Minyak Kayu Putih

1080 Kata
Sesampainya di rumah yang ada di Pulau Alamandra, Radolf sekarang sudah berpindah ke tangan Danur, karena tadi dia rewel minta tidur, sementara Rahmat dan Gazi mulai menurunkan dan menata barang-barang yang dibawa dari kota. Radolf yang sejak tadi masih tidur tiba-tiba terbangun dan menangis kencang sekali dan Danur yang mendengar hal tersebut segera mengangkat Radolf dari pembaringannya dan berusaha untuk mendiamkannya. “Di sini gerah banget, Mas. Pendingin ruangannya dihidupkan dulu.” Rahmat yang mendengar hal tersebut menepuk jidatnya, “Maaf. Aku lupa.” Danur hanya tersenyum, “Seandainya anak kita normal seperti anak-anak kecil kebanyakan, pasti kamu gak akan kerepotan begini, ya, Mas. Sudah anak rewel, istri juga rewel.” Setelah menghidupkan pendingin ruangan, Rahmat dengan langkah pelan mendekati Danur, “Kamu masih aja, sih, sayang, ngomong begitu. Kita gak akan pernah tau apa yang sudah Tuhan siapkan untuk kita dan keluarga kecil ini. Jangan sampai, kita seperti menyalahkan Tuhan atas keadaan yang terjadi, aku percaya, semua ini akan ada kebaikan di baliknya.” Danur tidak menjawab, dia hanya mengangguk pelan sambil terisak, dan berusaha membuat Radolf berhenti menangis. Setelah dirasa suhu tubuh Radolf normal, Danur kembali membereskan semua alat-alat yang harus ditata. Tapi entah kenapa, sejak tadi, dia merasa ada yang tidak beres dengan perutnya, dia merasa mual, mau muntah tapi gak bisa dikeluarkan. Beberapa kali dia ke kamar mandi hanya untuk muntah tapi berakhir dengan Danur yang hanya mampu ber huek-huek ria. Rahmat yang rupanya memperhatikan kejadian ini bertanya ke Danur mencoba untuk memastikan bahwa kondisinya baik-baik saja, “Kamu kenapa, Sayang? Daritadi aku lihat sudah beberapa kali ke kamar mandi, ada mungkin tiga atau empat kali aku hitung dalam rentang waktu yang berdekatan. Ada yang salah dengan perutmu? Kamu mules?” Danur menggeleng, “Bukan mules. Dari waktu kita sampai di sini tadi sampai sekarang aku tuh merasa mual. Bolak-balik ke kamar mandi itu maksudnya buat ngeluarin kalo emang mau muntah, tapi gak ada. Hanya mual aja.” Rahmat menyunggingkan senyum, “Mungkin Radolf mau punya adek, Sayang.” Danur membelalakkan matanya, “Kamu tuh, ih. Jangan berdoa punya anak lagi dulu, deh. Ngurus Radolf aja aku masih keteteran begini.” Rahmat menghampiri Danur dan memeluknya, “Radolf udah tiga tahun usianya. Menurutku gak apa-apa kalo kita punya anak lagi. Udah, kamu jangan mikirin apa-apa. Diam di sini, gak usah ngangkat yang berat-berat. Aku ke toko obat sebentar, mau beli alat tes kehamilan.” Danur menggelengkan kepalanya dengan keras, “ENGGAK MUNGKIN! Aku gak mungkin hamil, kan, Mas?” dan luruh lagi air matanya, tangisan dan isakkannya terdengar oleh Gazi, “Loh, Danur kenapa nangis?” Rahmat menggelengkan kepala, memberi tanda ke Gazi jangan bertanya apa-apa dulu. Rahmat kembali harus menenangkan Danur. Lima belas menit kemudian, Danur memutuskan untuk istirahat menemani Radolf yang masih tidur terlelap. Rahmat keluar kamar dan mendapati sebagian barang-barang di rumah ini sudah di tata dan berada di tempatnya. “Tadi Danur cerita, dia mual-mual. Aku bilang, mungkin dia hamil. Karena memang belakangan ini, sifatnya berubah, suasana hatinya juga sering kali berubah-ubah. Kadang nangis, sebentar tersenyum senang, manja, tapi tiba-tiba bisa diam berjam-jam tanpa bicara.” Gazi mengangkat jempol kanannya, “Setuju. Aku juga merasa Danur belakangan ini sering uring-uringan gak jelas.” Rahmat bangkit dari duduknya, “Aku ke apotek sebentar, ya. Aku titip Danur sama Radolf, tolong jagain.” Tapi kemudian Gazi menawarkan diri untuk mengambil alih rencana Rahmat tersebut, “Biar aku saja yang ke toko obat. Kamu di sini aja, jagain Danur dan Radolf, mereka sedang tidak baik-baik saja. Aku khawatir Danur malah tambah uring-uringan kalo jauh dari kamu.” Rahmat akhirnya menyetujui penawaran dari Gazi tersebut. Jadi, sementara Gazi ke toko obat, Rahmat memasak makan malam untuk mereka, sementara Danur masih di kamar, mungkin dia memang sedang kurang sehat, sehingga butuh istirahat lebih. Jadi Rahmat tidak mau mengganggu istirahatnya. “Mas!” Danur yang berada di dalam kamar tiba-tiba berteriak. Rahmat yang belum selesai dengan urusan masaknya, dengan secepat kilat mematikan kompor dan dengan segera berlari ke kamar untuk menjumpai Danur, “Kenapa, Sayang? Ada apa?” Danur tidak berkata apa-apa, hanya saja dia langsung menunjuk ke arah Radolf, “Aku gak tau, kenapa Radolf tiba-tiba seperti itu? Padahal di sini sudah dingin udaranya. Debu-debu juga tadi sudah aku sapu.” Rahmat melihat kondisi Radolf yang kulit tangan, pipi, dan juga kedua telapak tangannya memerah, merah banget seperti tomat. “Apa mungkin dia ada alergi lain, ya?” Rahmat dengan hati-hati mengangkat Radolf dari ranjang dan menggendongnya. Rahmat mencium aroma minyak kayu putih yang lumayan santer dari tubuh Radolf. “Sayang, kamu ngolesin minyak kayu putih ke badan Radolf?” Danur menganggukkan kepalanya, “Tadi ada nyamuk yang gigitin tangan, kaki, sama pipinya. Jadi aku oleh saja, apa mungkin …” Danur tidak meneruskan ucapannya, dia memekik tertahan sambil menutup mulutnya. “Radold alergi minyak kayu putih juga? Tapi selama ini dia baik-baik saja.” Dan seperti biasa, jika ada sesuatu yang tidak nyaman di badannya, virus itu akan mengubahnya menjadi lebih ganas dari biasanya. Dan Danur yang mengambil alih Radolf dari gendongan Rahmat, lalu mereka berdua masuk ke ruangan kecil yang memang sudah disediakan di dalam kamar tersebut. Rahmat hanya bisa memandang dengan pedih dan hati tersayat, kedua orang yang dia cintai memikul keadaan berat ini berdua. Sekitar setengah jam kemudian, Gazi kembali dengan membawa alat tes kehamilan. “Tarok aja di situ. Danur lagi nemenin Radolf di dalam, Radolf kambuh. Ternyata dia alergi juga sama minyak kayu putih.” Gazi menatap ruangan kecil yang ada di kamar tersebut. Dua lelaki itu, duduk di pinggir ranjang, bersebelahan sambil berpelukan. “Semoga ada kebaikan pada setiap kejadian yang kita alami, ya.” Gazi mencoba untuk menghibur hati Rahmat yang terlihat sedang mengusap wajah dengan kedua tangannya. “Aku percaya itu. Hanya saja, meskipun sudah sering aku melihat kejadian ini, tapi hati ini tidak bisa dibohongi, kalo aku masih sedih, melihat mereka berdua, orang yang aku sayangi ada di sana.” setelah mereka berdua memastikan Danur dan Radolf aman, lalu keluar kamar. “Aku harus segera mencari formula yang cocok untuk Radolf. Walaupun mungkin tidak menyembuhkannya, tapi bisa mencegahnya ngamuk seperti tadi dan meminimalisir sesuatu yang lebih buruk terjadi.” Gazi mengangguk. “Kamu makan aja duluan. Aku mau ke depan, cari angina.” Lalu Rahmat berjalan ke luar, duduk di kursi yang ada di teras menghadap ke hamparan langit yang luas, lalu mendongakkan kepalanya, berbicara kepada Tuhan. “Tuhan, tidak bisakah aku saja yang menanggung semua ini?” tanpa terasa air matanya jatuh dan hatinya terasa remuk
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN