakan kakak kandung Haikal, usia mereka terpaut lima tahun, hubungan Fauzan dan Haikal terkadang seperti kucing dan anjing, atau terkadang seperti kawanan semut yang sangat akur. Jika diliat secara fisik, Fauzan lebih unggul dari pada Haikal. Fauzan memiliki tubuh yang lebih tinggi lima senti dari Haikal, bulu mata panjang yang sedikit bergelayut ke atas di bagian ujung, bibir merah alami dan bentuk rahang tegas. Fauzan sekilas seperti orang Eropa meski sedikit pun tidak ada darah keturunan Eropa pada dirinya. Berbanding terbalik dengan Haikal, sekali melihat Haikal orang tidak perlu repot menanyakan dari mana asalnya. Wajah Haikal sangat merakyat sekali. Ala-ala rakyat jelata yang serba biasa. “Tuhkan benar, si adek pakai sarung orang gak bilang-bilang.” Fauzan berdecak pelan, langsung mengambil sarung bermotif kotak-kotak yang tersampir di dekat nakas Haikal. “Kamu tadi mimpi apa sih, Dek? “tanya Ita lagi, masih penasaran. “Kayaknya Haikal mimpi jatuh dari pohon toge, Bu. Ketulah pakai sarung orang gak bilang-bilang,” sahut Fauzan asal. “Apa sih, Bang... “ “Atau jangan-jangan si adek mimpi....” Fauzan sengaja mengantung kalimatnya, menggoda adiknya itu. “Mimpi apa?” Haikal sewot. “Bu, gak usah dengerin Kak Fauzan.” “Kalo gitu mimpi apa? Coba ceritain... “tantang Fauzan. Haikal mengerjap, bingung. “Tuhkan diam. Berarti mimpinya aneh-aneh nih....” Fauzan cekikikan. “Gak kok. Gak gitu, Bu, benaran. Gak aneh-aneh eh,... agak aneh dikit. Tapi gak aneh, cuman dikit—“ “Aneh dikit? Aneh apa? “ Ita menyela perkataan Haikal yang terdengar rancau. “Tuhkan ada aneh....” Fauzan makin berjaya, setelah Haikal nampak bingung menceritakan mimpinya sendiri. Haikal menghela nafas panjang. “Apaan sih, Bang. Gak jelas banget dasar mahasiswa abadi.” “Heeeyyy kok jadi bawa-bawa—“ “Eh udah-udah.” Ita mengintrupsi. Fauzan kalah cepat dengan interupsi Ita yang paham betul akan terjadi perdebatan antara kedua putranya itu. “Buruan siap-siap. Bentar lagi azan subuh. Terutama kamu, Haikal, buruan mandi, bau apek.” Ita sengaja menekan kata apek, membuat Fauzan spontan terkekeh menahan geli. Bau apek... Mulut Fauzan membentuk kata tanpa suara, sebelum meninggalkan kamar adiknya itu. Haikal berdecak kesal, sebal dengan godaan kakaknya itu. “Ck, emang bau apek ya?” Hakila mengendus tubuhnya sendiri, sepeninggal ibu dan kakaknya itu. “Gak kok....” “Wangi kasturi gini.” Haikal nyengir, menyadari bahwa tubuhnya memang bau. “Ck.. lagian tadi mimpi apa sih aneh banget.” “Terus siapa lagi cewek itu. Kok, bisa-bisanya nyasar di mimpi orang.” “Mungkin dia penjelajah mimpi, traveling mimpi orang nih. “Gak sopan, harus ada aturan masuk mimpi orang. Mesti dibuat nih segera. Biar gak asal masuk mimpi orang, kenal juga gak....” “Eh...” Kepala Fauzan tiba-tiba nongol di ambang pintu kamar. Haikal refleks mengelus d**a, kaget. “Malah cosplay jadi patung. Buruan mandi, kakak tinggal ke masjid sendirian...” “Iya, iya... bawel banget.” “Buruan. Lama banget sih loading-nya. Masih mikirin mimpi tadi ya?” “Mimpi apaan sih, Bang... Udah sana dulu, aku mau siap-siap.” Haikal segera bangkit dari kasur hendak menutup pintu kamarnya. “Pagi-pagi udah ngawur aja,” dumel Haikal. Fauzan tersenyum jahil, sebelum pintu tertutup Fauzan berteriak membangunkan seisi rumah. “BU, HAIKAL HAYANG KAWIN.” . . “Pengumuman...” Terdengar suara dari speaker sekolah. Fatiha melirik jam yang terlilit di tangannya, baru pukul 06.15. “Jadwal piket umum hari ini kelas 12 IPA 1 dan 12 IPA 2. Di HARAPKAN BAGI SISWA YANG SUDAH DATANG UNTUK SEGERA KE LAPANGAN.” Fatiha menoleh pada Billa yang berhenti berjalan. “Pasti bu Melda ngamuk nih belum ada anak kelas yang piket jam segini.” Billa bergumam pelan. “Iah, biar aku aja ke kelas, kamu langsung ke lapangan aja. Sini tas kamu. Entar aku langsung nyusul ke lapangan. Dari pada entar kita kena hukum sekelas.” “Iya juga ya. Ini aku titip tas.” Fatiah memberikan tasnya, mereka lalu berpisah.” “12 IPA 1, Bu.” “Oh, kamu piket di ruang guru aja.” Bu Melda sedang berbicara dengan siswa dari kelas sebelah. Fatiha sengaja memelankan langkahnya agar saat dia sampai, siswa itu sudah pergi. “Bu...” Bu Melda menaiki kacamatanya. “Piket juga?” Fatiha mengangguk pelan. “Oh kebetulan, kalo gitu kamu langsung piket ke ruangan guru sama kayak siswa tadi aja.” “Ruang guru? “ Fatiha spontan membeo. “Iya, sama kayak siswa tadi. Kalian berdua sapu ruang guru.” Berdua? Hufft.... Fatiha bingung harus mengatakan apa. Ini sekolah umum, bukan sekolah berbasis agama, tidak ada istilah tidak boleh ber-ikhtilaf antara perempuan dan laki-laki. Semua di anggap setara. Bahkan jika perempuan dan laki-laki ingin duduk semeja saja tidak masalah. “Kamu 12 IPA 1, kan? “ tanya bu Melda tiba-tiba, menghentikan langkah ragu Fatiha. “S-saya 12 IPA 2, Bu.” “Bu, maaf, saya piket di mana? Saya 12 IPA 1.....” Suara berat khas siswa mengintruspi percakapan Fatiha dan bu Melda. “Oh, kamu langsung ruang guru aja,” kata bu Melda, mengabaikan Fatiha. “Dan kamu, kamu piket di perpustakaan aja deh. Lambat banget geraknya. Entar rapiin juga buku-buku di perpustakaan.” Senyum Fatiha seketika merekah bak bunga di pagi hari. “Iya, Bu.” “Oh iya, ajak teman kamu juga, berdua. Biar cepat,” tambah bu Melda. Dan bertepatan dengan itu Billa datang. Fatiha langsung menggandeng sahabat karibnya itu, sembari membawa sapu. “Senang banget piket di perpustakaan, mentang-menatang ini tempat favorit kamu,” goda Billa. “Iya dong... tempat tongkrongan terbaik nih.” “Hahhahaha...tapi kayaknya kamu senyum-senyum bukan karena piket di perpustakaan deh, tapi karena....” . .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN