XXXI

1789 Kata
Billa menyodorkan tisu pada Fatiah. Bila iba pada Fatiah, yang sejak tadi menangis tanpa suara. Fatiah harus membayar kacamata yang ternyata harganya sangat fantastis. Billa tidak bisa melakukan apa pun, selain memberikan dukungan seperti ini. Di kamar enam, tidak ada yang tahu masalah ini kecuali Billa, yang memang berada di tempat kejadian. Fatiah tidak memberitahu masalahnya pada siapa pun dan bahkan meminta Bila untuk tidak menceritakan perkara ini pada yang lain. Fatiah tidak ingin mereka juga terbebani atau malah berusaha membantu. “Aku masih gak nyangka tuh kacamata bisa semahal itu,” gumam Bila, tanpa sadar membuat tangis Fatiah makin menjadi. Fatiah terbayang nominal harga yang harus ia ganti. Harga kacamata itu, jika ditotalkan setara uang makannya selama tiga tahun. Bagaimana tidak harga kacamata itu cukup mahal bagi Fatiah yang tidak memiliki uang. Satu juta, itu mahal bagi kantong pelajar. “Hu....gimana Bil ? Uang sebanyak itu mau dapat dari mana?” kata Fatiah di sela isaknya. “Aku harus kerja rodi di mana buat dapat uang segitu ?” tangis Fatiah menjadi-jadi, hidungnya seketika mampet, dipenuhi lendir yang membuatnya kesulitan bernafas. Bila mengocek sakunya, miris, hanya ada satu lembar berwarna biru di sakunya. Uangnya ini tidak akan bisa membantu meski hanya seperempat. “Iah, maaf ya, aku cuman ada uang segini. Gak seberapa emang, tapi tolong kamu terima ya...” Fatiah tertegun melihat selembar uang yang nominalnya memang tidak besar, tapi niat di balik uang itu, jauh lebih besar dari semua ini. Itu uang Billa satu-satunya selama sepekan ini, Billa mengatakan itu waktu mereka hendak jajan di kantin. Kedua orang tua Billa mengalami gagal panen sehingga kemungkinan untuk memberi uang sangat tidak mungkin. “Bil, makasih ya, tapi aku gak bisa terima uang kamu ini. Gimana kalo kamu ada kebutuhan mendesak, uang ini penting buat pegang kamu. Kamu di sini dengerin aku curhat udah cukup kok buat aku.” “Hem, terus kamu gimana? “ tanya Billa prihatin. “Aku bakal cari kerja, Bil. Kak Bagus ngasih waktu dua bulan buat ngumpulin uang.” “Caranya? “ . . “Ya Allah, cari di mana uangnya?” Haikal menghela nafas panjang, entah sudah berapa kali ia melakukan kegiatannya sekarang. Menghela nafas panjang, seraya mondar-mandir di dalam kamar sembari memupuk keberanian untuk mengatakan semua ini pada ayahnya. “Ya Allah, semoga ayah ada uang segitu,” Haikal meraih gagang pintu kamarnya, sedetik berikutnya ia kembali melepaskan gagang itu, terserang ragu yang datang kembali. “Tapi ayah udah lama cuti, jadi kemungkinan gaji ayah juga di potong, kan?” gumam Haikal lagi. Haikal mengetuk-ngetuk baku tangannya di pintu, sejujurnya selain ragu, Haikal juga tidak enak hati meminta uang sebesar itu karena kecerobohannya, atau lebih tepatnya kecerobohan gadis itu. “Ah.... “ Haikal menghela nafas berat. Sejak awal di sudah menebak bergabung di les tambahan berkedok eksul itu tidak akan baik untuknya. Dan hal itu terbukti. Baru satu hari bergabung dan dia sudah memiliki masalah. “Gak ada pilihan lain,” gumam Haikal lagi, kali ini dia sudah membuka pintunya dan berjalan menyusuri tangga menuju kamar ayahnya. Haikal memperhatikan rumahnya. Sangat sepi dan sedikit berantakan. “Rumah sepi banget semenjak ibu gak ada. Emang benar ya, rumah selalu butuh sentuhan wanita biar selalu berwarna,” Haikal tanpa sadar merancau diiringi suara langkah kakinya. “Seharusnya nih bang Fauzan nikah, biar ada cewek di rumah ini. Biar rumah ini ada yang ngurus gak kayak kuburan gini,” cerocos Haikal. “Tapi gimana juga mau nikah, kerjaannya di kamar muluk.” “Enak kali ya nikah? Nikah sekarang aja deh.” “Udahlah gue aja yang nikah duluan kalo gini.” Eh— Haikal tersadar dari cerocosannya sendiri. Enteng banget mulutnya mengatakan ingin menikah di usia semuda ini. Mau di kasih makan apa anak orang? Makan batu ? Aneh-aneh aja. Nuntut ilmu aja masih malas-malasan, eh ini mau nuntut punya istri. Hadehhh... Haikal... “Astagfirullah ...” Haikal terkekeh atas pemikiran random-nya. Tangannya memukul pelan kepala, agar dialog tidak masuk akal itu berhenti, karena sekarang langkahnya sudah berada di depan kamar Abbas—ayahnya. Haikal hendak meraih gagang pintu, membuka lebih lebar pintu yang sudah setengah terbuka. “Iya, Yah, Fauzan yakin untuk menikah.” “Ha?” Pergerakan tangan Haikal terhenti mendengar kata menikah. Abangnya mau nikah? Eh, sama siapa? Perasaan kerjaannya cuman berduaan sama laptop. Gak mungkin sama laptop, kan? “Kalo itu keputusan kamu, ayah akan dukung keputusan kamu itu. Besok kita lamaran ke sana, oke?” “Secepat itu, Yah? Tabungan Fauzan belum cukup.” “Tenang, entar semua biayanya ayah yang tanggung.” “Fauzan maunya nikah dengan uang kerja keras Fauzan, Yah.” “Dan ayah, maunya kamu mempersegerakan pernikahan. Gak baik menuda-nunda hal baik. Dan untuk uang yang ayah kasih buat kamu, kamu bisa anggap sebagai hadiah ayah buat pernikahan kamu. Dan kalo kamu masih gak mau itu, kamu bisa bayar saat uang tabungan kamu cukup. Gimana? “ Fauzan tersenyum dan langsung memeluk Abbas. Diam-diam Haikal juga tersenyum. Ia menarik kembali langkah kakinya sebelum kehadiran sebagai pendengar ilegal diketahui. Ini kabar gembira, Haikal seharusnya tersenyum, tapi entah kenapa air mata malah merembes di pelupuk matanya. jika abangnya melihat ini, bisa habis Haikal menjadi bahan olok-olok. Akhirnya kecemasan Haikal terpatahkan sudah. Abangnya itu tidak akan menikah dengan laptop dan sejenisnya. Haikal kembali ke kamarnya. Dia akan berpura-pura tidak tahu, sampai abangnya itu yang memberi tahu kabar gembira ini. “Ah, gak nyangka, tuh manusia akhirnya bisa nikah juga,” gumam Haikal, masih dipenuhi rasa hangat di hatinya. “Hem, terus gimana sama uang buat ganti rugi kacamata? “ Haikal termenung, membayangkan nominal uang yang bukan kaleng-kaleng, dan parahnya lagi, Haikal sama sekali tidak memiliki tabungan. “Gak enak dong kalo minta sama ayah. Nikah, modalnya gak sedikit. Uang ayah bisa habis kalo di gue juga minta. Ck.. terus gimana dong?” “Telepon duo kembar deh.” Haikal meraih ponselnya yang sejak lima jam tadi dia angguri di atas nakas meja. Dalam kebimbangannya itu, di kepala Haikal hanya teringat pada dua kembar, barang kali mereka menjadi pelantara Allah untuk membantu Haikal menemukan solusi yang tepat. “Assalamualaikum, dengan siapa di sana...” Itu suara Dzawin, bagaimana Haikal tahu? Jelas suara Dzawin dipenuh dengan nada ketengilan yang tidak dimiliki Dzawan, meski keduanya sama-sama gesrek. “Waalaikumsalam. Eh gue mau curhat dong.” “Idih dikata ini mama curhat dong,” sahut Dzawin. “Gue serius.” “Idih ngeri bet... di umur selabil ini loh dah berani serius aja. Jadi siapa namanya?” “Ha? Nama apa? “ “Si mempelai wanita.” “Loh gila ya?!” “Idih. Lo sendiri yang bilang mau serius. Gak mungkin kan Lo mau serius sama gue. Idih amit-amit cabang kebo. Gue normal.” Haikal memutar bola mata, jengah. “ Inikan nomor Dzawan, kenapa Lo yang angkat ?! Gue mau ngomong aja sama Dzawan.” “Kisanak, tahukah kamu, perkataanmu itu telah meremuk ruamkan hatiku. Tempat mana yang bisa aku singgahi untuk menghapus setiap luka yang kini telah tergores nyata? Kenapa harus ada kata berdua? Kenapa mudah sekali kamu menabur luka, seolah hati ini lahan sawah yang ditaburi dengan bibit kepedihan. Begitu menyakitkan. Kalian hanya ini berbicara berdua tanpa aku. Kalian ini membangun tempat berdua saja? Tanpa aku? Bagaimana bisa? It’s not my dream. It’s not! ” “Dah dramanya?” “Gimana bagus,kan akting gue? Dah cocokkan ajdi pemain piano? “ “Iya, dah cocok. Buruan kasih ke Dzawan, gue butuh solusi nih.” Haikal memutar bola matanya. “Buruan.” “Iya, iya, Lo serius amat sih. Tunggu bentar napa.... tuh anak lagi boker di kamar mandi,” sahut Dzawin. “Bang buruan! Lo boker apa bertelur sih? Lama banget!” “Berisik! “ “Buruan, nih ada yang nyariin Lo! “ “Siapa?! Bilangin gue lagi di kamar mandi.” “Orang penting nih, gue bilang Lo lagi boker! “ “Ah s****n Lo! Malu bet gue! “ “Suara Lo juga kedengaran nih lagi teriak dari kamar mandi.” “Ah dasar adek durhaka Lo! Kenapa gak Lo matiin dulu!” Dzawin cekikikan di moncong ponsel membuat Haikal refleks menjauhkan gendang telinganya dari ponsel. Tidak lama, terdengar dari sebrang suara decitan pintu terbuka. Dan tidak lama, suara Dzawan menyapa indra pendengarnya Haikal. “Oh Lo Kal, gue udah cemas. Gue pikir siapa. Udah malu banget gue karena si anak nyebeliin ini,” cerocos Dzawan tanpa memberi jeda untuk Haikal. Ditambah lagi, suara Dzawin di sebrang sana yang terus meminta Dzawan untuk di nyalakan speaker panggilan. “Mau ngomong apa Kal? “ tanya Dzawan setelah berdebatan duo kembar itu selesai, yang di menenangi oleh Dzawin. “Ini gue punya masalah di eksul nih.” “Wah keren bet Lo, baru masuk eksul sehari dah buat masalah aja. Gimana setahun, bisa jadi biang onar Lo,” sahut Dzawin. “Gue juga gak sengaja, kali. Atau lebih tepatnya bukan gue yang salah, tapi gue juga masuk kategori salah.” “Gimana-gimana? Kok gue gak mudeng ya? Lo gak salah, tapi lo masuk salah? Apa sih gak paham gue,” sela Dzawan. “Iya, tahu nih Lo, ngomong yang jelas dong jangan kayak rumus MTK, ribet,” tambah Dzawin. “Pokoknya masalah ini karena kecoak, kacamata dan gadis. Udah itu aja. Entar cerita lengkapnya, in syaa Allah, kalo gue ingat, gue ceritain besok di sekolah. Nah yang terpenting sekarang itu sekarang gue butuh uang. Kalian ada solusi gak? “ “Lo butuh uang?” ulang Dzawin, terdengar sangat serius. Haikal refleks mengangguk. “Yah kerja. Emang lo berharap dapat solusi apa? Tanem pohon uang? Ya kali, Kal. Lo aneh-aneh aja dah,” sahut Dzawin. Haikal menghela nafas panjang. Lelah, menghadapi kekonyolan Dzawin. “Kalo gitu gue juga tahu kali. Maksud gue tuh, kalian ada solusi buat dapat uang.” “Gue setuju sama si Dzawin sih, Lo butuh uang ya solusinya cuman kerja. Terus apa lagi ?” Kali ini Dzawan angkat bicara. “Iya, tapi kerja apa? Gue bingung nih gue mesti dapat uang dalam dua bulan ini.” “Lo buat masalah apa sih, Kal ? Kok kesannya kayak di kejar rentenir,” celetuk Dzawin. “Gue ada baca tuh kemarin di grup WA keluarga. Ada TPA dekat rumah kita yang lagi cari guru ngaji. Ngajarnya dari pukul lima sampai magrib, gajinya gak seberapa sih, tapi lumayan buat Lo nabung.” “Eh, tapi ngaji gue gak bagus-bagus amat.” “Alah, mau muntah gue dengarnya. Gak usah sok merendah buat meroket dah, dah basih,” celetuk Dzawin lagi dari sebrang sana. “Tapi hukum-hukum tajwid sama mahkraj huruf Lo lumayalah, buat jadi guru ngaji. Entar Lo juga gak ngajar sendirian. Ada beberapa guru juga.” “Hem, gimana cara daftarnya? “ “Ya entar besok Lo ke rumah kita aja. Biar kita langsung anter ke musholanya.” **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN