Kembali kuletakan ponselku di atas meja, menunggu reaksi Mas Hakam selanjutnya karena aku tidak membalas pesan juga mengangkat panggilan darinya.
Bukannya ingin menjadi istri durhaka, akan tetapi luka yang telah dia torehkan sudah terlalu dalam dan tidak dapat dimaafkan. Jika biasanya ketika aku dihina serta dicaci maki Mas Hakam hanya diam tanpa membela aku masih maklum, sebab dia juga ingin menjadi anak yang berbakti kepada Ibu. Tapi kesalahan suami kali ini terlampau fatal. Dia telah mengkhianati cinta suci yang selalu aku jaga, menikahi perempuan lain tanpa sepengetahuan dariku.
Jangan pernah ditanya masalah perasaanku terhadap dia. Sebab jujur, cinta dalam sanubari masih terlalu dalam dan sulit untuk dihilangkan. Namun aku akan berusaha mengikis perlahan rasa itu hingga habis tak tersisa.
Mengambil nafas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Rasanya begitu sakit mengingat pengkhianatan yang telah Mas Hakam lakukan.
Memangnya apa kurangnya aku? Selama lima tahun menikah, aku tidak pernah menuntut apa-apa darinya, hanya menuntut kasih sayang karena tidak memiliki siapa-siapa selain dia. Tapi semua yang aku lakukan dibalas dengan luka. Sakit, perih hingga meresap ke dalam pori-pori.
"Rini, Andarini!" Aku terhenyak ketika mendengar suara yang terdengar tidak asing di telinga berteriak memanggil namaku.
Segera kurapikan pakaian, menguncir rambut yang tergerai lalu berjalan menuju sumber suara sambil menyilang tangan di depan d**a. Aku kepengen tahu, apa yang hendak Ibu dan Ratih lakukan di butik milikku ini.
"Segera kemasi barang-barang kamu, Rini. Butik ini sekarang biar saya dan mantu kesayangan saya yang mengelola. Kamu dan Hakam 'kan sebentar lagi akan resmi bercerai, jadi butik ini sekarang menjadi milik Ratih, apalagi sebentar lagi Ratih akan melahirkan anak Hakam. Kamu sudah tidak berhak lagi atas butik ini!" ucap Ibu begitu jumawa.
Aku tersenyum kecut menanggapi kedua manusia tidak tahu malu tersebut. Salah Mas Hakam juga sih, karena dari dulu tidak pernah memberi tahu keluarganya, kalau semua yang dia miliki itu hanya barang pinjaman. Semuanya milikku. Peninggalan mendiang Ayah dan bukan termasuk harta gono-gini.
"Kenapa kamu masih diam saja? Ayo keluar dari sini!" sentak Ratih tidak kalah sombongnya.
"Kamu mau aku keluar dari tempat ini? Ayo, kita masuk ke ruanganku dulu," ajakku santai sembari berjalan mendahului mereka.
"Dev, tolong buatkan kopi untuk tamu-tamu Ibu!" Menghentikan langkah, menyuruh pegawaiku untuk membuatkan minuman sebagai ucapan selamat datang.
Dengan langkah cepat Ratih masuk melewatiku, duduk di kursi yang biasa aku tempati kemudian memutar-mutarnya layaknya seorang bocah kampung yang baru menemukan mainan.
Pun dengan Ibu yang langsung mengambil apa saja yang ada di dalam ruanganku, termasuk sampel baju yang akan dikirim ke riseller yang berada di luar kota.
Beberapa menit kemudian Devi masuk ke dalam ruanganku membawa tiga cangkir kopi. Segera kuambil salah satu cangkir berisi minuman berkafein tersebut, mempersilahkan mereka minum walaupun kedua orang di depanku terlihat ragu untuk menikmati kopi yang aku hidangkan.
"Tenang saja, Ratih, Ibu, aku tidak membubuhkan sianida di dalamnya seperti yang sedang viral sekarang. Tanganku terlalu bersih untuk memb-unuh kalian berdua. Aku tidak mau mengotorinya."
Perempuan ulet bulu itu mengepal tangan di samping tubuh mendengar ucapanku.
"Santai saja, Ratih. Tidak perlu pake emosi," celetukku seraya mengenyakkan b****g perlahan di sofa yang tersedia.
"Siapa yang menyuruh kamu untuk duduk!" hardik Ibu sambil menatap menghunus ke arahku.
"Memangnya ada larangan untuk duduk di kursi milikku sendiri?"
"Semua barang yang ada di sini sekarang sudah menjadi milikku, Rini!"
"Oh, ya? Sejak kapan?"
"Kamu itu tidak usah bertele-tele. Silahkan keluar dari ruangan ini, atau saya akan menyuruh satpam menyeret kamu serta mengusir kamu dengan cara tidak terhormat?!" ancam Ibu.
"Uuuh...aku takut sekali!" Memasang ekspresi wajah ketakutan.
"Sepertinya kalian lah yang akan diusir dengan cara tidak terhormat dari sini!" Aku berjalan menuju meja kerja, membuka laci mengeluarkan berkas-berkas yang aku simpan di sana dan menunjukkannya kepada Ibu serta gundik suamiku.
"Sekarang kalian baca dengan teliti. Itu pun kalau kalian bisa baca. Lihat!" Menunjukkan foto copy-an sertifikat ruko yang aku tempati kepada mereka.
"Lihat, dalam sertifikat ini tertulis jelas bahwa butik serta ruko yang sedang aku tempati masih atas nama Iskandar. Dan Iskandar itu nama ayah aku. Jadi, ruko serta butik ini milik ayah aku. Bukan milik Mas Hakam. Pun dengan rumah yang kalian tempati itu milik ayahku juga. Aku mengizinkan Ibu menempati rumah itu, karena kasihan melihat Ibu mertuaku hidup di rumah kontrakan sempit, sementara anak menantunya tinggal di rumah yang bagus.
Tapi karena Ibu tidak juga mau menerima aku sebagai menantu dan malah menyuruh Mas Hakam mencari perempuan lain untuk mendampingi hidupnya, maka dalam waktu dekat ini aku akan menjual rumah yang Ibu tempati. Silahkan Ibu cari tempat tinggal yang baru, karena antara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa!"
Mata Ibu melebar sempurna mendengar penjelasan dariku.
Ya, selama ini memang Mas Hakam selalu melarang aku untuk memberi tahu Ibu, kalau rumah yang Ibu dan adik-adiknya tempati adalah milik mendiang Ayah. Dia hanya ingin Ibu merasa bangga kepadanya, karena sudah banting tulang mencari nafkah untuk membiayai kuliah Mas Hakam dan ternyata hingga saat ini anak laki-laki yang selalu dia banggakan belum memiliki apa-apa. Kerja saja masih di perusahaan ecek-ecek yang gajinya hanya cukup untuk makan dia sendiri saja.
Mungkin banyak yang menganggap aku bodoh karena mau menerima laki-laki kere seperti Mas Hakam. Tapi saat itu aku menganggap dia lelaki terbaik, karena selalu berusaha melindungiku, menyayangi diri ini dengan sepenuh hati hingga akhirnya aku merasa begitu nyaman serta terbuai dan memutuskan untuk menikah dengan pria berpenghasilan pas-pasan itu.
"Tidak mungkin, kamu pasti sudah memalsukan semuanya, Rini. Dasar perempuan laknat. Licik kamu!" berang Ibu hendak menghampiri serta menyerangku, akan tetapi karena lantai di ruang kerjaku terlalu licin dan dia belum begitu pandai mengenakan hak tinggi, membuat wanita dengan dandanan cetar membahana itu akhirnya tergelincir dan kepalanya terbentur meja.
"Makanya jangan dzolim sama orang yang sudah memberi makan serta tumpangan kepada Ibu!" ucapku seraya menyesap kopi latte kesukaanku.
Ibu berusaha bangkit dan kembali berjalan menghampiriku, mengambil foto copy-an sertifikat yang aku pegang lalu merobek-robeknya.
"Jangan berani macam-macam sama keluarga saya, Rini. Atau kamu akan menyesal nantinya!"
Duh! Lagi-lagi dia mengancam.
"Silahkan Ibu tanyakan sendiri kepada anak Ibu, jika Ibu tidak percaya dengan semua ucapanku. Ibu tanyakan juga mengenai sertifikat rumah yang sedang Ibu tinggali kepada putra Ibu!"
Lawan bicaraku semakin terlihat kalap. Seru juga ternyata membuat parasit yang haus harta itu kebakaran jenggot setelah mengetahui kebenarannya.
"Kamu sini duduk di samping aku, Ratih. Biar aku kasih lihat berapa gaji suami kita. Masih suami kita ya, soalnya aku sama Maa Hakam belum resmi bercerai!" Aku berujar sambil menepuk-nepuk kursi kosong di sebelahku, menyuruh ulet keket itu duduk dan memperlihatkan slip gaji Mas Hakam.
"Coba kamu perhatikan ya, Sayang. Cah ayu. Gaji Mas Hakam satu bulan itu sebesar lima juta rupiah, dan dia mempunyai cicilan mobil yang kalian pakai buat jalan-jalan kemarin sebesar empat juta delapan ratus, dan setiap hari dia butuh uang untuk membeli bahan bakar juga makan, silahkan kamu atur sisa uang yang dua ratus ribu itu untuk makan, ongkos Mas Hakam selama satu bulan juga untuk makan kamu serta Ibu mertua kamu itu!" Menyerahkan slip gaji suami kepada gundiknya lalu segera beranjak pergi meninggalkan dia yang sedang membolak-balik kertas tersebut dengan wajah kecewa.
"Itu istri barunya bapak ya, Bu Andar?" tanya Devi terdengar hati-hati.
"Iya!" jawabku santai lalu duduk di meja kasir menemani Devi yang sedang sibuk mengotak-atik komputer.
Tidak lama kemudian Ratih keluar sambil bersungut-sungut. Ibu mengejar menantu kesayangannya sambil berjalan terseok-seok, terlihat sekali kesusahan menyeimbangkan tubuh serta langkah karena tidak terbiasa mengenakan sandal hak tinggi.
Lagian, biasa di kampung menggunakan sendal jepit, pake lagu-laguan menggunakan high heels. Jadi susah 'kan, jalannya.
"Aku nggak mau ya, Bu, hidup miskin. Kalau ternyata Mas Hakam benar-benar tidak punya apa-apa, aku akan meminta dia menceraikan aku. Enak saja diajak hidup susah. Aku juga akan membawa calon cucu Ibu pergi jauh!" rajuk Ratih seraya meninggalkan Ibu yang terlihat kesusahan berjalan.
Mamam tuh menantu kebanggaan serta kesayangan.