XXXVI

2467 Kata
Hari sabtu kali ini berbeda dari sabtu biasanya. Jika biasanya hari sabtu dan ahad, hari yang tidak disukai para penunggu setia mahad. Lantaran mahad akan sepi melompong di tinggal para santri yang memilih pulang ke rumah. Namun suasana berbeda di hari sabtu kali ini, suara tawa, suara heboh para santri masih menemui aula mahad. Akan ada acara di mahad utama besok pagi, sehingga para santri memilih untuk bermalam ahad di mahad agar bisa berangkat ke mahad utama bersama-sama menggunakan bus. “Enak nih kalo gitu, ramai semua.” Rani tersenyum lebar. Dalam hal ini Rani lah penunggu setia pondok, karena kampungnya yang jauh tidak memungkinkan Rani untuk pulang-pergi mahad. “Iya ih, ini pengalaman pertama aku malam minggu di mahad,” sahut Lail. “Ternyata seru juga ya, asik.” “Iyalah asik, kamu aja yang tiap ahad pulang muluk,” tambah Rani. “Malam-malam gini enaknya ngemil ya. Jajan yuk guys,” saran Rani. “Nih ana udah cek-cek, ada makanan diskon plus gratis ongkir. Pada mau beli gak? “ “Emang makanan apa, Mbak? “tanya Fatiah. “Seblak. Ada banyak macem nih, Seblak sosis, seblak ceker, seblak bakso....” “Aku mau beli minuman aja, Kak. Udah kenyang makan,” kata Lail. “Nah cocok Lail, buat nemenin bikin tugas sekolah. Aku juga mau beli minuman deh,” sahut Lingsi yang sejak tadi sibuk mengerjakan sesuatu di laptopnya. “Kamu mau beli minuman apa? Mau nitip.” “Bobo, enak kali ya? “ “Eh, emnag gak pada mau makanan nih? Lumayan guys murah tuh cuman sepuluh ribu gratis es jeruk juga. Enakkan ini,” sela Rani. “Gak deh Kak. Aku mau minum boba aja,” sahut Lingsi sejalan dengan Lail. “Bil, Fatiah, mau beli seblak gak? “ kini Rani mengalihkan perhatiannya pada Fatiah dan Billa yang sendari tadi asik mengobrol. “Ngobrolin apaan sih kalian? Kayak seru banget?” tanya Rani penasaran. “Ini Mbak, kemarin kan Billa sakit, terus aku nanyain kira-kira besok dia bisa gak ikut ke mahad utama. Kalo gak bisa ikut, aku mau izin ke ustadzah buat nemenin dia di mahad.” “Oalah, gitu. Terus gimana, badan kamu udah enak, kan?” tanya Rani. “Sayang loh besok gak ikut ke mahad utama. Sekalian jalan-jalan tahu, Bil.” “Iya, Kak. Aku rencananya mau ikut. Badan aku udah enakkan kok,” sahut Billa. “Nah gitu. Eh, jadi pada. Mau gak beli seblak juga? Besar nih porsinya, murah juga. Mau gak?” “Aku mau deh Mbak, seblak bakso.” Fatiah akhirnya tergoda tawaran Rani dan terpaksa menggunakan dana cadangan dari uang utama yang sudah ia masukan ke dalam tabungan untuk mencicil hutangnya. “Bil, kamu gak mau beli juga?” “Gak dulu deh, mbak.” “Ya udah kalo gitu. Aku udah pesan dua porsi. Bentar lagi sampai. Iah kamu aja yang ambil ya, jilbab aku kotor semua. Gak ada jilbab, sama males pake rok.” “Iya, Mbak. Kasih tahu aja kalo udah sampai.” “Sip.” “Eh, ada pemberitahuan di grup nih. Katanya jangan lupa, besok harus pakai dress code hitam putih,” kata Lail. “Iya, waktu itu ustadzah udah pernah kasih tahu sih,” sahut Fatiah. “Kamu pakai baju sama jilbab yang mana Iah? “ “Ini aku pakai kemeja putih terus rok hitam, nah jilbabnya aku pinjam yang mbak Rani.” “Oh, kalo aku mau pakai gamis hitam aja deh, jilbab hitam. Soalnya aku gak ada baju putih.” “Emang boleh, ya? “ “Hem, gak tahu sih.” “Menurut ana boleh-boleh aja gak sih. Soalnya ana juga mau pakai rok putih baju putih terus jilbabnya, warna putih s**u,” sahut Rani. “Iya, gak masalah kali ya, Kak. Kan cuman seminar sama kajian aja,” tambah Lail. “Eh, Iah, abang ojeknya bentar lagi sampai nih, buruan ke depan,” kata Rani, setelah mengecek notif pada ponselnya. Fatiah segara mengenakan jilbab dan melapisi celana panjangnya dengan rok. Sebenarnya tidak ada masalah dengan celana panjang, asal menutup aurat. Hanya saja, Fatiah lebih nyaman jika dilapisi dengan rok. Alasannya karena celana panjang, ditakuti membentuk lekuk kaki dan juga bagian belakang wanita, jadi untuk berhati-hati, melapiskan celana dengan rok. “Ini, Iah, uangnya.” “Oke.” Fatiah langsung bergegas ke depan. Sesampainya di depan pagar, ternyata belum ada siapa pun. “Katanya udah ada, ternyata belum. Gimana sih mbak Rani,” Fatiah mendengus pelan. Memilih menunggu di kursi satpam, alhasil dia seperti satpam dadakan di mahad. Setiap hari sabtu dan ahad, satpam memang diliburkan dan selagi menunggu, Fatiah sibuk memainkan ponselnya. “Permisi ....” Fatiah mengangkat kepalanya seketika matanya langsung di sambut kilat lampu motor yang membuat mata Fatiah menyipit. “Hai ....assalamualaikum cantik.” Seketika mata Fatiah terbelalak menatap seseorang yang kini tersenyum lima jari sembari melambaikan ringan tangannya. “Sendirian aja Neng, gak takut di culik.” Suara bariton itu seketika membuat Fatiah panik. “Ngapai kamu di sini?” Fatiah buru-buru berlari kecil menghampiri ‘si sosok' yang kini berdiri di sebelah motor gede yang dia standarkan. “Kebiasaan deh. Jawab dulu salamnya.” Fatiah memutar bola matanya. “Waalaikumsalam,” jawab Fatiah dengan nada jutek. “Ih kok nadanya gak ikhlas gitu sih?” “IKHLAS KOK.” “Loh kok my kitten ngegas sih.” Tiba-tiba tangan itu mencubit cuping hidung Fatiah, lagi-lagi membuat Fatiah mendelik. “Ih kamu lucu banget kalo lagi mode ngamuk.” “Lepasin gak !” bentak Fatiah tertahan dengan pupil mata yang menyipit tajam. “Oke fine. Tapi jangan kira aku ngelepasin tangan karena takut sama tatapan maut kamu ya. Tatapan kamu kalo gitu, gak ada serem-seremnya tahu, malah tambah gemoy.” “Gemoy? Emang aku bayi.” “Iya, kamu kan selalu bayi di mata aku.” “Aku colok ya mata kamu!” geram Fatiah. “Enak aja bilang aku bayi!” “Astagfirullah ukhti, kok ngomongnya kasar banget sih. Gak boleh gitu. Harus di jaga tutur katanya, anak gadis mulutnya gak boleh pedas kayak cabe rawit.” Fatiah memutar bola matanya. “Kan kamu yang mulai, Udah tahu aku gak suka di sebut bayi. Suka banget nyebut orang bayi. Mana ada bayi sebesar ini.” Bukannya mendengarkan protes Fatiah, pria itu malah tertawa kencang, membuat Fatiah refleks menjijit menutup mulutnya agar tidak lagi mengeluarkan suara. Fatiah menoleh kanan-kiri sebelum melepaskan telapak tangannya, memastikan tidak ada orang yang muncul dari dalam mahad, bisa habis Fatiah jika itu terjadi. “Udah buruan pergi! Gawat kalo ada yang liat kamu di sini.” “Emang kenapa kalo ada yang liat aku, kamu cemburu ya? Takut kalo aku kenalan sama mereka? “ “Idih geer banget.” Fatiah berdecak pelan. “Udah pulang gih. Lagian ngapain sih ke sini? “ “Ada hal penting yang aku mau tanyain sama kamu.” “Hal penting apa—“ “Permisi, maaf numpang tanya, nak.” Sela seseorang yang tiba-tiba menghentikan motor bebeknya. “Eh, iya, pak ...” “Ini mahad putri bukan? “ “Iya, pak. Bapak kurir drive food ?” “Iya, atas nama Rani.” “Oh seblak ya, pak. Itu pesanan saya, Pak. Ini uangnya.” Tiba-tiba tangan Fatiah dihentikan “Biar aku aja yang bayar. Uang kamu simpan aja.” “Eh, kok ...” “Udah gak usah protes,” bisiknya pelan, buru-buru dia mengeluarkan uang pecahan berwarna merah terang, uang seratus ribuan. “Ini pak, uangnya.” “Wah, uangnya besar banget. Bapak gak ada kembalinya.” “Udah biar aku aja yang bayar. Lagian itu makanan aku.” Lagi-lagi tangan Fatiah di tarik kecil. Fatiah mendengus kesal. “Iya, gak pa-pa, Pak. Gak usah di kembaliin.” “Makasih ya, Nak.” Pria paru baya itu memutar motornya. “Ini tangan loh, bukan tali! “ Pria itu terkekeh pelan. “Makanya jadi tangan jangan sok dewasa.” “Sok dewasa? “ Fatiah mendelik. “Udah ah pulang sana. Aku mau masuk.” “Gak mau pulang, sebelum...” “Sebelum apa?” tanya Fatiah geram. “Oh iya tadi katanya ada hal penting yang mau di omongin.” “Sebelum kamu jawab, kapan mau jalan bareng?” “Iya, iya, nanti deh.” “Kapan? “ “Ya nanti. Kamu pulang aja dulu. “Gak akan pulang sebelum diel.” “Dal-diel-dal-diel. Dikata mau buat perjanjian pakai acara gitu.” Fatiah berdecak pelan. “Udah gih pulang udah malam nih.” “No.” “Ya udah kalo gak mau pulang. Aku mau masuk. Sendirian aja di sini sama tuh kursi kosong,” gertak Fatiah berpura-pura membalik tubuhnya agar aksinya ini terkesan nyata. Selangkah. Dua langkah. Tiga langkah. “Kenapa gak kedengeran suara motornya,” risau Fatiah. Gertakannya terancam gagal total. Empat langkah. Fiks! Rencananya gagal. Fatiah menoleh, mendapati pria itu malah tersenyum lebar menyambut Fatiah yang dongkol. “Kenapa belum pulang, sih? ” Fatiah kembali memutar langkahnya. “Eh, Neng, kok balik lagi? Mau temenin abang nunggu kepastian ya?” godanya. “Neng tahu gak, nasib abang nih kasihan banget tahu... udah jauh-jauh ke sini, eh tapi yang di datangin malah sibuk nyuruh pulang muluk. Abang salah apa ya Neng?” “Apa abang kelewatan ganteng? Sampai-sampai dia takut kalo temannya ngeliat abang. Padahal kita kan—“ “Ck! Oke fine. In syaa Allah lusa besok hari jumat jam satu siang,” sela Fatiah cepat. “Udah, kan?” “Nah gitu kek dari tadi. Kan gak panjangin durasi.” “Udah sana pulang.” “Kalimat itu muluk yang dari tadi di ucapin. Si neng gak kreatif banget sih. Coba di ganti dong kalimatnya.” Fatiah memutar bola mata, wajahnya sudah seperti baju yang belum di setrika. “Ya udah aku pulang ya. Kamu jangan rindu.” Pria itu menyalakan motor gedenya. “Eh, hampir lupa, kalo aku bakal ke rumah kamu.” “Mau ngapain?” tanya Fatiah spontan. “Jualan seblak.” “Ha? Serius?” Fatiah melonggo. Pria itu memutar bola matanya, tidak habis pikir. Masa Fatiah percaya sih. “Ya gak lah. Aku mau ke rumah kamu, ya, mau silaturrahmi lah. Mau ngapain lagi coba? “ “Oh iya, ya.” Fatiah tersenyum geli. “Ya udah sekarang aku pulang ya.” “Iya. Hati-hati di jalan ya.” “Kurang.” “Kurang? “ Dahi Fatiah berkerut. “Iya kurang lengkap kalimatnya,” katanya tengil. “Gak gerak motornya kalo kalimatnya kurang.” “Ngarang banget. Mana ada motor gerak pake kalimat.” “Buruan, mau nyuruh aku pulang gak nih.” Ya Allah drama banget, nyuruh pulang aja—batin Fatiah. “Hati-hati di jalan ya, Bear,” kata Fatiah pada akhirnya. “Udah lama tahu gak dengar kamu bilang bear,” katanya sebelum motor melaju meninggalkan Fatiah. “Bear... “ Fatiah terkekeh, memandangi sinar lampu motor yang masih nampak di matanya. “Bear ? Beruang apa? “ “Astagfirullah!” Fatiah tersentak kaget begitu menoleh, di sebelahmya sudah ada Lail ikut memandangi ke arah yang sama dengannya. “Kamu ngapain di sini? “tanya Fatiah panik. “Nungguin abanh ojek anter boba. Kamu?” “Ha? “Fatiah makin gelagapan, di benaknya bertanya-tanya apa Lail melihat semuanya. “Ehm, itu, ini, bayar seblak.” “Eh, kamu sakit ya? Kok keringat dingin sih?” “Ehm, itu, eh.” “Kamu kenapa Iah? Kenapa jadi gagap?” “Hem, itu, kamu liat?” “Ha? Liat apa? “ “Tadi? “ “Bear? “ Seketika lutut Fatiah terasa lemas. Apa yang harus dia katakan sekarang? Fatiah belum siap untuk memberi tahu segalanya pada orang lain. “Sebenarnya itu....” Fatiah menarik nafas panjang. “Eh, itu kayaknya abang ojeknya,” kata Lail tiba-tiba, menunjuk pada sorot lampu motor yang membela gelapnya malam. “Iah temenin yuk.” “Eh, iya, yuk.” Fatiah berjalan mengekor di belakang Lail. Pikirannya masih kusut, sibuk menerka-nerka sebenarnya Lail tahu sesuatu atau tidak. Tapi bagaimana caranya Fatiah mengetahui itu? “Ini Bang uangnya. Makasih ya Bang. Yuk Fatiah balik.” “Kamu kok malah bengong sih? “Lail menyenggol pelan lengan Fatiah. “Yuk...” “Eh, ketemu neng ini lagi.” Fatiah refleks mengangkat kepalanya. Pria di hadapannya memang tidak asing bagi Fatiah. Itu pria paru baya yang tadi mengantarkan seblak pesanannya. “Temannya udah pulang Neng? “ tanyanya ramah, mungkin sekedar basa-basi. Namun terdengar horor di telinga Fatiah, terlebih lagi setelah melihat guratan pada wajah Lail. Dan benar dugaan Fatiah, Lail menanyakan pertanyaan itu. “Emang tadi kamu sama siapa?” bisik Lail penasaran. “Neng, bilangin ke temannya ya, bapak makasih banget, baru kali ini bapak dapat tips yang besar banget.” Doubel kill. Kepala Fatiah bergerak kaku, menoleh memperhatikan raut wajah Lail yang makin kentara. “Ehm, iya, pak,” sahut Fatiah cepat. “Kalo gitu kita permisi masuk ya, Pak. Lail ayo masuk.” Fatiah dengan sigap langsung menarik lengan Lail sebelum ada pertanyaan atau pernyataan yang kembali mengudara dan menyudutkan Fatiah. “Iah, emang tadi kamu bareng—“ “Iah...” panggil Gina dari arah belakang, menghentikan pertanyaan Lail yang belum rampung. “Iah, pinjam hp kamu bentar dong.” “Lail, tolong titip seblaknya ke kamar ya. Aku mau ke kamar Gina dulu.” “Oke, ya udah aku langsung ke kamar ya.” “Iya.” Lail berlalu dari sana, Fatiah akhirnya bisa bernafas lega. Semoga saja setelah jeda lama, Lail akan melupakan pertanyaan barusan. “Yuk, mau main ke kamar gue kan ?” “Iya.” Fatiah mengikuti Gina. Gina berada di kamar empat, tidak terlalu jauh dari kamar mereka. Meski begitu, ini kali pertama Fatiah bertandang ke kamar empat. Fatiah hampir tidak pernah main ke kamar yang lain kecuali ada hal mendesak. “Duduk gih Iah, kayak di kereta aja, berdiri terus,” kata Gina, humbel. Ini alasan kenapa Fatiah tidak terlalu suka main ke kamar orang, ia akan merasa canggung meski akrab dengan anak kamar empat. “Iah, pinjam hp kamu dong,” pinta Gina. Fatiah dengan tingkat percaya yang tinggi, langsung saja meminjamkan tanpa bertanya untuk apa. Dua menit, Gina sibuk dengan ponsel Fatiah. Fatiah sama sekali tidak curiga. Di detik berikutnya, Gina nampak senyam-senyum, mengundang rasa penasaran Fatiah. Fatiah mengubah posisi duduknya jadi bersebelahan dengan Gina. Fatiah meninggikan lehernya, ingin melihat apa yang Gina lakukan pada ponselnya. “GINA!” Fatiah spontan menarik ponselnya. Gina membajak ponselnya, ia mengirim pesan ke grup SD, grup SMP, dan ke nomor Haikal! Yap Haikal. Fatiah tidak akan panik jika ia mengirim pesan sapaan ke grup SD atau SMP. Tapi ini ke Haikal. Orang yang tidak terlalu Fatiah kenal. Entah apa yang akan Haikal pikirkan tentang dirinya. Kesan pertama yang buruk dan sekarang sok kenal. “Ih Gina mah!” Fatiah buru-buru menarik kembali pesan yang Gina kirim tapi semua sudah terlambat. Haikal sudah membaca pesan itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN