Prologue

1244 Kata
Andrea duduk disebuah bangku panjang disebuah taman kecil, pakaian serba putih menutupi sekujur tubuhnya yang kaku. Rambut indah yang dulu bergelombang kini kusut dan lepek, serta wajah yang semula merona walau tanpa polesan makeup kini putih memucat. Linglung... Pandangan tertuju hanya pada satu titik, tembok. Kosong yang dirasakan, hati bahkan otaknya tak mampu lagi bekerja dengan baik. Tubuh serasa dingin, lidahnya tidak dapat merasakan sesuatu, hambar lebih tepatnya. Saat beberapa perawat menyuapinya makanan dengan hati-hati, ia hanya mengunyah tanpa mengerti rasa yang terkandung dalam makanan tersebut. "boleh aku pulang?" bibir kering itu terdengar menggumam, tanpa melepaskan pandangannya semula. Wanita disampingnya hanya tersenyum, mencoba memberikan pengertian pada Andrea jika waktunya sudah tiba ia dapat meninggalkan tempat ini. Andrea mengangguk lemah, warna putih yang mendominasi tempat ini membuat kepalanya sedikit nyeri. Belum lagi paparan sinar matahari makin membuat warna itu mengkilap saat langit cerah seperti saat ini. Ia menyipitkan mata saat orang-orang berpakaian putih itu menyilaukan pandangannya. Dari kejauhan Arthur mengembuskan nafas, ia berjalan keluar dari rumah sakit itu. Tak mampu menahan sesak didada ketika melihat kondisi putrinya, ia mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Pihak rumah sakit menutup rapat-rapat kasus Andrea, dan Arthur meng-iyakan demi kesembuhan putrinya tersebut. Arthur buru-buru melajukan mobilnya kekediaman sahabatnya, Ethan Keys... Seorang pria bersurai gelap menulusuri setiap sisi ranjang, mencoba mengingat segala kegiatan percintaannya dengan seorang gadis. Ia membenamkan wajahnya dibalik sebuah bantal, yang dulu sering digunakan gadisnya untuk diremas ataupun sekedar menggigitnya kala mencapai klimaks. Nyeri dihati ketika hanya aroma tubuh dan bayangan gadis itu yang tersisa disini, tidak ada gemercik tawa atau tangis yang selalu ditujukan padanya. Ciiittt! Bunyi ban berdecit dipelataran sebuah perumahan elit kota New York, Arthur memasuki rumah mewah itu dengan langkah besar tanpa memperdulikan sapaan para maid yang mengelilinginya. Mata tajamnya menelisir seluruh ruangan hingga tertuju pada suatu kamar, ia menaiki tangga dan mendobrak sebuah pintu walaupun tidak terkunci namun tak ada niatan baginya untuk sekedar mengetuk pintu atau menggunakan gagang pintu tersebut. Pria itu hanya duduk, diujung ranjang dengan tertunduk lesu. Dengan kemeja kusut dan jas yang ia buang sembarang, menandakan bahwa ia telah pulang bekerja. Bugh!!! Satu bogem mentah melayang diwajah tampannya, berhasil membuat tubuhnya tersungkur kelantai. Ia tak berniat menatap pemilik jemari yang baru saja membuat wajahnya lebam, dia sudah tahu. Dan memang sudah semestinya ia mendapat perlakuan seperti ini, ia mengerti dengan resikonya dan ia tidak perduli jika sahabatnya itu akan membunuhnya sekalipun. Ia sadar semua ini adalah kesalahannya... "kau membuat murka seorang ayah, Ethan!" d**a Arthur bergemuruh, wajahnya memerah menahan amarah namun ia tidak sanggup menuangkan segala kemarahannya kepada Ethan, bagaimanapun pria itu adalah sahabatnya. Ethan mendongak menatap Arthur, dengan wajah penuh kesedihan dan putus asa ia mencoba bangkit. Tanpa memperdulikan beberapa tetes darah dari sudut bibirnya itu akibat perbuatan Arthur. "Tolong aku Arthur!" ucapnya parau, Arthur mendengus. "kau lihat bagaimana keadaan Andrea? Ia sakit Ethan! DIA KEHILANGAN INGATANNYA!!!" bentak Arthur diwajah ethan. Ethan menggeleng lemah, meminta maafpun sudah tak guna. Yang dapat dia lakukan hanya mencoba membuat gadis itu kembali pulih. "bantu aku Arthur!" pinta Ethan, seketika Arthur membuang muka dengan nafas gusar. "demi Andrea..." bujuk Ethan pelan, Arthur kembali menatap Ethan menimbang permintaan Ethan. "buatlah seakan-akan pernikahan ini benar-benar terjadi..." tanpa menunggu persetujuan Arthur, Ethan mengeluarkan kalimat yang membuat darahnya makin berdesir. Pria dengan setelan jas rapi dan sepatu yang mengkilap diruangan paling atas gedung mewah pusat perkantoran. Tubuh tinggi tegap kokoh dan urat-urat yang tercetak jelas dikulit yang terlihat kecoklatan. Serta rahang kokoh ditumbuhi jambang halus yang dicukur rapi. Ia hanya memutar-mutar gelas mug berisi cappuchino yang diantarkan oleh sekertarisnya barusan. Bibir seksi itu bergumam setelah mendapatkan sebuah ide untuk kelanjutan usahanya dibidang bisnis. "London?" ia mengernyit, ia harus mengatur kembali jadwal karena keharusan kepergiannya kekota itu selama beberapa minggu kedepan. Ia merapihkan jas dan menekan tombol intercom memanggil seseorang. "yes Mr.keys?" Adriane, sekertaris baru itu kini berdiri dihadapannya. Balutan seragam kerja super ketat membungkus tubuh indah wanita berumur 25 tahun tersebut. Ethan menggigit bolpoint seraya menyipit mata melihat sekujur tubuh Adriane, Ethan yakin dibalik blazer tersebut terdapat benda super kenyal yang siap ia remas kapan saja. Well, bukan Ethan keys namanya jika mata hitam pekat itu selalu tidak tahan melihat kemolekan wanita manapun. Diperhatikan begitu membuat sang sekertaris menjadi tidak nyaman, terlihat dari gerak gerik tubuhnya seolah gusar. Dan Ethan menyukai wanita yang seperti ini, mudah didapat tanpa harus mengeluarkan kata-kata manis atau setidaknya mengajaknya berkeliling untuk berbelanja. Ethan menarik sudut bibirnya, seringai nakal timbul setelah otaknya mendapat sebuah ide. Adriane bersemu, setelah Ethan melebarkan kedua kakinya mengisyaratkan agar wanita yang sering ia panggil Hot Slut itu duduk dipangkuannya. Ethan memundurkan sedikit kursinya, memberi celah pada b****g besar itu ketika Adriane dengan perlahan mendudukinya dengan manja. Diumurnya yang tidak lagi muda, Ethan tetap pemain yang ulung. 43 tahun namun pesona yang selalu ditampilkannya membuat semua wanita melirik dan mencoba merayu hanya untuk mencicipi tubuh berotot nan keras tersebut. "tidak apa kau kutinggal selama beberapa minggu My Slut?" Ethan mengelus dagu hingga leher jenjang yang tanpa cela sedikitpun, ruangan yang didominasi kaca tersebut terang dengan paparan sinar matahari, makin membuat kulit itu terlihat seksi, membuat siempunya bergetar hanya dengan sentuhan jemari besar tersebut. Jemari telunjuk Ethan beralih kebibir wanita itu, seperti sudah terbiasa menjadi Submissive Ethan, Adriane meraup jemari ethan. Ethan meringis ketika salah satu jarinya terkena hisapan super yang selalu membuatnya menggila. "datanglah keapartemenku malam ini, i'll f**k you in the ass" bisik Ethan secara erotis ditelinga Adriane yang basah karena jilatan pria itu. "yes sir..." Adriane mengangguk lemah, tanpa Ethan menyentuh tubuhnya, Adriane merasakan o*****e ketika Ethan menarik keluar satu jemari dari dalam mulutnya. "kosongkan jadwalku dan kau boleh pulang, adriane" wanita itu berdiri dari pangkuan Ethan, tersenyum manis sebelum akhirnya menuju pintu keluar. Wajah Ethan mengeras, melihat b****g padat yang serasa pas digenggamannya itu. "i will destroy that ass tonight, f**k!" Ethan menggeram menahan gairahnya, mencoba untuk mengendalikan dirinya disaat-saat seperti ini. Ia adalah pebisnis sukses, kegigihan dan disiplin membuatnya hingga dipuncak kesuksesan, sangat tidak profesional jika ia menyambar tubuh sekertarisnya itu dimeja kerjanya saat ini tanpa menimbulkan suara jeritan Adriane dan membuat gaduh seisi kantor, bukan gaya Ethan. Wanitalah yang akan datang kepadanya, bukan karena ia yang meminta pada wanita untuk telanjang dihadapannya. Apalagi, Adriane hanya salah satu mainannya. Bukan wanita yang dicintainya, seperti seseorang.... *** Washington "London? Dad, kau yakin?" Andrea mengerucutkan kening setelah membaca selembar kertas yang diberikan oleh Arthur. Ia memijit pelipis pertanda sakit dikepalanya. Arthur begitu mengerti keadaan putrinya, gadis itu butuh lebih banyak belajar. Lagipula, ia masih terlalu muda untuk mengendalikan perusahaan raksasa milik Arthur. "kau ingin menyingkirkanku?" kini bibir Andrea yang mengerucut, sementara Ethan tersenyum manis. "percayalah! Kau butuh sedikit belajar dan liburan. Lagipula, London memiliki universitas yang sangat bagus" jelas Arthur, Andrea yang masih mengenakan setelan kantornya hanya bisa mendesah lemah. Ia berdiri dari duduknya dan menghampiri Arthur. Andrea mendudukan dirinya dipangkuan Ayahnya, memeluk tubuh dan bersandar didada Arthur. "promise me you'll never getting married with another woman and leave me!" Arthur menyunggingkan senyum, ia kemudian mendekap tubuh Andrea dengan mengelus bahunya. "sepertinya Daddy yang harus khawatir dengan itu" keduanya tertawa pelan, Arthur mengecup kening Andrea sesaat. Perasaan seorang Ayah tidak dapat dibohongi, dan Arthur sangat mengerti jika Andrea saat ini tidak bahagia walau gadis itu dapat menyembunyikannya demi menjaga perasaan Arthur. Sesuatu dalam hatinya yang terasa kosong, meski gadis itu terus mengelak ketika Arthur bertanya pasal cinta. Andrea selalu canggung, begitu Arthur bertanya persoalan teman pria yang tidak pernah dimiliki oleh gadis itu semenjak berpisah dari seseorang...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN