"Vaniaa!" teriakan Aby membuat Vania yang sedang memasak segera mematikan kompor dan berlari ke arah kamar mandi.
Beberapa saat lalu, lelaki itu meminta berendam air hangat di bathtub. Tentu saja Vania merasa khawatir akan terjadi sesuatu pada lelaki imut itu.
"Ada apa? Astaga Aby, tutup itu!" teriak Vania sambil menuding tubuh bagian bawah Aby yang bergelantung bebas.
Vania dihadapkan dengan rasa khawatir sekaligus terkejut karena Aby sekarang tengah berdiri di pojokan dalam keadaan polos. Bahkan dia tidak menutupi bagian penting dari tubuhnya.
"Sudah. Cepat usir kecoa itu, Vania!" Aby menutupi miliknya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menuding ke arah bak mandi. Di sana ada seekor kecoa yang sedang berusaha membalikkan badan. Kakinya terus bergerak berusaha menggapai sesuatu.
Tiba-tiba saja Vania terkekeh. Bukan karena si kecoa, tetapi lebih ke tingkah Aby. Lelaki itu seakan cuek, tidak memiliki rasa malu sedikitpun.
"Vania, cepat usir. Kok malah ngetawain aku, sih." Aby merajuk saat melihat Vania dengan santainya menertawakan dia tanpa mengusir kecoa yang tidak berhenti bergerak itu.
"Iya, iya. Maaf," Wanita itu segera mengambil kain pel dan memakai gagangnya untuk membantu kecoa tersebut keluar dari air.
Hal yang terjadi justru di luar dugaan. Kecoa itu merayap melalui gagang kain pel ke arah Vania. Wanita yang juga sebenarnya geli terhadap kecoa itu melempar kain pel dan tanpa aba-aba, kecoa itu terbang ke arah Aby, lelaki itu panik dan berlari ke arah Vania, mendekap wanita itu erat-erat.
Wanita itu membeku. Dia tanpa sengaja mendaratkan kedua telapak tangannya ke b****g Aby. Benda kenyal dan lembut itu tidak lantas membuat Vania betah berlama-lama berada di sana. Dia segera mengangkat tangannya dan seakan tidak bisa bergerak, tangan Vania diam, kaku, dengan posisi sama, seperti memegang gundukan.
Belum lagi saat Vania menyadari pemandangan yang dia lihat di hadapannya. Hamparan tubuh bagian atas Aby yang putih mulus dengan lekuk yang indah terpampang tepat di depan matanya. Sesaat pandangan wanita itu seakan terpaku. Ingin rasanya Vania menyentuh, tetapi jelas saja dia tidak bisa melakukan itu. Bagaimana kalau dia dituduh melecehkan bocah lelaki polos? Walau sebenarnya dia sah saja melakukan itu.
"Vania, Aby takut. Itu kecoanya terbang, gimana nanti kalau dia gigit Aby? Nanti kalau kumannya pindah ke Aby terus Aby gatal-gatal gimana. Huaa, Vania tolong usir, Aby takut. Aby nggak mau digigit, tolong Van ...," Vania segera menutup mulut Aby dengan ciuman. Lelaki itu langsung diam. Tatapannya kini lurus ke kedua mata wanita yang ada di hadapannya.
Tanpa sadar Vania melingkarkan kedua tangannya ke leher Aby dan menikmati penyatuan bibir mereka. Aby yang sudah terbiasa dengan perlakuan wanita itu hanya pasrah. Membiarkan istrinya berbuat sesuka hati.
"Aby! Vania!" terdengar teriakan Mirna yang membuat Wanita itu sadar dan menghentikan keromantisan mereka.
"A-aby, kamu masuk ke bak lagi, ya. Itu kecoanya udah nggak ada. Aku mau nemuin mami dulu." Vania merayu Aby sambil celingukan, takut Mirna tiba-tiba nongol di pintu kamar mandi dan salah paham.
"Vania udah ciumnya? Nggak mau lagi?" Lelaki itu malah bertanya seperti itu dengan wajah polos.
"Nanti kita lanjut lagi kalau Mami sudah pulang. Ayo, Aby cepat berendam lagi." Vania terus berusaha merayu sambil menahan pandangannya agar tidak turun ke bawah.
"O-oke."Wanita itu mengembuskan napas lega saat akhirnya Aby menurut dan berbalik menuju ke arah bathtub dan masuk ke dalam sana.
Vania melangkah cepat keluar kamar mandi. Dia segera berusaha menemukan Mirna. Wanita itu melangkah cepat sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Ternyata orang tua Aby itu tengah berusaha menelepon seseorang di sofa ruang tamu, tetapi sepertinya tidak berhasil karena terdengar decakan kesal dari Mirna.
"Mami, maaf. Aku tadi lagi mandiin Aby. Tumben mami dateng nggak bilang-bilang?" Vania segera mencium punggung tangan Mirna sebagai bentuk penghormatan.
"Soalnya ini di luar rencana, Sayang. Mami mau pergi ke luar kota, ada urusan keluarga mendadak. Mami mau kasih kalian ini, buat jaga-jaga kalau Mami lama di sana." Mirna menyerahkan black card miliknya ke Vania. Wanita itu percaya kalau Vania bisa diandalkan.
"Ini buat apa, Ma? Kemarin mama sudah transfer banyak uang." Vania mengingatkan Mirna yang memang baru mentransfer sejumlah uang ke rekening miliknya.
"Karena mami tidak bisa memastikan kalau mami bisa pulang cepat. Aby itu terkadang kambuh depresinya, kalau sudah begitu dia harus dibawa ke psikiater tempat dia biasa dirawat. Nanti mami bagi kontaknya. Mami percaya kamu bisa jaga Aby dengan baik. Tolong, jangan kecewakan mami, Vania." Mirna meremas tangan Vania, bahkan wanita itu meneteskan air mata. Terlihat sangat berat untuk melepaskan Aby.
Melihat hal itu Vania merasa iba pada Mirna dan memeluk mertuanya itu dengan hangat. Bagaimanapun, wanita yang tidak sengaja dia temui di pusat perbelanjaan itu sudah merubah nasibnya menjadi sebaik sekarang.
"Mami tidak perlu khawatir, aku akan menjaga Aby dengan baik. Aku sayang sama dia Mam, dan nggak mungkin aku mencelakakan Aby." Jantung Vania berdebar cepat saat mengatakan itu. Dia sendiri sebenarnya tidak bisa memastikan akan bisa menjaga Aby dengan baik atau tidak.
"Mami percaya kamu gadis yang baik dan tulus. Terima kasih karena kamu sudah mencintai Aby seperti lelaki normal pada umumnya, Vania. Mami beruntung bisa menemukan kamu untuk anak kesayangan mami." Mirna masih saja terisak.
Untuk menenangkan, Vania pergi ke dapur dan mengambil segelas air putih untuk dia berikan pada Mirna. Wanita itu meneguk isi gelas yang Vania bawakan hingga menyisakan setengah air di dalamnya.
---
Malam harinya, Vania dan Aby sama-sama sedang duduk di sofa. Lelaki itu menonton animasi anak kesukaannya ssperti biasa sedangkan Vania sibuk membalas pesan dari Romi.
"Vania," Aby bersuara, mengusik kesenangan yang tengah Vania rasakan.
Dia sudah menceritakan pada Aby kalau Mirna pergi ke luar kota. Meski awalnya lelaki itu terlihat sangat kecewa, tetapi seiring waktu Vania berhasil membujuk suaminya agar tetap tenang dan nyaman.
"Apa?" tanya Vania singkat.
"Mami kapan pulang?" tanya Aby. Ini sudah lebih dari sepuluh kali lelaki itu menanyakan hal yang sama. Dia bertanya tentang kapan Mirna kembali.
"Aku kan sudah bilang, Mami baru berangkat, Aby Sayang. Nanti kalau Mami kembali ke sini pasti langsung menemui kamu. Tenang, ya." Vania berusaha lembut dan mengusap puncak kepala suaminya yang kini tertunduk lesu.
"Tapi aku pengen sama Mami, Vania." rengek lelaki itu dengan mata yang berkaca-kaca. Melihat ini Vania tidak tega sekaligus sedikit kesal. Padahal dia sudah menjelaskan kalau Mirna sedang tidak ada di rumah.
"Gimana kalau aku bikin kamu seneng? Yuk," Vania segera menyudahi obrolan via pesannya dengan Romi dan menarik tangan Aby pelan.
"Kita mau kemana?" tanya lelaki itu seperti biasa, dengan wajah polos.
"Ke kamar. Udah ayo, kamu ikuti aja apa kataku," Mendengar itu Aby pasrah, mengikuti langkah Vania menuju ke kamar mereka.
Setibanya di sana Vania langsung mengunci pintu kamar mereka. Aby tampak bingung mengapa Vania melakukan itu, tetapi dia tidak bertanya apapun.
"Sekarang buka baju kamu." perintah Vania. Aby semakin bingung.
"Aku sudah mandi, Vania. Untuk apa buka baju? Kamar ini ber-AC, dingin." rengek lelaki itu.
"Lakukan saja. Aku akan menyenangkanmu. Kita berdua akan bersembunyi di dalam selimut dan memainkan sesuatu." bisik Vania seraya membantu Aby melepas kaosnya.
Vania tidak bisa melupakan momen di kamar mandi bersama Aby. Malam ini dia ingin bisa mencicipi ranumnya setiap jengkal tubuh Aby. Entah keberanian darimana, tetapi Vania benar-benar dikuasai pikiran liar.
Awalnya banyak sekali pertanyaan yang diajukan oleh Aby, tetapi pada akhirnya lelaki itu menikmati apa yang mereka lakukan. Vania bertindak sebagai pemimpin, dia sepenuhnya mengendalikan Aby.
Hingga waktu berlalu, keduanya telah menyelesaikan permainan layaknya dua orang dewasa. Vania kini tidak penasaran lagi bagaimana rasa menjadi wanita yang sesungguhnya. Meskipun dia harus melakukan sedikit trik, tetapi Aby tidak mengecewakan. Lelaki itu berhasil membawanya terbang ke awan.
Aby tidur dalam dekapan Vania seperti biasa. Tiba-tiba saja wanita itu tersadar atas semua kegilaan yang sudah dia lakukan.
"Kenapa aku mendadak gila seperti ini. Bagaimana nanti kalau sampai aku hamil. Apa yang harus aku katakan ke dia?"
Vania menatap wajah Aby dengan penuh penyesalan. Semua sudah terlambat. Malam ini dia sudah menyerahkan diri pada lelaki yang bersikap seperti bocah itu.
"Aku sebaiknya tidak usah terlalu peduli. Hanya satu kali saja belum tentu bisa membuatku hamil. Terima kasih untuk malam ini , Tampan." Vania membelai wajah Aby perlahan lalu menghadiahkan kecupan singkat di bibir lelaki itu.