| Rindu yang Tak Selesai

1165 Kata
"Val, pulang sama siapa?” tanya Mai, gadis berambut keriting mengembang dengan raut wajah semanis Beyonce. Tubuh rampingnya dengan kulit eksotis membuat dia menjadi salah satu gadis cantik yang banyak digilai mahasiswa kampus. Meski bertubuh ramping dan berkaki jenjang, Maira Shaheen memiliki buah dadaa yang sedikit kebesaran untuk tubuhnya. “Naik taksi kayaknya,” jawab Val lesu. Hari ini Gio belum kembali dari dinas luar kotanya. Sebenarnya Val malas pulang ke rumah, karena pasti dia bakal kesepian tanpa Gio. Kalau Gio lagi ada di Jakarta, dia punya harapan ketemu suaminya karena tahu pasti bakalan pulang meski larut atau Subuh. “Ikut kita, yuk!” ajak Mai. Dilihatnya Poppy Flora, teman mereka yang satu lagi sedang berlari kecil ke arah mereka berdua. “Val ikut?” tanya Poppy dengan napas pendek-pendek. Gadis ini sama tinggi dengan Mai tapi bertubuh seperti emak-emak yang gagal diet. Poppy berparas manis, tapi dia suka ngemil sehingga tubuhnya sedikit melar. Gadis perantauan ini bilang, dulu tubuhnya nggak sebesar sekarang. Ini karena sejak pertama kali datang ke Jakarta, dia terpesona dengan aneka ragam makanan di ibukota ini. Semua makanan yang dulunya cuma bisa dilihat di televisi, sekarang bisa dia beli langsung. “Gimana, Val?” Mai memastikan. Tidak ada yang akan memarahinya kalau Val pulang telat hari ini, kan? Dia tinggal izin sama mamanya Gio dan memberitahukan kalau tidak perlu menunggu untuk makan malam. Urusan gadis-gadis kadang suka sampai lupa waktu. “Ayok, deh! Aku juga suntuk di rumah.” Kedua temannya tersenyum lebar. Ini kali pertama Val pergi bersama mereka. Sejak awal kuliah, Val seperti gadis kutu buku yang lebih suka menyendiri dari pada nongkrong di kantin atau bergerombol bersama teman. Ternyata setelah didekati, Val gadis yang menyenangkan. “Chat sama siapa, sih?” Poppy yang duduk di belakang dengan Val, menjulurkan kepalanya. "Yayang aku dong!" Gadis itu menggeser ponselnya agar Poppy nggak melihat dengan siapa dia chating. Val belum mengubah nama Gio di ponselnya, masih pakai nama 'suamiku'. "Masing yayang tapi udah pake nama suami." Poppy berdecak. Telat. Poppy dah lihat dan Val membuka telinga lebar-lebar untuk mendengar komentar selanjutnya. "Lho, kamu klo bilang Jungkook juga suami, kan?" Mai yang duduk di depan mencoba membela Valerie. "Itu lain. Suami khayalan. Kalau dia real life. Aku di real life nggak ada nyebut suami. Kamu kebanyakan main toktok ya? Kayak anak SD tu, masih bau kencur udah panggil ayah bunda. Hadeuuhhh." Poppy menepuk jidat. "Aku lagi gladi resik sebelum nikah. Membiasakan diri nyebut dia suami biar nggak kagok," kata Val beralasan. "Ada, ya alasan kayak gitu? Gladi resik dia bilang?" Mai terkekeh geli mendengar alasan Val. Teman baru mereka ini ternyata gokil juga. "Val, kamu rugi kalau terlalu setia sama satu cowok. Dunia ini luasss! Kampus cuma sebagian kecilnya aja. Tapi di kampus aja, cowok-cowok tersedia dalam berbagai macam warna dan model. Apalagi di luar kampus? Di sekitar kosan, di seluruh kota … wahh! Aku mau coba semuanyaaa!" "Gila lu Pop! Emang lagi milih celana dalam? Berbagai warna dan model. Tepok jidat dah! Diet dulu, Pop sebelum hunting mas-mas!" "Saya juga cowok, Mbak. Apa mau nyoba sama saya juga? Belum pernah punya pacar supir taksi, kan? Hehe." "Asem ih si Bapak. Udah kisut juga masih nawarin diri. Inget bini di rumah, Pak!" seru Poppy. "Saya duda, Mbak. Hehe." "Whatt?!" teriak Mai dan Poppy bersamaan. "Kita Lalu mereka tergelak cukup keras sampai rasanya bisa terdengar oleh orang di luar taksi. Val menyimak saja obrolan mereka. Poppy dan prinsipnya sangat enggak dia banget. Bagi Val satu cowok cukup untuk selamanya. Gio sudah memenuhi dirinya dengan sempurna. Untuk apa dia mencari yang lain? "Dih, si Val malah senyum-senyum sendiri. Lihat foto pacar kamu, dong! Pasti ganteng ya sampai nggak mau ngelirik yang lain." "Ganteng, tajir, baik, royal, setia, soleh, unch! Paket komplit banget. Sayangnya pacar sempurna cuma ada dalam n****+ cinta." Val senyum. Dia punya Gio dan semua yang disebutkan Mai ada pada lelakinya. "Udah, ah soal akunya. Kalian sendiri gimana? Cowok kalian kayak gimana?" Keduanya langsung diam. Suasana dalam taksi mendadak kayak malam 1 suro. Yang terdengar cuma lagu-nya Lord of Broken Heart yang mengalum dari radio mobil. Val sering melihat Mai dan Poppy jalan dengan cowok. Mereka akrab sekali. Jadi Val pikir itu pacarnya mereka. "Kita single kok, Val. Yang sering kamu liat itu bukan cowok kita. Poppy juga, gaya dia aja sok-sokan udah laku, aslinya jones! Jomlo ngenes!" goda Mai. Gadis di sebelah Val cuma melipat bibirnya dan buang muka ke kaca jendela. Val senyum, baru tau kenyataan satu ini. Kalau gitu, dia harus hati-hati berbicara soal Gio. Supaya nggak menimbulkan rasa iri pada mereka berdua, teman yang baru akrab dengannya selama hampir dua jam terakhir. *** Tengah malam, Val dikejutkan oleh gerakan halus di beberapa area sensitif tubuhnya. Rasa geli itu menyerang dan Val tak kuasa untuk terus terlelap. Rasa kantuknya dipaksa pergi, tergantikan dengan rasa mendesak yang membuatnya seperti mau pipis. "Ah, stop it, Gio!" erangnya. Namun lelaki yang sedang bekerja di area paling sensitif milik Val itu tak menghiraukan permohonan istrinya. Sudah berhari-hari dia meninggalkan sebagian dirinya di rumah dan di sepertiga malam ini, dia ingin mendengar wanita itu mendesahkan namanya dengan seksii. "Gio kamu nakal!" gerutu Val seiring dengan tubuhnya yang menggelepar hebat. Lelaki di bawahnya terkekeh dan merangkak naik. "Aku suka mendengarnya. Kamu tadi terdengar seksii sekali." Lelaki itu mengungkung tubuh istrinya dan mengunci pandangan Val. "Kamu nggak bilang mau pulang malam ini," kata Val masih sedikit terengah. Dia ingat tadi siang sewaktu chat, Gio bilang masih dua harian lagi baru pulang. "I miss you wife." Gio menjawab keingintahuan Val dengan ciuman panas yang mampu melelehkan rasa rindu yang sudah mengerak. Rasanya, sumur-sumur kosong dan kering milik Val terisi lagi begitu Gio masuk ke dalam pelukannya. Dan menjadi penuh begitu tubuh Gio menyatu dengannya. Seolah setiap lekukannya memang diciptakan untuk mengunci lekukan di tubuh Val. Kewanitaan Val mencengkeram erat, bagai pasak yang memasung tongkat panjang agar tak lepas dengan mudah. Bagi Gio, setiap merasai Val, dia selalu dikejutkan dengan rasa yang tak pernah sama. Selalu saja tertinggal rasa lapar dan haus yang membuatnya ingin datang lagi dan lagi. Malam hampir selesai, tapi mereka baru saja mencuri start untuk memulai hari. Dan ketika satu putaran purna dilakukan, keduanya melunglai bersamaan. "Apa kamu nggak cape?" tanya Val. Tubuhnya terasa nyaman dalam pelukan suaminya. Punggungnya terasa hangat menyentuh dadaa Gio. "Aku kangen banget sama kamu dan yang tadi baru terobati separuh." Tangannya menyelinap di antara paha istrinya. Mencari sebentuk kehangatan yang lain. "Apa kamu bersenang-senang tadi sore? Sama teman-temanmu?" Jemari Gio mulai bergerak menggelitik. "Kan sudah kubilang dichat. Aku seneng karena nggak kesepian. Tapi begitu balik ke rumah, rasanya pengen nangis saking kangennya. Sejak nikah, ini waktu terlama kamu ninggalin aku, Gio. Hampir dua minggu! Kayaknya aku mulai tergantung sama keberadaanmu. Susah tidur kalau nggak ada kamu." "Dan aku tergantung sama tubuhmu, Sayang." Gio menciumi tengkuk Val hingga wanita itu merinding geli. Keduanya sadar, rasa haus dan lapar ini tak akan pernah bisa dituntaskan. Keduanya akan berhenti bukan karena kenyang, tapi karena tubuh mereka sudah terlalu lelah dan butuh istirahat.©
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN