“Makasih ya,” cicit Fatiah yang berjalan di belakang Haikal. “Makasih udah tolongi aku tadi.”
Haikal mengangguk pelan seraya memelankan langkahnya tanpa niat menoleh.
“Selain itu, aku juga mau minta maaf.” Fatiah menjeda kalimatnya sesaat. “Pertama, soal kacamata yang pecah. Kedua, soal pesan ngaur yang dikirim temanku. Dan ketiga, soal tadi hem...soal nangis, soal doa.”
Saat mengatakan hal itu Fatiah merasa tidak nyaman, sama halnya dengan Haikal, tapi bukan itu alasan kenapa sekarang Haikal tidak membuka mulutnya.
Waduh, gue jawab apa nih? Batin Haikal bingung.
Bertahun-tahun hidup di Jakarta, Haikal terbiasa dengan kosa kata ‘gue-lo' sedangkan ‘aku-kamu’ terkesan aneh dimulutnya meski ia sebenarnya terbiasa menggunakan kosa kata itu di rumah. Tapi di sekolah, tidak pernah seumur hidup Haikal menggunakannya, apa lagi pada lawan jenis.
Selain itu stereotip yang melekat pada kata ‘aku-kamu’ di kalangan anak Jakarta sungguh sangat meresahkan. Aku-kamu sering diartikan sebagai kata yang sangat lembut sehingga hanya cocok untuk sepasang kekasih atau dua manusia yang tengah menjalani pendekatan untuk tahap hubungan yang lebih intim.
Apa tidak masalah menggunakan kata gue-Lo? Tapi gak enak ih, dia pake aku-kamu, takutnya gak nyaman kalo pake gue-lo—itulah yang sendari tadi memenuhi otak kecil Haikal.
“Hem, jadi kamu mau maafin aku, kan” tanya Fatiah bingung lantaran Haikal tidak kunjung membuka suaranya, bahkan sampai mereka di depan gerbang sekolah, saat mereka harus berpisah arah. Fatiah kembali ke kelas sedangkan Haikal ke ruang guru terlebih dulu untuk menyerahkan fotocopy-an.
“Ah iya, gu—aku maafiin. Selain itu aku juga mau minta maaf buat semua yang terjadi. Semoga setelah hari ini gak ada kekesalan di hati kita lagi,” kata Haikal pada akhirnya.
Fatiah tersenyum, mengangguk kecil sebelum melangkah kakinya menuju arahnya.
Aku...
Haikal tanpa sadar bergidik geli. Kenapa kata itu terdengar mengelikkan padahal kata baku yang seharusnya biasa saja saat digunakan. Efek stereotip, memang sangat dahsyat memengaruhi otak manusia.
“Jangan sampai duo kembar itu tahu, bisa habis gue di ceng-cengin.”
***
“Bodoh! Udah tahu bakal sakit hati tetap aja nekad jatuh cinta!” umpat Rani kesal. Gadis itu meremas undangan berwarna cream yang sedari tadi terasa seperti pisau yang mengiris tajam hatinya.
“Ya Rabb..,” lirihnya tertunduk pilu.
Fatiah yang semula sudah berada di ambang pintu kamar, seketika hendak menarik langkahnya menjauh dari depan kamar, tapi rupanya Rani sudah duluan tahu keberadaan Fatiah dan menatap Fatiah.
“Mbak, boleh masuk?” tanya Fatiah berhati-hati. “Atau mbak mau waktu sendiri, gak masalah, aku mau ke aula aja.”
“Masuk aja Iah, ana gak mau sendirian di sini,” kata Rani pelan.
Fatiah mengangguk dan melangkah masuk.
“Kenapa cinta itu rumit ?” tanya Rani, begitu Fatiah terduduk di kasur singel miliknya.
“Hem, mungkin karena cinta saudaranya sama matematika, makanya rumit.”
Mendengar jawaban Fatiah, Rani refleks tertawa, namun dalam tawanya, bersamaan itu juga air mata jatuh di kelopak mata gadis berdarah sunda itu. Rani yang baru menyadari air matanya luruh lagi, segera menghapus air matanya.
“Aneh kan? Hati sama otak lagi gak sinkron,” kata Rani. “Gini amat patah sebelum tumbuh.” Rani melepas undangan pernikahan yang sudah lecek dari tangannya.
“Dia beneran gak akan pernah tergapai lagi,” tambah Rani, membuat kening Fatiah berkerut makin penasaran tapi tidak sampai hati untuk bertanya lebih lanjut.
“Seharusnya ana dengerin saran kamu. Udah tahu dia cinta sama orang lain, masih aja ngarep suatu saat di suka sama ana.”
“Mbak, boleh aku nanya? Soalnya aku masih bingung maksud perkataan mbak. Tapi gak masalah kalo mbak keberatan buat cerita.”
Rani tersenyum miris. “Mau tanya apa?”
“Mbak patah hati sama cowok yang sama, yang pernah mbak ceritain itu?”
Rani mengangguk. “ Bodoh banget, kan? Keledai aja gak jatuh di lubang yang sama.”
“Kok bisa?” Pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut Fatiah. Setelahnya Fatiah baru sadar, pertanyaannya mungkin saja terasa seperti garam pada luka Rani.
“Makanya itu ana ngerasa bodoh banget!” Rani menjeda kalimatnya, mengalihkan pandangnya jauh keluar pintu kamar.
“Satu bulan setelah ana tahu kalo dia cinta sama orang lain, ana benar-benar udah ikhlas, ana pikir ini emang jalan terbaik. Toh dia gak suka ana, buat apa juga jatuh cinta. Dan waktu itu sakitnya gak sedikit sekarang.”
“Coba kamu liat undangan itu.”
Fatiah meraih undang itu dan membaca dengan seksama, begitu membaca nama mempelai wanita, Fatiah seketika tertegun.
“Iya, dia sahabat dekat ana di kampus. Dekat banget, bahkan sangking dekatnya kita suka dikira satu orang yang sama.” Rani kembali menjeda kalimatnya, terasa dari nada suaranya ada getar hebat yang berusaha gadis itu tahan agar tidak pecah menjadi tangis lagi.
“Setelah hari patah hati itu, teman ana gak sengaja baca catatan ana, soal perasaan ana buat si Ikhwan itu. Terus dia bilang kalo ana harus berjuang buat dapatin cinta. Jelas ana bilang, semua udah terlambat ana udah nyerah soal perasaan itu dan ada kabar katanya si ikhwan mau melamar orang yang dia sukai.”
“Dia bilang, pokoknya kalo si cewek itu nolak lamaran cowok itu, ana harus janji buat berani berjuang. Harus berani untuk menyatakan lamaran.”
“Awalnya pernyataan itu, ana anggap hiburan dia semata buat ana yang lagi patah hati. Tapi ternyata dua hari berikutnya, beneran terdengar kabar kalo lamaran si ikhwan di tolak.”
“Kamu udah janji, ini waktunya kamu mulai berjuang.”
“Ana ingat banget kata-kata dia hari itu, bodohnya ana gak sadar sesuatu yang terjadi sama teman ana itu. Ana terlalu bahagia, seolah ana mendapat kesempatan kedua untuk mendapatkan cinta ana.”
“Besoknya si ikhwan gak tahu ada angin apa, tiba-tiba ngampiri ana yang lagi perpustakaan. Dia bilang mau bicara sesuatu. Hati ana gak larian saat itu, berbunga-bunga, ana pikir akhirnya cinta ana bisa sampai ke hati dia. Ana terlalu naif, benar-benar naif ! Kok ana gak kepikiran ya, kalo cinta itu bukan kayak uang logam yang bisa pindah ke lain tangan secepat itu.”
“Maaf...”
“Ana gak ngerti apa maksud dia bilang maaf. Tapi saat itu senyum aja langsung mengecil, ana mendengar ada kegetiran dari suara pria itu.”
“Terus dia bilang, tolong jelaskan pada dia, kalo cinta itu bukan hadiah, cinta gak bisa diberikan begitu saja pada semua orang yang dia kasihi.”
“Di situ ana tertegun. Ana bingung harus berkata apa.”
“Dia takut kamu terluka, tapi dia tidak takut hatinya terluka.”
“Ana benar-benar merasa jadi manusia terjahat di dunia. Ana gak sadar kalo ana udah jadi tembok besar untuk dua orang yang saling mencintai. Ana bodoh banget! Ana terlalu fokus sama perasaan ana sampai gak sadar soal perasaan sahabat ana sendiri.” Suara Rani bergemuruh hebat saat mengatakan kalimat itu.
“Apa ana sejahat itu? Kenapa cinta ana menyakiti banyak pihak?” Mata Rani berkaca-kaca.
“Mbak, jangan salahin diri mbak, langkah yang mbak ambil udah benar.” Fatiah mengusap punggung Rani, berusaha menenangkannya, agar tidak lagi menyalahkan diri sendiri.
“Tapi hati ana nyesek banget, Iah. Ana munafik kalo bilang ana mengikhlasi semua ini, kalo ana ikhlas kenapa ana masih nangis? Kenapa setiap kali ingat mereka hati ana meradang?” lirih Rani di sela tangisnya.
“Ya itu manusiawi, Mbak. Mbak gak lantas jadi orang jahat karena perasaan itu, yang terpenting bagaimana mbak mengolah perasaan itu. Mbak memilih buat mundur. Itu udah langkah besar buat orang yang lagi jatuh cinta. Gak mudah buat mengikhlaskan perasaan sakral itu. It’s okey mbak. Pelan-pelan, perasaan sedih itu juga bakal pergi seiring waktu.”
“Makasih Iah, Udah mau menghibur ana.”
Kedua gadis itu saling berpelukan, menumpah ruahkan air mata mereka sebagai penutup hari yang panjang dan melelahkan untuk hati yang penuh tangis. Entah itu soal cinta atau soal mengikhlaskan. Soal patah hati Rani atau soal Fatiah yang masih berduka akan kepergian eyangnya. Hari ini mereka tutup dengan saling menguatkan satu sama lain.
.
.
“Fatiah buruan bangun.” Suara nyaring Rani memecah kesunyian di kamar enam, Fatiah yang tengah tidur pulas kaget terbangun berat suara aduhi itu, padahal hari ini merupakan hari ahad—yang artinya hampir 75 persen anak di mahad pulang ke rumah masing-masing. Di kamar enam pun cuman ada Fatiah dan Rani yang setia, menghabiskan waktu libur di mahad.
Fatiah menggeliat malas untuk bangkit, setelah salat subuh, entah kenapa rasa kantuk kembali menyelimuti mata Fatiah yang semalam ia gunakan begadang nonton drama India.
“Kenapa, Kak? “ Suara Fatiah parau khas orang baru bangun tidur.
“Kak? Iah kok tumben panggil ana, Kak.” Alis Rani terangkat menatap Fatiah yang kini tergerak untuk mengubah posisinya menjadi duduk. “Iah, marah ya ana bangunin?”
Fatiah refleks menggeleng. “Gak, Mbak, tadi keceplosan aja panggil ‘kak'.”
“Oh kirain.” Rani kembali mengulas senyum lebar di wajahnya. “Hari ini kamu gak ada acara, kan? “
“Acara? “
“Iya, gak ada, kan? “
“Hem.” Fatiah refleks merengangkan tubuhnya agar terasa lebih fresh.
“Temenin ana ke undangan pernikahan ya.”
“Undangan siapa, Mbak? “
“Undangan teman ana yang kemarin jumat ana tunjukan. Ana gak ada temeni nih, gak enak banget, berasa jomblo bet,” kata Rani sembari sibuk memilih-milih baju di dalam lemarinya.
“Eh, tapi undangannya kan cuman buat mbak, kalo aku datang, Entar haram makannya.”
“Ih enggak loh.” Rani menutup lemarinya, mrngambil undangan yang ia letakan di meja dekat meja tempat mereka menyimpan makanan. “Tuh liat, iti di tulisannya Rani dan partner. Artinya Rani dan pasangan, pasangan kan gak harus suami istri. Pasangan teman, pasangan sekamar. Kan sama aja. Lagian ana udah tanya sama teman ana yang punya jabatan, dia bilang gak masalah kalo ana bawa teman ke sana.”
“Oh gitu.”
“Mau temenin ana, kan? “
“Pulangnya siang, kan, Mbak? “
“Emang ada kondangan sampai subuh?”
“Gak gitu juga.”
“Lagian pertanyaan kamu aneh bet. Setelah acara ya kita pulang, kita gak akan nongkrong di sana sampe subuh.”
“Soalnya aku tuh ada tugas yang belum selesai, jadi harus dipastiin pulang jam berapa.”
“Ya, paling setelah dzuhur lah. Temenin ya?”
“Iya.”
“Nah gitu dong.”
.
.