3. Bertengkar

612 Kata
["Mas, kamu di mana? Kenapa kamu ambil uang di dalam dompetku? dan sekarang rekeningku gak bisa dipakai untuk narik uang. Bik Noni mau gajian bulan ini, Mas."] ["Iya, Luisa, tadi aku pakai dulu uang di dompet kamu. Aku udah berusaha bangunin kamu, tapi kamu tetap pulas. Aku pakai dulu ya. Nanti segera aku bayarkan kalau hari ini dapat uang. Aku janji."] ["Kamu jangan bohong, Mas! Awas aja kalau bohong!"] Panggilan itu terputus begitu saja. Entah sinyal atau memang Edmun sengaja memutusnya. Luisa keluar dari bilik ATM dengan langka lunglai. Untunglah masih ada saldo di akun aplikasi go*ek sehingga ia masih bisa ke sana-kemari tanpa mengeluarkan uang. Tidak ada cara lain, ia harus pergi ke rumah papanya. Ia harus minta tolong pada papanya, paling tidak pinjam uang untuk membayar gaji Bik Noni dan tentu saja untuk uang pegangannya selama suaminya terlilit utang yang tidak jelas ia tahu untuk apa. Dengan naik ojek online, Luisa pergi ke rumah orang tuanya yang berada di kawasan elit ibu kota Jakarta. Pak Yadi adalah penjaga rumah sekaligus satpam rumah orang tuanya. Pria setengah baya itu merasa heran ketika melihat tuan putri kesayangan majikannya turun dari ojek. "Selamat siang, Non, tumben naik ojek. Gak diantar Mas Edmun?" tanya Tadi berbasa-basi. "Siang, papa ada gak?" tanya Luisa. Ia enggan menjawab pertanyaan Pak Tadi karena merasa tidak penting juga menjawab pertanyaan pria itu. "Ada, Non, belum berangkat. Langsung masuk saja." Pria itu mempersilakan Luisa masuk. Sudah lama pria bernama Yadi itu bekerja untuk keluarga Luisa. Bahkan sejak Luisa SMA. Tubuh pria itu yang tinggi besar dan juga kekar, serta jago karate, membuat papa dari Luisa terus memperkerjakan pria berusia empat puluh lima tahun itu. Pintu rumah ditutup keras oleh Luisa begitu ia sudah berada di dalamnya. Luisa adalah dua bersaudara. Kakaknya perempuan juga dan kini sudah menikah dan tinggal di Jepang. "Papa," panggil Luisa begitu ia membuka ruang kerja papanya. Nampak pria yang kepalanya hampir tertutup rambut putih semua sedang duduk di meja kerja, sedangkan ada Bik Lisa di sana tengah mengelap jendela. "Loh, tumben datang siang-siang!" sapa Pak Darmono; papa dari Luisa. Pengusaha ekspedisi. "Lisa, kamu keluar dulu, aku mau bicara sama papa," ujar Luisa pada pembantu papanya. Wanita berusia dua puluh lima tahun itu pun mengangguk paham. Lalu keluar dari ruangan kerja majikannya. "Ada apa?hem?" Pak Darmono duduk di sofa menghampiri Luisa. "Papa, Mas Edmun sepertinya sedang ada masalah ekonomi, Luisa mau pinjam uang Papa. Gak banyak, dua puluh lima juta saja. Yang lima juta untuk bayar gaji Bik Noni dan sisanya untuk uang pegangan Luisa." Pak Darmono tentu saja terheran dengan ucapan yang baru saja dilontarkan putrinya. "Tunggu, kamu mau pinjam uang juga dengan Papa?" Luisa menatap papanya dengan bingung. "Iya, memangnya kenapa, Pa? Biasa atuh kalau anak pinjam uang dengan orang tuanya. Gak aneh lagi." Pak Darmono menghela napas. Ia menyandarkan punggungnya di sofa. "Luisa, kemarin Edmun baru dari sini. Ia memang cerita soal kesulitan ekonomi kalian dan Edmun meminjam uang pada Papa sebesar seratus lima puluh juta. Katanya untuk urusannya dan untuk uang belanja kamu. Sekarang kamu ke sini mau pinjam uang untuk belanja juga? Papa bingung, sebenarnya kalian ini kenapa? Sedang terlibat masalah apa sampai suami istri pinjam uang ke Papa." Sementara itu, Edmun sudah berada di sebuah apotek. Ia mendapatkan nama obat tidur yang diberikan oleh bosnya. Malam ini, ia harus segera menuntaskan utang bunga dengan mengirimkan foto naked Luisa. Ia yakin akan berhasil, karena ia tidak akan menggunakan satu kapsul saja, tetapi dua kapsul sekaligus agar saat eksekusi nanti, istrinya benar-benar pulas. Kring! Kring! "Halo, Bos." "Gimana, apa sudah dapat obatnya?" "Sudah, Bos." "Bagus, malam ini juga aku tunggu fotonya. Ingat, tanpa busana ataupun selimut. Semua harus terlihat jelas. Paham kamu, Edmun?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN