XI

2849 Kata
“Iah, masih sakit ?” tanya Billa yang baru saja pulang dari sekolah. Fatiah menghentikan aktivitas memijat kepalanya. “Udah lumayan, cuman masih gak enak badan dikit. Kamu mau keluar gak? “ “Ke mana? Warung? “ “Iya. Aku mau beli s**u steril.” “Kuy lah, aku temenin. Sekalian aku mau beli mie samyang, lagi pengen banget. Tapi nanti aja ya, tunggu agak dingin dikit, diluar panas banget.” “Iya, kita pergi keluar sekitar habis ashar aja.” “Oke.” “Bil, gimana tadi pelajaran hari ini?” “Lumayan sih. Tapi ada satu guru yang gak masuk. Jadi tadi ngerjain latihan aja. Terus ada PR biologi sama PPKN.” “Oh, Bill nanti aku pinjam buku catatan kamu ya.” “Iya, ambi—“ “Iah, ada paket mewah buat kamu....” seru Lail heboh. Lail masuk ke kamar dengan langkah cepat. “Paket mewah ?” Billa membeo, bingung. “Mewah apa? “ “Paket makan-makan gitu. Mulai dari yang snack ringan sampai makan berat kayak roti, ada sushi juga terus ada macam-macam buah. Terus apa lagi ya, aku lupa banyak banget soalnya.” Billa refleks menoleh pada Fatiah. “Serius? Tapi dari mana? “ “Iya, serius, Bil,” sahut Lingsi, yang baru saja masuk ke kamar, di belakang Lail. “Dan anak mahad heboh pas liat paket itu, soalnya di anter pake truck sangking banyaknya,” tambah Lail lagi. “Wah, kok aku gak liat ya tadi? “ tanya Billa. “Iya baru aja tadi, pas kita sampai.” “Buruan ambil, Iah. Tadi ustadzah nyuruh kamu buat ambil.” Fatiah langsung meraih jilbabnya, dan berjalan cepat ke aula mahad. Lail, Billa, Lingsi mengekor di belakang, terdorong rasa kepo. Bukan hanya mereka bertiga, bahkan hampir anak mahad menyoroti Fatiah dan paketnya. “Iah, ada surat buat kamu.” Ustadzah Lala keluar dari dalam kamarnya. Fatiah membeku. Surat berwarna putih itu sekarang berada di tangan Fatiah. Fatiah ragu untuk membukanya, bagaimana jika surat itu ternyata benar dari.... “Dari siapa sih, Iah?“ tanya Lail, penasaran. “Buruan buka, Iah. Kepo nih,” desak Rani. “Cie, Iah, punya penggemar rahasia..,” goda Lail. Tiba-tiba ponsel Fatiha bergetar. Ada pesan masuk. ‘Suka gak? Cepat sehat ya.” . . “Makasih ya, Iah.” “Iya, sama-sama Gin.” Fatiah tersenyum lega. Setidaknya setengah dari semua bingkisan makanan berkurang dari kamarnya. “Gina, tolong bilangi di grup ya, siapa yang mau roti, buah atau makanan ringan, ambil aja ke kamar enam.” “Iya, biar aku sebarin di grup,” kata Gina sembari pamit kembali ke kamarnya. “Guys, ayo makan aja. Bill, makan gih buah-buahnya. Mbak Rani, rotinya makan aja. Lail, Lingsi makan gih biar cepat gede.” Lail terkekeh. “Mau dong, Iah, sushinya, penasaran gimana rasanya.” “Iya, ambil aja. Gak perlu izin, Lail. Makan-makan aja semua, guys. Aku juga gak akan habis sebanyak ini, mubazir takutnya.” “Gimana Lail rasa sushi enak gak? “tanya Billa kepo. Lail manggut-manggut. “Enak banget. Cobain Bil.” “Serius enak? Gak amis gitu ?” “Gak kok, enak. Cobain deh.” Billa mendekati Lail, mengambil sepotong sushi tapi langsung mengembalikannya lagi. “Gak deh ikannya mentah, pasti bau amis.” “Gak loh, Bil. Gak amis, enak banget apa lagi yang ikan salmon. Dagingnya berasa tebel banget.” Fatiah, ikut bergabung duduk di sebelah Lail dan Billa. Fatiah mengambil satu kotak berisi lima sushi. “Apa lagi, kalo kamu celupin di kecap asinnya, ih...asli enak banget Bil.” Fatiah memasukkan sepotong sushi ke dalam mulutnya. Billa memperhatikan Fatiah dengan ekspresi geli. “Hem...yummy. Cobain deh, aku jamin gak nyesel deh.” Fatiah menyuapkan satu potong sushi pada Billa. Billa ragu. Ingin menolak tapi penasaran. Dan akhirnya memberanikan diri memasukan ikan mentah ke dalam mulutnya. “Gimana, enak kan? “ Billa masih tertegun dengan makanan yang ada di dalam mulutnya, senyum mengembang setelah makanan itu ia telan. “Mau lagi. Ihh, enak banget.” Lingsi dan Rani, tergoda untuk meninggalkan buah-buahan dan mencoba sushi untuk pertama kalinya. “Sumpis, ini enak bet.” Rani berdecak takjub. Dengan mulut penuh, Lingsi mengangguk-ngangguk setuju. “Ini makanan favorit kamu ya, Iah? “tanya Lail. Fatiah mengangguk. “Iya, senang banget. Setiap makan sushi, keingat masa kecil, dulu pas kecil sering banget diajak makan sushi sama—“ “Kamu sering makan sushi? Sama nenek kamu?” sela Billa, menatap bingung. “Tapikan sushi kan mahal. Terus emang ada restoran sushi di desa nenek kamu?" Tatapan Billa membuat Fatiah spontan terbatuk-batuk, kikuk. Lingsi dengan sigap langsung memberikan s**u steril bercap beruang yang ada satu kotak di kamar mereka. “Minum dulu, Iah,” kata Lingsi. Fatiah menuruti perkataan Lingsi dan langsung menegak pelan s**u bercap beruang itu, yang seketika melegakan tenggorokannya. Billa masih menunggu jawaban Fatiah. Fatiah tidak berani menoleh ke arah Billa.“Ehm, kamu tahukan Bill, kalo aku suka nulis dan juga suka baca jadi...hmmm.....” Suara dering ponsel seketika menyelamatkan Fatiah dari pertanyaan Billa. Fatiah buru-buru menjauh untuk mengangkat panggilan telepon. “Assalamualaikum.” “Waaalikumsalam. Gimana suka gak? “ Pertanyaan di seberang sana membuat Fatiah tanpa sadar mendengus keras, yang tentunya terdengar oleh sang penelepon. “Jangan gitu dong,” tambah Fatiah. “Gitu apa? “ “Ya gitu, kenapa kamu kirim makan mewah kayak gitu, gimana kalo mereka jadi curiga sama aku? kamu tahu kan kalo aku—“ Fatiah iseng berbalik dan kaget mendapati Billa berdiri di belakangnya. “Bil.” Suara Fatiah seperti menghilang. Serak. Fatiah langsung mematikan panggilan telepon. Dahi Billa berkerut menatap Fatiah yang nampak aneh, Fatiah terlihat seperti maling yang tertangkap basah. Jari jemarinya bergerak gelisah sembari memegang ponsel. Dan ada keringat yang keluar di dahinya, persis orang yang ketakutan akan sesuatu. “Iah, kamu kenapa? “tanya Billa. “Ha? “ “Iya, muka kamu kok pucat lagi. Masih gak enak badan ya? “ “Hem, itu, iya, eh, gak, alhamdulillah.” Fatiah tergagap. “Oh gitu.” Fatiah tersenyum kikuk. “Mau ke mana, Bil? “ “Ini mau ke warung. Beli mie samyang. Serius deh pengen banget.” “Mau aku temenin gak? “ “Boleh.” “Yuk.” “Eh, btw kamu tadi telepon sama siapa? Suara cowok. Abang kamu ya? “ . . Haikal termenung di atas kasurnya, menatap langit-langit kamar berwarna biru langit. Warna yang Haikal pilih agar kamarnya terlihat seperti langit pagi. Haikal berkali-kali menghela nafas panjang. Memikirkan banyak hal yang memenuhi kepalanya tanpa jeda. Masalah cerpen, lomba cerpen dan sekarang masalahnya dengan Dzawin dan Dziwan. Semua makin rumit. Dan Haikal belum mendapatkan solusi atas semua masalahnya itu, sedangkan waktu terus berjalan. “Ya Allah, hamba nyesel. Seharusnya hamba gak curang.” Haikal bergumam lirih. Masih berharap benar -benar ada keajaiban memutar balik waktu. Haikal ingin kembali ke masa tenangnya yang akhir-akhir ini sirna karena terus mencari pemilik n****+ itu. “Haikal...” suara Ita—ibu Haikal dari luar kamarnya. “Ibu masuk ke dalam ya? “ “Iya, Bu, masuk aja. Pintunya gak Haikal kunci,” kata Haikal masih pada posisi tadi, menatap hampa langit kamar, tanpa berniat untuk mengubah posisi yang terlihat menyedihkan itu. “Anak ibu kenapa sih? Akhir-akhir ini keliatan murung terus? “tanya Ita yang sekarang duduk di ujung kasur Haikal. “Gak, Bu. Gak kenapa-napa.” “Beneran?” Ita menatap putranya itu. Haikal menghela nafas panjang. Tidak ada yang bisa Haikal sembunyikan dari ibunya itu. Sekeras apa pun Haikal menutupinya, ibunya akan tahu semuanya tanpa Haikal jelaskan sekali pun. Haikal mengubah posisinya, beringsut duduk di sebelah Ita. Menyenderkan kepalanya pada bahu ibunya sebagai tempat ternyaman saat hatinya gundah. Ita mengelus pelan kepala putranya itu. “Bu, Haikal buat satu kesalahan, Haikal ingin memperbaiki semuanya, tapi semua malah tambah rumit.” “Apa pun kesalahan yang kamu buat, kamu gak boleh nyerah buat memperbaiki kesalahan kamu. Sebaik-baiknya orang yang salah, itu orang yang mau bertaubat dan melakukan perbaikan.” “Tapi sekarang Haikal sendirian, Bu.” Haikal mengangkat kepalanya, sedih. “Siapa bilang kamu sendiri? “Ita tersenyum menenangkan. “Ada Allah yang selalu ada buat kamu, yang lebih dekat dari urat nadi.” Haikal tersenyum sendu. “Dan kalo kamu sedih, ada ibu di sini. Kamu gak pernah sendirian Haikal. Perasaan sedih kamu yang menarik kamu seolah sendirian.” Haikal memeluk ibunya. Syukur terbesar Haikal setelah Iman dan Islam yaitu kehadiran ibunya. Pahlawan tanpa tanda jasa yang selama ini selalu memberikannya banyak kasih sayang, yang selalu ada untuk menenangkannya, yang selalu mengerti apa yang Haikal rasakan dan selalu menjadi pertama yang menghibur sedihnya. “Bu, jangan pernah tinggalin Haikal ya.” . . “Guys, galon buat kamar kita belum di ambil di depan ya? “tanya Fatiah, selaku ketua kamar. Rani dengan santai menggeleng pelan, tanpa beban. “Belum. Masih di depan.” “Hari ini siapa jadwalnya ambil galon di depan? Jadwal mbak Rani, kan? Sama Lail? “ “Iya, Iah,” sahut Lail. “Ayo mbak ambil galon.” “Duh, aku sekarang aku malas tahu Lail. Entar aja deh, setelah ashar.” Fatiah memilih untuk tidak berkomentar dan menghormati keputusan Rani, tapi sampai hampir azan magrib berkumandang, Rani tidak kunjung bangkit dari kasurnya. Fatiah sudah beberapa kali mengingatkan, tapi hanya dianggap seperti angin lalu bahkan tidak dihiraukan. Lagi. Fatiah menghela nafas berat. Mau menunggu berapa lama lagi? Fatiah keluar. Mengambil galon di aula, sendirian. Meletakkannya di depan teras kamar enam, tanpa mengatakan sepatah kata pun. Dan kembali rebahan di kasur. Billa menyadari kedongkolan yang Fatiah rasakan, namun memilih untuk diam sebagai cara membantu Fatiah meredam kekesalannya. “Iah....” panggil Rani. “Hem? “Fatiah hanya bergumam pelan, tatapannya fokus tertuju pada layar ponselnya, bukan pada Rani. “Iah...udah ambil galon ya? “ “Iya.” “Sendirian? “ “Iya.” “Wah hebat banget, Iah. Kalo aku mah mana kuat. Tulang-tulang aku kecil soalnya.” Fatiah tahu Rani mencoba mencairkan suasana tegang tak kasar mata yang terjadi akibat kemagerannya. “Siapa yang bilang Mbak Rani gak kuat...” sahut Lail. “Mbak Rani kan kuat, buktinya kuat menerima kenyataan dia bersama yang lain.” “Dih si bocil.....” Seketika suasana tegang mulai terurai. Kekesalan Fatiah juga perlahan hilang. Dan Fatiah memilih untuk tidak melanjutkannya lagi dan ikut tertawa bersama mereka. “Tapi BTW, mbak Rani tuh gak jomblo tahu guys,” kata Lail. “Mbak Rani diam-diam punya crocus tahu.” “Idih, bocil ngegosip nih. Siapa tah yang bilang?” “Terus Damian itu siapa mbak? “ Wajah putih Rani seketika memerah. “Eh, bocill....” “Ayo loh mbak Ran, ketahuan,” sambung Lingsi. “Cie mbak Rani.” Billa tidak mau kalah. “Eh, kalian apa-apan sih, dia ruh bukan siapa-siapa aku tahu, cuman tetangga gitu.” “Oh...oh...ini yang pernah bonceng mbak Rani ke kondangan itu ya? “ sambung Lail. “Astagfirullah, guys,” Rani panik mode on. “Ini tuh sebelum aku hijrah guys. Jangan pernah ditiru. Jadi tuh darurat gitu, mau kondangan tapi gak ada yang anter, terus dia mau nganterin gitu. Gitu doang.” “Cie mbak Rani.” “Spill nama IG nya dong, Mbak.” “Siapa ya, Damian21 kalo gak salah.” Dengan kegercepan tingkat 4G, Lail langsung meluncur mencari akun bernama Damian21. “Masyallah, beliau pernah menang lomba kimia,” kata Lail, heboh. “Wah hebat dong mbak, anak teknik lagi nih.” “Apaan sih Lail, orang gak ada apa-apa. Dia ruh gak pernah bilang suka, atau apa gitu.” “Eh, biar aku chat mbak.” “Kamu udah chat apa? “ Lail tersenyum samar. “Udah aku chat.” “Sumpis Lail, parah banget oi....kamu bilang apa tah?” Rani heboh sendiri dan keheboannya itu mengundang tawa Lingsi, Fatiah dan Billa. “Dek-adek...” “Eh, iya Ustadzah...” Fatiah yang refleks langsung bangkit saat melihat ustadzah Lala tiba-tiba masuk ke dalam kamar mereka. “Buruan siap-siap, kayak biasa kita mau kajian malam jum’at di rumah pemilik yayasan.” Setiap dua pekan sekali rutin diadakan khataman Qur’an, yasinan, lalu di lanjut dengan salat isya berjamaah dan terakhir ditutup dengan kajian sampai pukul sebelas malam. Selain santri mahad putri, di sana juga banyak ustadz-ustadz, mahasantri dan beberapa dosen yang datang. “Eh, iya, ustadzah ini mau siap-siap,” sahut Rani, cepat. “Ya udah, buru ya.” “Iya, ustadzah.” Ustadzah Lala langsung pergi ke kamar selanjutnya. Fatiah dan lain bergegas siap-siap. Rani mengambil wudu pertama, selanjutnya bergilir. Setelah mengambil wudu, Fatiah mengganti baju kaosnya menjadi gamis berwarna cream dan jilbab senada, tidak lupa kaos kaki andalannya dan terakhir, pergi dengan sendal jepit. Rumah pemilik yayasan kebetulan berada di dekat mahad, mereka hanya perlu jalan kaki untuk sampai ke sana. “Mbak Rani salat magrib di mahad ?”tanya Fatiah. “Iya, malas bawa mukena ke sana.” “Eh, entar salat isya gimana kalo gak bawa mukena ?” “Salat Isya di mahad aja.” “Kita kan lama pulangnya, Mbak.” “Ya gak papa lah. Sepulang dari sana aja salatnya.” “Emang mbak bisa jamin kalo sepulang kajian masih ada umur ?“ceplos Fatiah lugu. “Astagfirullah, Iah. Ih kamu mah....” Rani meringgis setengah takut. “Mukena bagus aku teh masih basah. Gak enak bawa mukena buluk ke sana.” “Iah, salat magrib di rumah prof aja yuk,” ajak Billa. “Iya, yuk.” Fatiah meraih mukena miliknya. “Yuk kita pergi sekarang, keburu azan entar. Lail, Lingsi mau salat magrib di sini atau di rumah prof ?” “Hem, salat di sana aja deh,” sahut Lingsi. Lail juga setuju. “Mbak Ran, kalo gitu kita berempat duluan ya...” “Iya. Nanti aku bareng yang lain aja.” “Iya, Mbak.” “Yuk, guys...” “Eh, Bill, kamu udah baca grup belum?” kata Lail, seperti biasa gercep mengenai segala yang berhubungan dengan informasi. “Emang ada Info apa Lail?” tanya Billa, kepo. “Hari ini anak Prof yang kuliah di luar negeri pulang tahu.” “Eh, iya kah? Kata siapa? “ “Kata Gina. Gina tahu dari ustadzah Lala.” “Cewek atau cowok? “ “Cewek.” “Eh, Billa, Lail, buruan jalannya udah azan guys,” pekik Fatiah yang sendari tadi berjalan beriringan di depan bersama Lingsi. . . Suasana malam jumat terasa kental. Ayat Al-Qur’an dilantunkan setiap orang yang duduk bersama dengan khidmat di lantai beralaskan ambal berwarna merah. Sesekali mereka menggerakan kepalanya ke kanan-ke kiri, menikmati bacaan Al-Qur’an yang sedang mereka baca. Terasa sangat sejuk dan menenangkan di hati. Di pojok kanan, kumpulan santri putri melantunkan ayat Al-Qur’an dengan malu-malu, pasalnya dibarisan depan terdapat beberapa santri putra, ustadz-ustadz muda yang masyallah, menggetarkan hati. Ada juga santri putri yang diam-diam mencuri pandang, tentunya secara naluri perempuan akan merasa salting akan situasi seperti ini, meski tidak ada orang yang mereka sukai. Fatiah merasakan perasaan itu. Terlebih Fatiah duduk di barisan paling depan, bersama Lingsi yang duduk tepat di sebelahnya. Setelah kalah dalam perebutan mendapatkan posisi di belakang. Mengabaikan situasi itu, Fatiah fokus dengan bacaan juz 23 yang menjadi bagiannya. Sedangkan Lingsi kebagian juz 25. Mereka baca bersama tapi... “Sadaqallahualzim.” Fatiah spontan menoleh. Lingsi telah selesai dengan satu juznya, sedangkan Fatiah masih jauh dari kata selasai. “Udah? “ “Iya, Udah.” Fatiah mengedarkan pandangnya sekilas, sudah banyak yang selesai, hanya beberapa orang yang belum tapi tinggal beberapa halaman saja. Rasa cemas muncul di benak Fatiah, sebentar lagi azan Isya berkumandang, wajar saja banyak yang telah selesai dengan juznya. Dialah yang lambat. Fatiah mempercepat bacaannya. Rasa panik memperburuk segalanya. Bukannya cepat, Fatiah malah terbata dan berakibat malah semakin lama menyelsaikan satu juz bagiannya. “Iah, kamu masih berapa lembar lagi? “ tanya Lingsi, seperti menyadari kegelisahan Fatiah. “Lima.” “Mau aku bantuin gak? “ “Iya boleh.” “Oke. Aku baca sebelah ini ya.” “Iya.” “Shadaqallahualzim.” Fatiah menghela nafas lega. Meski nyaris terakhir, tapi Fatiah telah menyelesaikannya tepat waktu. Tepat saat yang lain hendak melanjut ke baca yasin bersama. “Makasih ya, Lingsi,” bisik Fatiah. “Iya, sama-sama.” “Kamu lincah banget baca Al-Quran. Gak kayak aku lambat banget.” “Suatu saat kamu juga bakal lincah bacanya.” Setelah khataman dan Yasinan tidak lama azan Isya berkumandang. Salat Isya berjamaah digelar. Lalu sebelum lanjut ke sesi kajian, Prof selaku tuan rumah menjamukan hidangan makan malam untuk semua orang. Sesi makan. Setelahnya kembali ke ambal merah lagi. Kali ini Fatiah dan Lingsi berhasil menduduki barisan belakang, bergabung bersama Lail dan Billa. “Lail, gimana ya caranya biar bisa baca Al-Qur’an lancar kayak kamu?” tanya Fatiah yang masih resah dengan ketidak singgapnya seperti yang lain. Fatiah kadang merasa bahwa dirinya tidak seragam seperti yang lain. Mereka sangat pandai dalam membaca Al-Quran, sedangkan dia? Terbata-bata. Jelas ini menjadi insecure terbesar yang Fatiah rasakan dan kadang menjadi struggle yang membuat Fatiah merasa tidak pantas berada diantara mereka. Berlian Al-Quran. “Ya ngaji aja,” sahut Lail, santai. “Tapi kenapa ya kadang masih lambat gitu, kayak terbawa gitu? “ “Ya... itu tanda artinya kamu jarang baca Al-Qur’an makanya gak lancar bacanya.” Deg! Singkat, padat dan menyakitkan. Fatiah tidak tersinggung karena perkataan Lail. Itu benar adanya. Fatiah hanya berusaha menghafal tapi tidak dengan mengenal Al-Quran dengan baik. Hukum-hukum bacaan, cara baca, Fatiah masih mengabaikan semua itu. Wajar jika Al-Quran masih belum mau bersahabat dengannya. “Iah ....,” panggil Billa. “Kenapa? “ “Temenin aku balik ke mahad bentar yuk.” “Emang boleh? Entar ustadzah marah loh bolos kajian.” “Ya, ini ustadzah yang nyuruh. Pagar mahad tadi belum dikunci, makanya ustadzah nyuruh kita bukan balik ke mahad dulu.” “Oh ya udah, ayo aku temenin, mumpung kajiannya belum mulai.” “Bentar aku minta kuncinya dulu ke Ustadzah Lala. Ustadzah Lala lagi ke kamar mandi.” “Aku tunggu di depan aja ya, biar cepat.” “Iya.” Acara kajian diadakan di ruang tengah, rumah bertingkah dua ini. Untuk keluar dari rumah, Fatiah harus melewati tiga kamar tamu yang berjejer sebelum ruang tamu. “Fatiah...” Langkah Fatiah terhenti. Fatiah spontan menoleh ke asal suara yang berada di belakangnya. “Tuhkan benar, ternyata emang kamu,” gumam gadis berusia dua puluh tahunan dengan senyum rama. Dahi Fatiah berkerut, seperti mengenali senyum itu. Tapi tidak ingat. “Lupa ya sama mbak? “ “Ha?” “Mbak cantik.” “Mbak...” suara Fatiah tertahan. “Ingat sekarang? “ Fatiah mengangguk kaku. Mbak Aisyah, gadis yang seanggun namanya. Berparas manis dan tinggi semampai. “Kamu ke sini bareng mama papa kamu ya?” “Ha? “ “Mau ikut kajian juga? Mana mbak kamu, udah lama gak ketemu. Kabarnya gimana? Pasti tambah cantik.” “Alhamdulillah, baik mbak.” “Bagus kalo gitu. Mbak minta nomor ponsel kamu sama mbakmu dong.” Fatiah mengangguk cepat. “Oh iya, kamu gak mau nanyai kabar—“ “Iah,” panggil Billa tanpa sadar menyela percakapan Fatiah dan Aisyah. Billa muncul dan langsung menyadari kehadiran Aisyah di sana. Billa tersenyum sopan sebelum diam-diam melempar tatapan tanya pada Fatiah. Pertanyaan yang akan sulit Fatiah jawab. **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN