Fatiah menghela nafas panjang, lagi-lagi, dia mendapatkan kesulitan ini. Sudah lima jam Fatiah mentapakuri lembar demi lembar Al-Quran, tapi yang bisa dia hafal hanyanya beberapa ayat, dan itu pun belum lancar.
Fatiah tertegun, awal dia mulai menghafal, langit masih nampak terang dan sekarang, langit mulai menggelap pertanda matahari akan segera lengser dari posisinya.
“Ya udah, ustadzah bolehin hari ini. Tapi besok, kamu wajib setoran hadapan kamu ya.”
“Ya Rabb, gimana mau nyetor kalo gini,” gumam Fatiah, murung. Fatiah menatap nanar mushaf Al-Qurannya. Sulit banget jadi sahabat kamu ya Al-Quran. Kamu masih marah ya sama aku? Gara-gara dulu aku sering banget ngabain kamu malah hampir gak peduli sama kamu... Ngaji kalo di sekolah aja. Kamu cuman di simpen di lemari, sampai debuan.
Maafin aku yang dulu ya...tolong jangan marah lagi. Apa sekarang kita bisa jadi sahabat? Bisa saling mengingat? Menyimpan tiap ayat di dalam benakku. Semoga kelak doaku di ijabah dan semoga Allah senatiasa meneguhkan hatiku untuk selalu bersamamu, meski kesulitan ini terus mencoba membuatku mundur. Doakan aku terus istiqomah. Aamiin—batin Fatiah lirih.
Fatiah beranjak dari bangku yang telah menemaninya sejak tadi. Kedua tanganya memeluk erat mushaf, sembari menekan rasa sedih yang menggumpal di dalam hatinya.
“Iah, abis dari mana aja? Dari tadi di cariin Qonit tuh,” sambut Billa begitu Fatiah masuk ke kamar.
“Nyariin kenapa? “
“Gak tahu kenapa.”
“Sekarang dia mana? “
“Balik ke kamarnya. Tapi dia tadi bilang, mau balik lagi ke sini kalo udah selesai nyapu kamarnya.”
“Oh, gitu.”
“Tadi habis hafalan ya, Iah? “
“Iya.” Fatiah teringat kembali mengenai nasib hafalannya. Fatiah mengangguk lesu, namun sebaik mungkin Fatiah mengendalikan ekspresi wajahnya hingga Billa tidak sadar kalo Fatiah merasa sangat sedih.
“Rajin banget kamu. Mau nyetor berapa lembar ?”
Boro-boro satu lembar, lima ayat aja gak lancar—batin Fatiah mencemooh.
“Eh, Kamu lagi ngapain, nonton film ya?” tanya Fatiah mengalihkan topik pembicaraan. Fatiah menghampiri Billa, yang sedang santai duduk di atas kasurnya.
“Iya, biasa, Iah. Ngusir bosen.”
“Gak nyiapin hafalan buat entar malam? “
“Udah, rencananya cuman mau setoran dua halaman doang.”
Hem...ya Rabb, ampuni hamba jika hati ini merasa sedih saat yang lain begitu mudah bersama Al-Quran.
Fatiah mengedarkan pandangnya. “Mbak Rani, Lail sama Lingsi kemana?”
“Lagi keluar bentar, beli jajan di depan lorong.”
“Nonton film apa sih, Bil? Film horor ya? “
“Iya. Film dari malaysia. Gak serem-serem amat. Tuh liat aja,” kata Billa, tangannya menggeser ponselnya agar berada di tengah.
Tiba-tiba ada notif panggil masuk di ponsel Billa.
“Galih? “ Fatiah tanpa sengaja membaca nama kontak yang mengambil.
Raut wajah Billa seketika berubah, ia langsung menarik ponselnya.
“Galih, nama abang kamu Bil? “
“Ha? Ehm itu.” Billa tergagap. “Eh, bentar ya, aku terima panggilan telepon dulu.”
“Iya, silahkan aja, Bil.”
Billa buru-buru keluar kamar, menuju teras kamar. Sedangkan Fatiah, meraih ponselnya yang sejak tadi ia matikan.
Ada notif pesan yang baru saja Lail kirim.
‘Iah, kamu sama Billa mau titip cilok gak? Ada nih cilok kesukaan kalian.’
‘Iya aku mau, Lail, aku cilok belinya lima ribu aja.’
‘Billa gak sekalian titip? ‘
‘Bentar aku tanyain ke orangnya dulu.’
“Bila, kamu mau nitip cilok gak? “ tanya Fatiah pada Billa yang masih sibuk dengan panggilan ponselnya, dia sama sekali tidak mengubris pertanyaan Fatiah.
“Bill... “ panggil Fatiah lagi. Billa tidak menyahut sama sekali.
‘Aku gak tahu Lail, Bila mau atau gak. Dia lagi sibuk telepon.’
‘Coba tanya lagi Iah, gak enaklah entr ternyata dia mau nitip.’
‘Bill, kamu mau nitip cilok gak?’
‘Bil....”
“Ternyata benar ya!” bentak Billa, tiba-tiba. “Kamu beneran selingkuh!”
Fatiah tersentak kaget, setelah raut wajah marah kini Bila beruraian air mata.
“Emang benar, seharusnya dari dulu kita putus. Mulai sekarang kita putus!” kata Billa sebelum mengakhiri panggilan sepihak.
Billa menoleh dan mendapati Fatiah yang sejak tadi tanpa sadar menjadi pendengar ilegal.
“Iah ....” Billa terisak. “Seharusnya aku dengerin omongan kamu. Seharusnya aku emang gak pacaran. Seharusnya dari lama aku putusin dia. Sekarang aku nyesel.”
“Selama ini aku gak putus sama pacar aku. Aku bilang putus, supaya kamu gak kasih tahu masalah ini ke ustadzah. Aku udah bohongi semua orang dan sekarang aku dapat balasannya. Dia ternyata selingkuh. Dan selingkuhnya itu teman satu pondok aku.”
“Aku nyesel, kenapa gak dengerin omongan kamu dari awal. “Aku gak nyangka banget, Iah. Tega-teganya mereka ngekhianatin aku kayak gini
“Udah Bil, mungkin ini jalan terbaik buat kalian. Allah mau kamu terhindar dari yang namanya pacaran, makanya Allah kasih sedikit luka di hati kamu, sebagai pelajaran. “
“Yang terjadi udah terjadi, it’s okey, yang terpenting sekarang kamu fokus ke masa depan. Oke.”
Billa mengangguk kaku. Raut kesedihan masih terpancar jelas di wajah Billa. Fatiah sadar betul, tidak semudah itu melupakan perasaan yang sudah meneyemai di hati. Tidak semudah menerbangkan kata-kata di udara.
“Gimana kalo kita nyambung nonton lagi? Tanggung nih tadi, dari pada galau-galaun.”
“Ehm, iya, dari pada mikirin orang gak jelas itu. Mending kita nonton lagi,” sahut Billa berusaha menepis sejauh mungkin patah hatinya.
“Eh, eh, guys....” tiba-tiba Qonit datang terburu-buru.
Qonit merupakan anak kamar tujuh, yang artinya kamarnya bersebelahan dengan kamar enam. Terkadang jika sedang suntuk, Qonit suka bertamu ke kamar enam, sekedar duduk-duduk atau curhat.
“Eh Bill, tahu gak anti...”katanya dengan nafas tersengal-sengal. “Tuh cowok anti kirim pesan ke ana.”
“Kirim pesan apa? “
“Itu, dia nanyai kabar anti.”
“Coba liat.” Billa meraih ponsel Qonit.
“Tuh, dia juga cerita tentang masalah kalian. Padahal ana, sama sekali gak nanya.”
“Tuh, cowok maunya apa sih.” Billa mendengus kesal, matanya mulai berkaca-kaca.
“Makanya ana bingung, harus balas apa. Ana juga bingung tuh orang dapat nomor ana dari siapa. Antum gak kasih nomor ana ke dia, kan? “
Billa menggeleng. “Gak lah, ngapain juga kasih nomor kamu ke dia. Aku baru aja block nomor dia.”
“Terus ana harus jawab apa nih?”
Billa tertegun.
“Iah, antum aja yang balas,” ujar Qonit tiba-tiba.
“Eh, kok aku?”
“Iya, soalnya antum, kan pintar tuh ngerangkai kata,” tambah Qonit.
“Emang dia kirim pesan apa sih?”
“Tuh liat...”
Teks :
‘Wajarkan kalo saya selingkuh. Dia sama sekali gak ingat semua jasa saya ke dia. Semudah itu dia putusin saya. Bilangnya gak mau pacaran, klasik banget alasannya, bukannya sebelum pacaran dia udah tahu kalo dalam Islam gak boleh pacaran, lah kok sekarang sok-sok-an bilang mau putus karena gak mau pacaran.’
“Aku balas ya Bil?” Fatiah meminta izin sebelum jarinya bergerak lincah di atas ponsel.
‘Dari pada saling menyalahkan satu sama lain, ada baiknya kita saling introspeksi diri.’
‘Manusia itu tempatnya salah. Ga pernah luput dari yang namanya kesalahan. Jangan menghukumi taubat seseorang dari masa lalunya. Urusan hati bukan urusan manusia. Kalo kemarin Billa salah dalam mengambil keputusan, apa lantas bisa selalu menghukumi bahwa Billa akan selalu salah dalam mengambil keputusan ?’
‘Jelas salah dong, dia itu plin-plan! “
‘Salahnya di mana? Pacaran dalam Islam itu di larang. Saya tidak perlu repot memberi tahu dalil, karena saya tahu, anda lebih tahu hal itu ketimbang saya. Namun sebagai sesama muslim, saya hanya mengingatkan, barang kali ayat yang sudah antum hafal itu, terlupa ditutupi rasa cinta yang sulit untuk dibendung. It’s okey, mungkin dari kesalahan itu antum dan Billa bisa belajar lebih banyak lagi.’
‘Ini gak benar! Kalo Billa putusi saya gini, sama aja dia nyampakin saya. Jadi selama ini dia cuman manfaatin saya! “
‘Bukannya situ ya yang selingkuh?’
Fatiah berdecak pelan. Menghadapi pria yang suka playing victim, memang sulit. Sebesar apa pun kesalahannya, dia akan bertingkah seolah dia yang tertindas, seolah dia korban atas semua yang terjadi.
‘Anda gak berhak ya mengomentari hubungan saya !”
Apa dia bilang? Tidak berhak mengomentari? Fatiah spontan menggeleng-geleng, tidak habis pikir, bagaimana jalan dari pikiran pria ini. Fatiah bersyukur Billa bisa tersadar dan keluar dari jerat pria seegois ini.
‘Anda bilang saya tidak punya hak untuk mengomentari ? YAP! Saya memang tidak berhak, tapi apa anda sadar, siapa yang membuka obrolan pertama? Siapa yang memberi ruang untuk saya berkomentar?
‘ANDA!’
‘So ya, sekali lagi, di sini saya bukan ingin bermaksud menggurui antum. Saya hanya ingin mengingatkan, Allah tidak pernah menutup satu pun pintu taubat. Maka, tidak ada kata terlambat untuk menyadari kesalahan itu.’
Huft.. Fatiah menghela nafas panjang, menyerahkan kembali ponsel Qonit pada pemiliknya.
“Udah, Iah ?”
“Udah.” Fatiah mengangguk pelan.
“Masyallah, kata-kata antum keren banget! Langsung skakmat dia,” ujar Qonit.
“Makasih ya, Iah,” tambah Billa.
“Sekarang aku sadar Iah, ternyata ini alasan kenapa Allah melarang kita untuk mendekati zina (pacaran). Pacaran cuman buang-buang waktu dan capekin aja.” Billa menunduk dalam, pada sorotan matanya terlihat jelas riak penyesalan.
“Yang udah berlalu, gak perlu ditangisin Bil, cukup dijadiin pelajaran untuk ke depannya, oke....” Fatiah menepuk pelan bahu Billa.
“Iya, Bil, gak perlu sedih ....”tambah Qonit.
“Semoga Allah senantiasa jaga kita ya, biar bisa istiqomah untuk tetap jomblo sampai halal.”
“Aamiin.”
“Iah, pokoknya kamu harus jaga diri kamu ya, jangan mau pacaran. Jangan percaya sama kata-kata buaya berkedok santri.”
**