Di rumah sederhana Gianna hanya ada tiga kamar tidur, satu kamar neneknya, kamar Yuna, dan satu lagi kamar Gianna. Dulu, ada dua ranjang di kamar Gianna, karena ia tidur bersama Daniel–saudaranya. Namun, ranjang Daniel di keluarkan setelah dia meninggal dunia. Sekarang, Dylan akan ikut menginap di sini, maka Gianna memberikan kamarnya pada Dylan, sedangkan ia tidur bersama neneknya. Gianna sama sekali tidak mempermasalahkan hal ini, sebab ia memang lebih suka tidur bersama neneknya, agar tidak merasa kesepian.
Namun, Dylan sepertinya cukup mempermasalahkan keputusan Gianna. "Apa kau tidak bisa tidur di sini bersamaku?" tanya Dylan pada Gianna yang saat ini sedang merapikan tempat tidur.
"Apa kau sudah gila? Nenek dan Bibiku hanya tahu kalau kita berteman. Aku tahu kalau teman juga kadang bisa tidur bersama, tapi di sini berbeda. Tidak semua orang punya pikiran seperti itu," jawab Gianna dan di saat bersamaan, ia telah selesai merapikan tempat tidur untuk Dylan.
"Kau bisa tidur sekarang," ucap Gianna sembari menunjuk tempat tidur yang sudah rapi dan bersih.
Setelah merapikan tempat tidur, Gianna kini membuka lemari pakaiannya untuk mengambil baju tidur. Gianna dibuat kaget ketika menutup pintu lemari, sebab dari cermin terlihat jelas kalau Dylan yang tadinya ada di dekat tempat tidur, kini berada tepat di belakangnya.
"Kau membuatku kaget!" ujar Gianna yang saat ini sudah memutar badannya untuk menatap Dylan secara langsung.
Dylan semakin mendekat pada Gianna. Dylan menarik pinggang dan tengkuk leher Gianna untuk memberikannya ciumam hangat dalam jarak yang sedekat mungkin. Jika sudah mencium Gianna, maka Dylan akan kesulitan untuk menahan diri. Dylan memahami dirinya dengan baik, tapi ia tidak bisa lagi menahan keinginan untuk mencium bibir Gianna. Sudah seharian ia bersama Gianna, tapi belum mendapat kesempatan untuk menyentuhnya.
Dylan mengambil pakaian di tangan Gianna, lalu membuangnya ke lantai dan setelahnya mengangkat tubuh Gianna. Dylan membawa Gianna naik ke ranjang dan ia berada di atas Gianna, masih dengan mencium bibirnya. Tangan Dylan bergerak semakin liar dengan masuk ke dalam baju Gianna agar bisa merasakan kulit halusnya.
Gianna mendorong Dylan sampai membuat ciumannya terlepas. Gianna kini menatap lekat Dylan dan berkata, "Bagaimana jika ada yang masuk?"
"Aku sudah mengunci pintu," balas Dylan. Dylan ingin kembali mencium bibir Gianna, tapi ia ditahan.
"Nenek pasti akan mencariku jika aku tidak segera ke kamarnya," ucap Gianna lagi.
"Nenek sudah beristirahat, 'kan? Nenek pasti tidak akan mencarimu. Bibi Yuna juga sedang pergi. Aku akan melakukannya dengan cepat. Aku tidak tahan lagi, Gianna." Dylan menatap Gianna dengan tatapan yang begitu memohon.
Tadi, Gianna sempat melihat neneknya sebelum menyiapkan kamar untuk Dylan dan neneknya sudah tidur setelah meminum obat. Gianna berpikir, jika dilakukan dengan cepat dan tidak mengeluarkan banyak suara, maka itu bukankah masalah besar.
"Gianna ...." kalimat Dylan terhenti bukan karena Gianna menolaknya, tapi karena posisinya yang tiba-tiba berubah menjadi di bawah Gianna. Gianna duduk tepat di atas miliknya yang telah menegang. Dylan merasa semakin kesulitan sekarang.
"Lakukan dengan cepat dan tanpa suara. Apa kau bisa melakukannya?" tanya Gianna.
"Khawatirkan dirimu, Gianna. Kau belum pernah tidak berteriak saat bersamaku." Dylan tampak tersenyum dan setelahnya kembali mencium bibir Gianna.
***
Pagi harinya, Dylan yang baru saja bangun tidak sengaja melihat Gianna dari balik jendela di kamarnya. Gianna pergi dengan membawa seikat bunga di tangannya, tapi entah ke mana ia pergi sepagi ini. Dylan yang penasaran akhirnya mengikuti Gianna secara diam-diam, sembari membawa payung karena langit terlihat menghitam akibat mendung.
Gianna berjalan cukup lama, kemudian ia memasuki sebuah area pemakaman. Gianna pergi ke makam Daniel–kembarannya yang telah meninggal lebih dari delapan tahun yang lalu. Gianna berjongkok di sebelah makam Daniel dan meletakan bunga di atasnya.
Dylan berdiri tidak jauh dari Gianna dan ia tahu siapa Daniel, tapi ia tidak mengerti kenapa Gianna datang ke sini pagi-pagi seperti ini seolah tidak ingin diketahui oleh orang lain? Apa alasannya?
Dylan ingin mendekati Gianna, tapi langkahnya tertahan ketika melihat Gianna yang tiba-tiba menangis di sebelah makam Daniel. Awalnya, Gianna menangis dengan pelan, tapi semakin lama tangisannya semakin keras. Gianna terlihat seperti sudah menahan tangisannya untuk waktu yang lama dan baru ia keluarkan ketika telah menemukan tempat untuk bersandar.
"Aku merindukanmu, Daniel. Kenapa kau pergi meninggalkanku? Bukankah kita berjanji akan menjaga Nenek bersama-sama? Aku merasa akan gagal jika melakukannya sendirian," lirih Gianna.
"Aku ingin memeluk Nenek, aku ingin menangis dalam pelukannya dan mengatakan kalau aku kesepian, tapi aku tidak ingin membuat Nenek khawatir. Aku tidak mau Nenek semakin sakit karena memikirkanku. Aku ingin mengatakan kalau aku tidak ingin dilahirkan ke dunia ini, tapi itu akan melukai perasaan Nenek, 'kan? Orang lain hidup dengan baik, tapi kenapa kita harus seperti ini?" Suara dan tangisan Gianna terdengar begitu menyayat hati siapa saja yang mendengarnya.
Dylan terus memperhatikan Gianna. Dylan pikir, inilah alasan Gianna pergi ke makam Daniel secara diam-diam. Gianna tidak ingin ada orang lain yang melihatnya menangis. Gianna memang pura-pura kuat dan ia mulai kewalahan untuk terus berpura-pura. Gianna lelah, tapi tidak bisa menemukan tempat untuk mengeluh, selain pada Daniel.
Tidak lama, tetesan air hujan mulai turun. Gianna masih belum pergi dari sana, seolah tetesan air hujan tidak mampu mengusiknya. Namun, Gianna dibuat terkejut ketika tetesan air hujan tidak lagi jatuh di atas kepalanya. Gianna mendongak dan melihat Dylan yang memayunginya. Gianna benar-benar tidak menyadari keberadaan Dylan di sini.
"Dylan," ucap Gianna dengan nada pelannya.
"Dylan tidak ada di sini. Dylan tidak melihat dan tidak mendengar apa pun. Kau bisa menangis dan mengatakan semuanya pada Daniel." Dylan tersenyum pada Gianna, kemudian mengalihkan pandangannya, tapi ia masih memayungi Gianna.
"Aku ingin Dylan ada di sini. Aku ingin Dylan bersamaku."
Dylan kembali menatap Gianna, kemudian merentangkan kedua tangannya seperti yamg sering Gianna lakukan untuknya. Dylan masih memegang payung di tangannya ketika Gianna memeluknya dengan begitu erat.
Sebelumnya, Gianna memang tidak ingin orang lain melihat kesedihannya karena ia merasa harus selalu terlihat kuat agar bisa bertahan, tapi pertahanannya kini runtuh di depan Dylan. Gianna merasa ingin berbagi segalanya dengan Dylan, kalau saja ia tidak ingat seperti apa hubungannya dengan Dylan yang sebenarnya.
***
Meski sempat turun hujan, tapi beruntungnya tidak turun hujan yang begitu deras. Jadi, Dylan dan Gianna tidak menjadi basah di pagi hari yang dingin. Setelah dari makam Daniel, Dylan dan Gianna tidak langsung pulang, sebab Gianna tidak ingin pulang dalam keadaan seperti ini. Gianna perlu menenangkan diri agar tidak terlihat seperti baru saja menangis di hadapan neneknya.
Gianna mengajak Dylan berjalan-jalan di sekitar pantai dengan sebuah mercusuar berwarna kuning terang yang berdiri dengan begitu kokoh. Sejak dari pemakaman, Gianna belum menceritakan apa-apa tentang masalahnya dan Dylan juga tidak ingin mendesak Gianna untuk bercerita karena takut menimbulkan ketidaknyamanan.
"Apa kau tidak ingin tahu kenapa tadi aku menangis sampai seperti itu?" tanya Gianna, sekaligus memecah keheningan di antara dirinya dan Dylan.
"Aku tidak akan memaksamu jika kau tidak–"
"Aku dan Daniel adalah anak yang terlahir karena kecelakaan. Kami tidak terencana dan kehadiran kami tidak diinginkan. Wanita yang melahirkan kami selalu mengatakan seharusnya dia melakukan aborsi lebih awal, tidak perlu menunggu dan berharap kalau pria yang menghamilinya akan kembali. Aborsi tidak mungkin lagi dilakukan ketika kandungannya sudah besar karena terlalu berisiko. Dia melahirkan kami karena terpaksa, bukan karena keinginannya." Gianna mulai menceritakan kisahnya pada Dylan.
"Wanita itu pergi dari rumah saat kami berusia 7 tahun. Tidak ada yang tahu keberadaannya sampai detik ini dan aku juga tidak peduli lagi dia masih hidup atau tidak. Sampai kami masuk sekolah SMA, kelompok anak berengsek mulai mengangganggu Daniel. Aku mencoba membantunya, tapi keadaan malah memburuk karena mereka mulai menggangguku juga." Gianna masih ingat dengan baik semua kenangan buruk itu. Darah Gianna rasanya mendidih setiap kali mengingat kejadian di masa lalu.
"Hari terburuk itu akhirnya datang. Setelah kelas olahraga, kami diganggu oleh kelompok anak berengsek itu. Kami dibawa ke gudang sekolah dan diperlakukan seperti binatang. Saat ketua kelompok anak berengsek itu ingin melecehkanku, Daniel menjadi sangat marah. Daniel yang sebelumnya menahan diri karena diancam kalau aku akan semakin terluka jika dia berontak, saat itu menjadi hilang kendali. Daniel menghajar anak laki-laki itu sampai tidak sadarkan diri dan akhirnya dia menjadi buta."
Dylan tidak pernah melepaskan pandangannya dari Gianna ketika ia bercerita. Mendengar ceritanya saja sudah sangat menyakitkan, membuat Dylan tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan Gianna dan Daniel yang harus hidup dalam keadaan seperti itu.
"Nenek harus menjual satu-satunya restoran miliknya untuk membayar biaya pengobatan anak berengsek itu dan Daniel terancam masuk penjara. Daniel merasa sangat bersalah saat itu karena Nenek harus menjual restoran untuk menyelesaikan sebagian masalahnya. Nenek tahu apa yang terjadi dan terus meyakinkan Daniel kalau semua itu bukan kesalahannya. Namun, Daniel memilih menyerah sehari sebelum polisi mendatangi rumah kami. Daniel mengakhiri hidupnya sendiri dengan gantung diri." Air mata Gianna kembali jatuh setelah menceritakan semuanya pada Dylan.
"Walau anak berengsek itu juga menderita karena buta untuk seumur hidupnya, tapi itu tidak akan bisa mengganti nyawa Daniel. Seharusnya, aku membunuhnya saat tidak sadarkan diri. Jadi, Daniel tidak perlu menahan rasa bersalah sendirian." Gianna mengepalkan tangannya karena kemarahannya rasanya bisa meledak saat ini.
Saat kemarahan mulai menguasai dirinya, Gianna mendapat pelukan hangat dari Dylan, juga usapan lembut di punggungnya. Kemarahan Gianna seketika sirna dalam pelukan Dylan. "Kau sudah melakukan yang terbaik. Kau kuat, Gianna. Kau lebih kuat dari siapa pun yang pernah kukenal. Kau luar biasa karena telah berhasil bertahan sampai detik ini. Mulai sekarang, kau bisa menceritakan masalahmu padaku. Kau tidak perlu menahannya sendirian. Kau memilikiku sekarang." Semua ucapan Dylan membuat Gianna merasa begitu nyaman. Namun, benarkah jika Dylan adalah milik Gianna?