VI

1790 Kata
“PULANG!! “ “YE! PULANG!” Lail berseru girang. “Ling, pulang juga? “ Lingsi yang tengah sibuk melipat pakaiannya, menoleh, sembari mengulas senyum yang tidak kalah cerahnya dengan Lail. Senyum cerah ala anak pesantren yang akan pulang ke rumahnya. Setiap sabtu dan ahad, merupakan dua hari libur bagi santri, mereka bisa pulang atau bisa beristirahat di mahad tanpa kegiatan mahad. “Iya, pulang. Ini lagi siap-siap, bentar lagi di jemput ayah,” kata Lingsi, memasukan pakaiannya ke dalam tote bag berwarna putih. “Iah, pulang atau di mahad? “ tanya Lail. Fatiha baru saja mengambil jemurannya yang sudah kering. “Di mahad lah. Nemenin ana...” potong Rani, cepat. “Iyakan, Iah?” “Hem, tapi rencananya aku mau nginep di rumah tante.” “Serius, Iah? Masa ana sendirian sih. Billa juga mau pergi.” “Eh, Billa mau ke mana?” tanya Fatiha. “Ke pesantrenku dulu, ada acara,” kata Billa. “Yah, masa ana sendirian sih....Iah gak usah balik lah....” “Gak bisa, Mbak. Aku udah janji sama tanteku.” “Kalian nah, Lail, Lingsi, gak usah pulang sekali-sekali, temenin ana. Masa setiap weekend ana sendirian muluk, kayak jomblo.” “Oh tidak bisa, Mbak.” Lail menggeleng-geleng dramatis. “Btw, Mbak, hati-hati di sini, soalnya di sini kadang ada....” “Apa sih, Lail ?! Jangan buat ana takut dong!" potong Rani cepat. Lail cekikikan, semakin bersemangat menggoda Rani yang nampak ketakutan. “Serius Mbak, lusa kemarin aku kan begadang sendirian ngerjain tugas OSIS terus lampu ini tiba-tiba mati-hidup. Di luar aku dengar ada yang suara orang nyapu padahal udah jam 12 malam, kan gak mungkin ada yang nyapu. Makanya aku buru-buru langsung tidur.” “Ihh Lail kenapa diceritai sekarang...” “Tapi benar loh Mbak, aku juga pernah ngalamin pas sendirian di kamar,” tambah Billa. Fatiha terkekeh melihat Rani yang sekarang beringsut duduk mendekati Lingsi karena takut. “Kalian mah, pada mau pulang tapi cerita horor. Udah-udah gak usah diceritain lagi,” titah Rani. Lail dan Billa langsung tertawa. “Eh, kok tiba-tiba wangi melati sih, mbak ke cium gak?" Lingsi tiba-tiba. “Iya ya...” sahut Lail yang berdiri di samping Lingsi. “Ststts...” Rani menahan nafasnya spontan. Meletakan telunjuk di depan bibirnya. “Gak usah di omongi, kata orang kalo ada wangi itu artinya ada hantu," bisik Rani. Billa terkekeh. “Mana ada hantu pagi-pagi gini, Ini tuh wangi handbody-nya, Fatiah.” “Ha?” Lail, lingsi dan Rani kompak menoleh ke arah Fatiha yang sekarang tengah mengoleskan handbody di tangannya. “Kenapa? “ Fatiha tidak menyadari apa yang terjadi. “Wangi melati ini wangi handbody kamu, Iah? “tanya Rani. Fatiha mengangguk polos. “Iahhh..... “ “Hehehe, kenapa, wanginya enak tahu guys.” “Iya enak, tapi horor tahu. Jangan di pake lagi! “ “Iya, Iah, jangan di pake lagi merinding tahu,” tambah Lail yang langsung disetuju Billa dan Lingsi. “Ya udah gak lagi,” sahut Fatiha santai memasukan handbody berukuran besar ke dalam tas yang akan dia bawa ke rumah tantenya. “Aku bawa selimut aja ke rumah tante,” gumam Fatiha. . . Fatiah sampai di depan rumah tantenya. Rumah berukuran sedang, dengan halaman depan yang dihiasi beberapa bunga yang mempermanis pemandangan dan pagar biru yang tinggi menjulang menutupi rumah bercat hijau itu. “Assalamualaikum, Tante...” panggil Fatiah sembari melihat sekitar. Rumah tante Fatiah berada di kompleks perumahan yang kebanyakan di huni kalangan menengah, yang sibuk bekerja atau tipe perkerja yang jarang di rumah. Perumahan ini terkesan semi eksklusif karena setiap rumah menggunakan pagar yang menjelang dan jarang sekali ada anak kecil yang bermain di luar. Di sini sangat sepi, pikir Fatiah. “Waaalikumsalam, Fatiah, naik apa ke sini?” “Tante,” Fatiah meraih tangan tantenya yang baru saja membukakan pagar. “Tadi ke sini naik gojek sama angkot, Te.” “Oh.., ya udah masuk.” Fatiah langsung masuk ke kamar khusus yang memang disediakan setiap kali dia berkunjung. Fatiah meletakan tasnya di dalam, membuka jilbab dan kembali bergabung di ruang tengah bersama tantenya. “Gimana sekolah kamu?” “Alhamdulillah baik, Te.” “Bagus kalo gitu. Pelajaran di mahad gimana ?” “Alhamdulillah, Te, dua-duanya gak keteteran.” “Gimana ibu kamu udah mulai setuju ?” “Hem...” “Kamu harus bujuk ibumu itu. Gimana toh ibumu itu, anak niat mau cari ilmu agama kok ya di larang. Ayahmu juga manut aja sama kata istri.” Fatiah hanya diam saja, sudah terbiasa dengan topik seperti ini. Di satu sisi, Fatiah tidak suka jika ibunya dibicarakan. Tapi disisi lain Fatiah tidak bisa menghentikan tantenya untuk terus mengatakan kalimat yang sama berulang kali, terkesan selalu menyudutkan ibunya. Hubungan keluarga ayahnya dan keluarga dari pihak ibunya memang kurang harmonis. Perbedaan ideologi dan cara pandang merupakan penyebab paling jurang. Keluarga ayahnya merupakan keluarga konservatif dan berpikir sederhana. Secara personal sejak dulu, Fatiah memang lebih dekat dengan keluarga ayahnya ketimbang keluarga ibunya, hal itu juga yang menyebabkan Fatiah lebih mudah terbawa nuansa agamais yang kental dari keluarga ayahnya. “Mbakmu apa kabar ?” “Alhamdulillah baik, Te. Mbak katanya mau ke sini lusa.” “Oh... Bilangi kalo ke sini pake baju yang gak kurang dasar, kalo bisa kamu pinjamin gamismu itu. Gak enak sama om kamu, sama tetangga juga, macam apa aja pak baju serba kebuka.” “Iya, Te. Nanti Iah bilangin ke mbak.” “Oh iya, kamu udah makan belum? Itu tante tadi masa ikan pepes sama tempe bacem.” “Jadi lapar, Te.” “Ya udah makan sana. Ambil di belakang.” Dengan senyum sumringah Fatiah langsung mengambil makanan. “Enak gak? “ “Enak, Te.” “Makan ya banyak, gak usah sungkan. Lagian kamu jarang banget main ke sini. Setiap sabtu kan libur, mainlah ke sini.” “Iya, Te, ini syallah.” “Tante tadi juga buat puding mangga, mau gak?” “Mau banget, Te.” “Ambil gih di kulkas.” “Tante lagi buat apa di kompor? “ “Oh iya, tadi tante mau buat cuka buat teman pempek-pempek tapi lupa kali gak ada gula merah. Nanti kamu habis makan ke warung ya, beli gula merah, cabe setengah kilo, sama gandum, terus sisanya terserah kamu mau beli apa.” “Catat aja, Te. Takut lupa.” “Ya, nanti tante catat.” “Te, tumben om gak libur hari weekend ?” “Iya tadi rencananya mau libur, tapi tiba-tiba ada oderan masuk, jadinya naik lagi deh.” “Oh,” Fatiah menyuapkan puding mangga ke dalam mulutnya, lahap. “Tante Imel datang ke sini, kan, Te? “ “Iya, bentar lagi palingan.” “Te, Iah udah selesai makannya. Mana sih daftar mau beli apa aja...” “Ini. Kamu beli di warung dekat pangkalan itu aja ya, di sana lebih lengkap.” “Eh, warung di dekat pangkalan? “ “Iya dekat rumah warna apa abu-abu itu loh, agak ujung.” “Hem, iya, Te. “ . . “Lo yakin cara ini berhasil? “ tanya Haikal, memastikan. “Gak tahu juga sih.” Dzawin mengaruk tengkuk kepalanya yang entah memang gatal atau refleks saja. “Ah, Lo mah...” Haikal mendengus pelan. Menekankan laju kendaraan roda duanya. “Tapi silaturrahmi itu besar pahalanya tahu, Kal.” “Iya gue tahu, cuman kan...” “Lo tenang aja Kal, kalo pun ini gak berhasil setidaknya kita udah mencoba buat berdamai sama ruh ketua rohis. Luluh deh hati dia liat kita jauh-jauh ke rumahnya cuman buat besuk, “ kata Dzawan. “Apa lagi kalo kita ke sana bawa buah tangan gak tangan kosong gini. Kal, Lo bawa uang kan buat beli apa gitu kek.” “Iya, bawa.” “Sip, entar kita stop di warung dekat rumah Fatah aja. Kalo gaj salah ada warung dekat sana.” “Eh, btw ini jalan ke mana lagi? Lurus atau belok, Win? “ Dzawin mengerjap pelan, pertanda buruk yang Haikal rasakan. “Gue lupa guys. Ini belok atau lurus ya? “ “Astagfirullah, Dzawin! “ “Soalnya di sini tuh banyak banget sih belokan gue kan lupa.” “Ya terus gimana? “ tanya Haikal bingung. “Ya udah kita cobain lurus aja dulu, kalo salah entar kita balik lagi, terus cobaan belok,” kata Dzawin. Haikal tercengang, ide yang sangat berlian untuk membuang waktu. “Mending, kita tanya aja sama orang yang lewat, biar gak nyasar, gimana? “ saran Dzawan, yang lebih logis dan manusiawi. “Dzawin aja tuh suruh turun, dia kan gak bawa motor juga,” kata Haikal. “Iya, dek, Lo tanyain orang ya.” “Sendirian? “ “Kalo berdua namanya duo,” sahut Haikal, asal. “Ya maksud gue, masa sih gue sendirian nanyanya, temenin lah.” “Iya, kita ada di belakang Lo, Dek. Nungguin di motor. Lo yang turun buat nanya.” “Ya sama aja, ujungnya gue sendirian juga. Ya udah lah, ayo aja. Keburu sore nih.” Haikal dan Dzawan memacu motornya pelan, mencari orang yang sekiranya fleksibel untuk di tanya, tapi sendari tadi belum juga mereka temui orang satu pun. Semua rumah nampak sepi senyap seolah tidak berpenghuni. Tidak ada orang yang sekedar jalan-jalan sore atau keluar dari rumah mereka. Pekerjaan yang seharusnya mudah jadi sulit. 15 menit berkeliling tak tentu arah, akhirnya mereka melihat ada seorang pria remaja yang entah menggunakan kaos hitam dan boxer di bawa lutut dengan sendal jepit ikonik, style ala anak rumah yang mau ke warung. Dzawan terlebih dahulu memberhentikan motornya untuk menurunkan Dzawin, kurang sopan rasanya jika bertanya pada seseorang tapi masih di atas motor, terkesan belagu, begitulah nilai yang Haikal pegang, meski kadang ada beberapa orang yang tidak keberatan ditanyai langsung di atas motor. Haikal memelankan laju motornya saat melihat Dzawin turun dari motor. “Kak, maaf mau tanya.” “Iya tanya apa? “ “Tahu rumah Fatah gak? “ “Fatah? “ “Iya, Fatah yang sekolah di SMA Bangsa.” “Oh, rumahnya ada di ujung sana. Dekat warung.” “Oh belok jalan tadi ya, kak? “ “Iya, dari sana belok, terus ada perempatan lurus aja, nah di ujung baru belok kanan terus lurus dikit, ada belokan lagi, terus lurus aja ikutin jalan." “Oh gitu, ribet ya,” gumam Dzawin, pelan. Dzawin memang tipe orang yang sulit menghafal sesuatu terutama jalan. “Kalo gitu makasih ya Kak.” “Iya.” “Tuh guys, belok terus lurus terus belok gitu deh, gak mudeng gue,” Kata Dzawin, jujur. “Ya udah, entar kita tanya lagi sama yang lain, sekarang yang penting berarti kita belok dulu,” kata Haikal. “Iya. Eh, Dek jangan naik dulu, biar gue putar balik dulu.” Dzawan memutar motor. Haikal hendak mengikuti Dzawan memutar motornya, tapi terhenti. Haikal malah terpanggil oleh suara langkah kaki dari jalan lurus yang entah kenapa menggema di telinganya dan secara naluri Haikal menoleh sekilas nampak seperti menunggu si pemilik suara langkah kaki. Tanpa alasan apa pun. “Kal, kok malah bengong? “ teriak Dzawin yang berjarak dari Haikal. Haikal tersadar, merasa aneh dengan keinginan mendadaknya itu. Lagian kenapa juga Haikal menunggui pemilik suara langkah itu ? “Astagfirullah! Ban motor gue pecah! “ Haikal langsung turun dari motornya, bersamaan dengan itu seorang gadis lewat dari jalan lurus, menggunakan jaket biru dongker yang menutupi dirinya dari teriknya sinar matahari, berjalan melewati mereka yang nampak sibuk menunduk melihat ban yang tiba-tiba pecah. “Ini lagi di jalan.” Suara itu membuat Haikal mendongak. Tapi dia telat. Sang pemilik suara sudah berlalu jauh, dan punggungnya hanya terlihat seperti titik di mata Haikal. “Kok bisa gini sih, Kal? “ tanya Dzawan. “Gue juga gak tempe.” “Lo pas mau mutar kena batu mungkin, makanya gak liat-liat dulu pas mutar.” “Terus kita mau gimana dong sekarang? Mana rumah Fatah masih jauh lagi.” “Nanti aku suruh abang Fauzan buat minta panggilin bengkel aja. Biar motornya di bawa mereka.” “Terus rencana kita ke rumah Fatah? “ “Gagal.” Haikal menghela nafas berat. “Mau gimana lagi. Gue pasrah deh mau di masukin ekskul anta brantah, terserah deh.” . .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN