6. Perasaan Tanpa Status

1576 Kata
Karena Dylan ingin tahu apa solusi darinya, maka Gianna mengajak Dylan pergi ke pantai, meski sekarang sudah malam. Sedangkan Dylan, ia masih belum mengerti, kenapa Gianna membawanya ke sini? "Cobalah berteriak sekeras mungkin," ucap Gianna. "Kau mengajakku jauh-jauh ke sini hanya untuk berteriak? Apa bedanya dengan berteriak di rumah?" tanya Dylan. Ia merasa kalau solusi ini sangat tidak berguna. "Tentu saja berbeda. Coba berteriak sekeras yang kau bisa. Keluarkan juga makian untuk orang yang telah menyakitimu. Seperti ini ... Ethan sialan! Kau bukan manusia! Berengsek! Pergi saja neraka!" teriak Gianna dengan begitu kerasnya. Dylan terlihat cukup terkejut, ia tidak menduga kalau Gianna bisa berteriak sekeras tadi. Dylan menjadi membayangkan bagaimana jadinya jika ada seseorang yang terjebak di dalam ruangan yang sama dengan Gianna dan Gianna berteriak seperti tadi. "Ayo lakukan!" ucap Gianna pada Dylan. "Tidak mau! Itu sangat konyol," tolak Dylan. "Sekali saja. Jika kau tetap tidak suka, maka aku tidak akan memaksamu." Dylan menghela napas. Dylan ingin menolak, tapi Gianna terus memaksanya. Dylan memperhatikan sekitarnya dan tempat ini sepi. Jadi, memang tidak masalah jika berteriak sekeras mungkin. Baiklah, Dylan akan mencobanya. "Anna berengsek! Aku bersumpah kau dan selingkuhanmu tidak akan bahagia untuk seumur hidup kalian!" Dylan tampak mengatur napas setelah berteriak, kemudian tersenyum. "Jadi, namanya Anna?" gumam Gianna, tapi tidak didengar oleh Dylan. "Bagaimana rasanya?" tanya Gianna. "Lumayan," jawab Dylan. Setelahnya, ia kembali meneriakan hal yang sama, kemudian tertawa bersama Gianna yang juga kembali meneriakan makian untuk Ethan. Sampai akhirnya, Gianna tampak merentangkan kedua tangannya untuk menyambut Dylan dalam pelukannya. "Bagus sekali! Kau melakukannya dengan benar," ucap Gianna, masih dengan Dylan yang ada di pelukannya. Gianna juga tidak lupa mengelus punggung Dylan dengan begitu lembut. Dylan tampak terdiam dalam pelukan Gianna, kemudian mulai memejamkan matanya. Teriakan tadi mungkin tidak menyelesaikan masalahnya, tapi setidaknya ia telah menemukan satu hal menyenangkan untuk dilakukan saat mulai kelawalahan dengan mendiami semua masalahnya. Seolah semua kesedihannya telah menguap begitu saja, Dylan kini tampak bermain bersama Gianna. Mereka saling melemparkan air ke tubuh masing-masing, lalu Dylan mengejar Gianna karena berhasil membuat wajahnya terkena air. Gianna berlari sembari tertawa, membuat Dylan bisa mendapatkannya dengan mudah bahkan sekarang sudah menggendongnya dan ingin menidurkannya di air. "Tolong jangan lakukan itu," mohon Gianna. Bukannya menurut, Dylan malah semakin merendahkan tubuhnya. Gianna seketika berteriak sembari mengeratkan pelukannya pada leher Dylan. "Dylan, tolong jangan lakukan itu. Kau tahu bukan betapa dinginnya air laut di malam hari?" ujar Gianna lagi. "Aku akan tahu jika kau mencobanya." Dylan semakin suka menggoda Gianna. "Aku meminta maaf karena sudah membuat wajahmu basah. Kau boleh membasahi wajahku juga, tapi jangan seluruh tubuhku." Dylan lagi-lagi merendahkan tubuhnya dan membuat Gianna berteriak histeris. Namun, pada akhirnya, Dylan membawa Gianna menjauh dari air dan mendudukannya di pasir. Setelah Gianna duduk, Dylan kini ikut duduk di sebelahnya. Gianna menoleh pada Dylan dan tersenyum padanya. "Masalahmu memang tidak hilang begitu saja, tapi kau terlihat lebih baik sekarang," ucap Gianna. "Apa kau sering berteriak seperti tadi?" "Itu ... sebenarnya, ini pertama kalinya aku berteriak seperti tadi, tapi aku sering datang ke tempat ini." "Apa? Jadi, kau baru saja menipuku?" "Siapa yang menipumu? Kau meminta solusi, maka aku memberikannya. Namun, bukankah cukup menyenangkan bisa berteriak seperti tadi? Aku melihatnya di dalam drama dan ternyata seru juga saat dicoba. Aku pikir, itu adalah hal terbaik yang bisa dilakukan ketika tidak ada orang yang bisa memahami perasaan kita." Pandangan Gianna mengarah lurus ke depan ketika ia bicara. Dylan menatap lekat Gianna. Gianna berusaha menemukan solusi ini untuknya, tapi sepertinya Gianna juga perlu menghibur dirinya sendiri. "Jadi, apa saja yang kau lakukan di sini?" tanya Dylan. "Kadang, aku hanya duduk untuk waktu yang lama. Kadang, aku juga menangis. Sekarang, aku juga akan berteriak di sini." Gianna menatap Dylan setelah selesai bicara. "Apa kau akan datang ke sini lagi?" tanyanya. "Entahlah, aku tidak yakin. Memangnya kenapa? Apa kau takut aku akan melihatmu menangis di sini?" "Memangnya kenapa jika kau melihatku menangis? Itu tidak masalah, selama bukan Nenekku yang melihatnya." "Apa itu yang namanya permainan berpura-pura kuat?" "Anggap saja begitu. Kenapa kita malah membahas hidupku? Bagaimana jika kita pulang sekarang? Ini sudah larut malam." Gianna mulai berdiri. Dylan ikut berdiri dan meraih tangan Gianna. "Ayo pulang ke rumahmu," ucapnya sembari menggandeng Gianna. Setelah pertemuan demi pertemuan dan momen kebersamaan yang tercipta di antara Dylan dan Gianna, mereka tidak lagi bertemu untuk sekadar urusan ranjang. Dylan mulai mengajak Gianna makan bersama untuk bercerita tentang beberapa hal yang terjadi pada hari itu, atau untuk berjalan-jalan berdua menikmati hal-hal yang menyenangkan. Dylan juga mengajak Gianna kembali ke pantai dan menikmati matahari terbenam di sana sembari sesekali berteriak. Terhitung sudah hampir empat bulan sejak Anna memutuskan pertunangan dan pergi dengan pria lain. Sampai detik ini, pengkhianatan Anna masih membuat Dylan sakit hati, tapi kehadiran Gianna bisa menjadi hal baru yang menarik perhatiannya dan mengalihkannya dari masalah dengan Anna. Namun, alasan terkuatnya adalah Dylan tahu bahwa Gianna bisa bersikap selayaknya seorang kekasih baginya dan Gianna tidak mungkin pergi selama ia punya uang. Dylan senang mengetahui bahwa ia memiliki kekuasaan untuk tidak ditinggalkan lagi. Selain Ethan, Gianna belum pernah lagi memiliki hubungan yang terasa sedekat ini dengan seorang pria. Awalnya, Gianna datang menemui Dylan karena begitu tertarik pada uangnya, tapi Gianna tidak tahu sejak kapan ia mulai lebih tertarik mendengar cerita Dylan. Mengetahui Dylan yang sebelumnya kacau, kini mulai membaik dan kembali fokus pada pekerjaannya juga kehidupannya membuat Gianna senang mendengarnya. Gianna merasa melihat kesembuhan Dylan setelah ditingalkan oleh kekasihnya. Ada kalanya, Dylan tiba-tiba datang ke rumah Gianna tanpa janji sebelumnya. Seperti sekarang ini, Dylan mengetuk pintu rumah Gianna, ketika pintu sudah terbuka, Dylan langsung masuk dan memeluk erat Gianna. Awalnya, Gianna terkejut dengan sikap Dylan, tapi setelah beberapa kali terjadi, ia menjadi menantikan Dylan datang padanya dengan penuh kejutan. "Aku lelah sekali hari ini. Kepalaku juga terasa sakit," ujar Dylan dalam pelukan Gianna. "Apa kau memaksakan diri lagi? Sudah aku bilang ... apa kau demam?" Gianna menempelkan telapak tangannya di dahi Dylan yang terasa panas. "Apa kau sudah makan dan minum obat?" tanya Gianna, tapi Dylan hanya menggeleng pelan. "Ayo, kau harus istirahat dulu." Gianna membawa Dylan ke kamar dan membiarkannya berbaring di ranjang. Sementara Gianna keluar karena ingin memasak sesuatu untuk Dylan. Gianna tidak memiliki banyak bahan makanan di rumahnya, maka ia hanya bisa membuat makanan sederhana untuk Dylan. Namun, Gianna akan memastikan rasanya enak walau itu hanya masakan sederhana. Setelah buburnya matang, Gianna pergi melihat persediaan obat dan baru menyadari bahwa ia tidak memiliki obat demam. "Aku lupa kalau obatnya habis," gumam Gianna. Ia buru-buru keluar untuk membelikan Dylan obat. Beruntung apotek tidak begitu jauh dari tempat tinggal Gianna. Hanya saja, mulai turun hujan saat ini, tapi Gianna tetap keluar dengan membawa payungnya. Setelah nenek dan mendiang adiknya, Gianna belum pernah memperlakukan orang lain sampai seperti ini. Gianna berusaha kembali secepat mungkin sampai membuatnya berjalan dengan terburu-buru dan hampir saja jatuh. Begitu obat tersedia, Gianna langsung membawakannya ke kamar bersama dengan bubur hangat untuk Dylan. "Demammu sepertinya bertambah parah," ucap Gianna saat memeriksa kembali demam Dylan dengan termometer yang tadi ia beli. "Ayo makan dulu, lalu minum obat." Gianna membangunkan Dylan, tapi ia tidak mau bangun. "Aku tidak mau!" tolak Dylan sembari menarik lagi selimutnya. "Kau tidak akan sembuh jika seperti ini. Cepat bangun!" Gianna memaksa Dylan untuk bangun, kemudian membuatnya duduk dan bersandar pada sandaran ranjang. Gianna menyuapi Dylan bubur walau harus sedikit memaksa karena Dylan yang begitu malas makan saat sedang sakit. Setelah makan, Gianna juga memberikan Dylan obat dan membiarkannya kembali beristirahat. "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa rambutmu agak basah?" tanya Dylan yang baru menyadari kondisi rambut Gianna. "Tidak terjadi apa-apa. Kau istirahat saja." Gianna membenarkan selimut Dylan, kemudian keluar untuk mencuci mangkuk kotor yang digunakan untuk membawa bubur. "Kau mau ke mana? Temani aku di sini," pinta Dylan dengan nada merengek. "Aku akan mencuci mangkuk kotor. Aku akan kembali secepatnya." Gianna tersenyum dan setelahnya keluar. Gianna benar-benar menemani Dylan setelah ia selesai dengan mangkuk dan beberapa piring kotor. Gianna naik ke ranjangnya yang tidak begitu besar dan Dylan langsung memeluknya begitu ia berbaring. Gianna tampak tersenyum ketika mendapatkan pelukan dari Dylan, apa lagi Dylan seperti anak kecil saat ini. "Bubur buatanmu sangat enak. Besok, buatkan lagi untukku," ucap Dylan dengan mata yang terpejam. "Aku akan membuatkannya untukmu. Sekarang, tidurlah." Gianna mengusap punggung Dylan dan tidak lupa mengecup kepalanya. Gianna benar-benar nyaman dengan keadaan yang ia jalani saat ini. *** "Apa Anda serius dengan Gianna?" Henry memberanikan diri menanyakan hal itu pada Dylan, sebab akhir-akhir ini, Dylan begitu sering menghabiskan waktu bersama Gianna layaknya sepasang kekasih. Bahkan kemarin, Dylan datang pada Gianna saat ia sakit. Henry senang jika Dylan kembali membuka hati untuk melupakan masa lalunya, tapi sepertinya akan menjadi masalah besar dalam keluarga Dylan serta citranya, juga perusahaan jika orang-orang tahu siapa Gianna. Dylan meletakan teh yang akan ia minum, lalu menatap Henry yang berdiri di seberang meja kerjanya. "Apa maksudmu?" tanya Dylan. "Begini ... awalnya, saya tidak yakin siapa Gianna, tapi belum lama ini, saya tidak sengaja melihat Gianna di pusat perbelanjaan. Seorang pria mendatangi Gianna dan membicarakan kapan dia bisa memanggil Gianna, lalu tidur dengannya lagi. Gianna memang menolak, tapi bukankah itu berarti Gianna adalah semacam wanita panggilan atau kasarnya dia ...." Henry tidak melanjutkan kalimatnya setelah melihat betapa tajamnya tatapan Dylan padanya. "Sejak kapan kau mulai ikut campur ke dalam hal yang tidak aku minta untuk kau tangani?" suara Dylan terdengar begitu dingin. "Saya khawatir tentang Anda, Pak Dylan. Bagaimana reaksi keluarga Anda jika tahu–" "Khawatirkan saja dirimu sendiri! Aku juga tidak punya keluarga lagi. Keluar!" bentak Dylan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN