LIII

1827 Kata
“Pantes aja ya fansbase kalian makin bar-bar.” Dzawin menggeleng-geleng dramatis, meletakan ponselnya di sebelah tangan Haikal. “Lo udah liatkan videonya? So sweet gila sih.” “Apaan sih.” Haikal mencibir. “Di video itu, Lo persis kayak pemeran utama di n****+-n****+ teenlit gitu. Cowok yang dengan sigap menolong ceweknya yang hampir tersiram teh hangat, merelakan tangannya melepuh demi ayang.” “Udah selesai? “ Haikal menatap sinis Dzawin. “Udah balik sana ke bangku Lo.” Haikal menopang dagunya, pikirannya melayang ke mana-mana, belum satu pertanyaan tertawan, sekarang sudah ada pertanyaan baru. ‘Gue salah apa ya? Kenapa Fatiah tiba-tiba marah?’ Arrrggh... Haikal tiba-tiba mengacak rambutnya bingung. Dzawin yang masih berada di sebelah Haikal, ternganga bingung. “Woi, kenapa Lo? Kutuan?” celoteh Dzawin ngawur. Haikal menghela nafas kasar. “Apa coba salah gue? Kok gue bingung?” gumam Haikal. “Salah apa weh? Lo gak ada salah sama gue. Kalo pun ada salah udah gue maafin kok berkat sepotong gorengan.” Dzawin makin ngawur. “Apa mungkin dia marah karena video itu?” Dzawin terlonjak kaget, saat tiba-tiba Haikal yang sendari tadi tidak menghiraukan keberadaannya, menoleh dengan mata melotot. “Tapi itu kan bukan salah gue...” lanjut Haikal, sama sekali tidak peduli wajah kaget Dzawin. “Gila Lo ya, hampir meleot ini jantung gue!” Dzawin mengelus dadanya yang mendadak senam jantung. “Ah mending gue kabur dari sini deh, Lo kayaknya ada misi buat gue serangan jantung. Galau sih galau, gak kek gitu juga kali! “Dzawin buru-buru bangkit, tapi Haikal dengan cepat kera bajunya. “Lo harus bantuin gue!” kata Haikal, terdengar horor di telinga Dzawin. “Eh, gue masih lugu, polos dan gak tahu apa-apa. Gue bahkan udah jomblo dari lahir, mana punya pengalaman gue buat bantu urusan percintaan rumit Lo,” rancau Dzawin sembari mengebas-ngebaskan lengannya. “Apa gue langsung minta maaf aja ya? “ gumam Haikal. “Eh, jangan,” sela Dzawan yang baru saja masuk, Haikal menoleh, mendadak langsung melepaskan kera baju Dzawin. Dzawin yang belum siap dilepas, hampir nyunsep menciun ujung meja. “Eh, Lo, kasih aba-aba dong, mau ngelepasi gue! “protes Dzawin yang selamat dari insiden ini. “Eh, iya gue lupa.” Haikal tersenyum tanpa dosa.. “Nih ya kenapa gue bilang gak usah minta maaf, itu karena.” Dzawan mencari posisi duduk sebelum melanjutkan kalimatnya. Setelah berhasil mengusir Dzawin dan duduk di sebelah Haikal, Dzawan kembali melanjutkan klaimatnya. “Karena itu bakal jadi canggung banget. Apa lagi, Fatiah kan gak bilang kalo dia marah sama Lo. Mungkin aja kemarin matanya kelilipan makanya gak liat Lo nyapa.” Haikal manggut-manggut, membenarkan praduga Dzawan. “Terus gue harus ngapain?” “Hem, pura-pura gak tahu aja.” “Eh, entar dia tambah marah gimana?” “Gak lah....”kata Dzawan, sedikit ragu. “Serius nih?” tanya Haikal lagi.** Kesibukan mengurus acara bansos, sedikit berhasil menyita perhatian Fatiah untuk tidak memikirkan hal-hal aneh yang barang kali dia lakukan sebelum pingsan waktu itu. Protes yang Fatiah ajukan diterima, Fatiah tetap pada posisinya menjaga stand menerima barang-barang dari orang yang ingin menyumbang. “Gimana kerajaan kamu ?” tanya Rani tiba-tiba menghampiri Fatiah yang tanpa sadar bengong, padahal gadis itu tidak sedang memikirkan apa pun. “Enak banget ya kamu, cuman duduk doang terus nyatat-nyatat. Gampang banget,” tambah Rani setelah dengan cepat mengamati semua yang ada di sekitar Fatiah. Fatiah tersenyum kecil. Terlihat enak bukan berarti enak, kan? Terlihat mudah bukan berarti mudah. Fatiah hanya berhasil membungkus semua yang tidak mudah terlihat mudah dan orang salah paham akan hal itu. Apa sebaiknya Fatiah tidak perlu repot-repot membungkus itu semua? Apa dia harus berkeluh kesah sana-sini agar semua tahu kalo tugasnya tidak segampang itu. “Iya, lagi gak ada barang yang harus di bawa ke TU buat di data,” sahut Fatiah, mulai risih dengan kegiatan yang scanner yang Rani lakukan. “Duduk sini, mbak, pasti capek latihan jadi pembawa acara,” tanya Fatiah dengan intonasi ramah, tidak ada niat sedikit pun mencibir Rani yang tidak mau posisi itu. Tapi Rani salah paham, dia mengartikan kalimat itu sebagai kalimat semacam olak-olak, wajahnya mendadak jadi jutek. “Udah, ah, aku mau latihan lagi,” katanya melenggang pergi bersama Gina yang baru saja datang dan langsung diajak pergi. Fatiah menggeleng-geleng pelan. Siapa suruh lancang nyalonin nama orang, kan kena sendiri. Fatiah terkekeh geli mengingat wajah tidak terima Rani saat ditunjuk ustadzah untuk menjadi pembawa acara. “Iah, ada yang nyumbang lagi gak? “ tanya Billa yang baru saja datang, bergabung duduk di sebelah Fatiah. “Udah gak ada lagi.” Fatiah merapihkan buku pendataan. “Kita tutup stand bentar lagi, kan? “ “Iya, lima menit lagi kata ustadzah.” “Sipp.” Fatiah bangkit. “Sambil nunggu, enak beres-beres aja ya. Pas tiba waktunya bisa langsung tutup.” “Iya...” Billa juga ikut bangkit, membantu Fatiah yang mulai melepas tenda orange yang di letakkan di depan pagar asrama untuk melindungi keduanya dari panas matahari. “Assalamualaikum, misi, kakak...” “Eh, iya, Walaikumsalam,” sahut Fatiah tanpa menoleh, pasalnya gadis itu sudah kepalang tanggung sibuk menjangkau besi bagian atas tenda. “Duh, nih besi susah banget di jangkau,” gumam Fatiah. Tiba-tiba sebuah tangan menjulur di atas kepala Fatiah, Fatiah yang kaget, refleks mengangkat kepalanya, mata mereka bertemu. Fatiah mengerjap, masih belum koneks. Seluas senyum muncul dari bibir pria itu, yang seketika menyadarkan Fatiah. “Astagfirullah! “ Fatiah bergerakan tiba-tiba, Bruk.. Kepalanya menghantam tubuh bidang pria itu. “Duh, kamu gimana sih! “ protes pria itu, mengelus lengan yang juga sakit terkena batok kepala Fatiah. Fatiah mendengus, seharusnya dia yang marah, salah sendiri ngapain tiba-tiba berdiri di belakang orang, mana tangannya seenaknya aja di kepala orang. Rasain tuh... Dikira ini drakor apa ya, seenaknya aja. Fatiah mengelus-ngelus kepalanya yang hampir ternodai ketek . “Apa liat-liat, baru liat orang ganteng ya.” Pria itu menaikkan satu alisnya. Makin membuat Fatiah dongkol melihat wajah tengilnya. “Kamu lupa ya, kita lagi marahan. Jadi jangan harap aku bersikap ra—“ Tap! “Aaarrghhh... “ teriak pria itu, berjingkrak, begitu kakinya menjadi sasaran kemarahan Fatiah. “Ngapain kamu ke—“ “Eh, Iah...” Suara Billa menghentikan kalimat Fatiah. Fatiah kaget, mendapati Billa berdiri di belakang dengan kening berlipat, melihat Fatiah lalu pria itu, yang tidak lagi berjingkrak. Entah karena tidak lagi sakit, atau kaget akan keberadaan Billa. “Eh, kamu—“ Kalimat Billa tertahan setelah menyadari siapa pria di hadapannya. Billa balik menatap Fatiah dengan tanda tanya yang tidak Fatiah pahami. Pria itu menarik sedikit sudut bibirnya, bingung harus senyum atau apa merespon wajah kaget Billa. Keterdiaman Billa, membuat mengusik detak jantung Fatiah yang tidak lagi slow. Seolah ada beduk yang nyangkut di dadanya.. apa sekarang semua rahasianya akan terbongkar? Apa yang harus dia lakukan? “K-kamu kenal Bill? “ “Yang pernah nganterin Lail waktu itu, kan? Yang ikut ngerujak di rumah Lail? Kamu sih langsung pulang, gak ikut ngerujak, makanya gak tahu,” kata Billa menjelaskan, yang langsung berefek pada d**a Fatiah yang terasa lebih plong......ternyata kenal dari sana. “Santai aja dong mukanya,” bisik pria itu sembari tersenyum tengil. “Mereka udah kenal aku kok.” Sial! Fatiah mendelik. “Kamu mau ngapain di sini? Arlan buruan jawab! “ “Udah kenalan ya? Kok kamu duga tahu namanya, Iah? “tanya Billa tiba-tiba. Ya Allah keceplosan....Muka Fatiah seketika padam, berbeda dari pria yang bernama Arlan itu, ia tersenyum geli melihat air muka Fatiah yang sudah mirip kepiting rebus. “Nama kamu Arlan kan? “ tanya Billa, yang tidak menyadari terjadi sesuatu diantara kedua manusia itu. Pria itu mengangguk seraya tersenyum. “Mau, nyumbang barang ya? “ tanya Billa lagi, setelah pupil matanya tanpa sengaja melihat sekardus berukuran sedang di dekat kaki Arlan. “Ah, iya,” Arlan mengangguk cepat, meraih kardus miliknya. “Masih buka, kan? “ “Iya—“ “Gak! “ sela Fatiah cepat. “Udah tutup setengah menit yang lalu.” . . Haikal menghela nafas panjang, menatap jam yang masih menunjukkan pukul dua pagi, tapi suara alarm di atas nakasnya sudah berbunyi nyaring. “Ya Allah....” “Udah bangun? “ si pelaku muncul entah dari mana. Haikal terlonjak kaget, langsung menoleh ke arah pintu. Masih tertutup rapat. Bahkan doubel kuncinya masih tercantel di sana. “Bingung ya? “ Fauzan terkekeh. “Gue mah bisa masuk dari mana aja,” tambahnya bangga. “Ayo buruan bangun. Hari ini kan Lo mau jadi relawan bansos.” “Bang....” Haikal merengek, berharap cara ini akan lebih mempan meluluhkan hati abangnya untuk tidak mengganggunya dulu, ia sangat mengantuk dan butuh tidur. Fyi, Haikal baru bisa tertidur pukul sebelas malam, bukan karena dia ingin begadang, tapi Haikal tiba-tiba mengalami insomnia dadakan, sekeras apa pun ia mencoba untuk tidur, tetap saja dia tidak bisa tidur. Mungkin karena Haikal terlalu cemas memikirkan banyak hal yang bahkan tidak Haikal ketahui, kepalanya hanya dipenuhi banyak bahasan random yang bergerak liar bak benang kusut. Haikal bahkan tidak mampu mencernanya dengan baik. “Bagus buruan, ini udah jam dua lebih...” “Iya, baru jam dua Bang! “ Haikal sengaja menekan kata jam dua, agar abangnya ini sadar bahwa ini terlalu dini untuk bersiap, pada acara yang dimulai pukul sembilan pagi. “Kan kamu bisa salat tahajud dulu. Minta kelancaran sama Allah.” “Bang, tapikan bisa entar jam setengah tiga atau jam empat,” sahut Haikal, mengantup mulutnya yang tiba-tiba menguap. “Gue mau tidur dulu sekarang Bang, abang bangunin setengah empat aja ya.” Haikal baru hendak merebahkan tubuhnya di kasur, namun ia urungkan saat melihat Fauzan dengan senyum tengilnya memegang gelas yang berisi air. “Oke, fine. Gue bangun.” Haikal mengucek kasar matanya, bangkit dari kasur dengan badan sempoyongan. Berasa punya ibu tiri....dumel Haikal. “Dek ..” panggil Fauzan tiba-tiba. Haikal menoleh malas, melemparkan tatapan tanya ‘kenapa lagi sih!’ “Abang sayang banget sama kamu.” Mata malas Haikal seketika terbuka lebar, antara kaget, geli dan bertanya-tanya akan kalimat abangnya barusan. “Sehat, Bang? “ Fauzan tersenyum lebar. “Alhamdulillah.” Haikal bergidik, sepertinya abangnya terkena hawa panas-dingin. “Abang tuh ngelakuin ini semua biar Lo gak kesepian,” tambah Fauzan lagi. “Abang tahu kok, meski sekarang Lo pura-pura fine aja, tapi jauh di hati Lo, Lo ngerasa bersalah terus. Lo nangis terus kan tiap malam ?” Alis Haikal terangkat. “Sok tahu Lo, Bang. Gue gak nangis keles.” “Terus siapa yang lusa kemarin abang dengar nangis?” Bulu kuduk Haikal tiba-tiba meremang. “Oi bang, jangan buat gue takut dah. Ini kisah teenlit bukan kisah horor.” Fauzan cekikikan. Haikal mengurungkan niatnya ke kamar mandi dan malah balik bersembunyi di belakang lengannya. “Dek, udah besar juga masih penakut aja,” Fauzan mengibas-ngibas lengannya agar Haikal segera menyingkir. “Beneran bang Lo dengar suara nangis dari kamar gue ?” tanya Haikal, tidak peduli akan hinaan Fauzan. Fauzan menatap Haikal seksama. “Dek, itu di belakang kamu apaan? “ **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN