Hampir semua tamu undangan menatap ke arahku ketika diri ini melewati mereka sambil membawa baju Mas Hakam. Ada yang menatap iba, ada juga yang menatap mencemooh seolah akulah yang salah dalam hal ini. Bahkan ada seorang ibu yang mengatakan kalau aku ini perempuan tidak berperasaan, karena berani mempermalukan suami di depan banyak orang.
“Laki-laki punya istri lebih dari satu itu wajar kali, Mbak. ‘Kan agama kita juga tidak melarangnya, yang penting dia masih adil!” celetuk ibu tersebut ketika aku melintas di depan dia.
Aku menoleh dan melempar senyum kepada wanita itu, kemudian tersenyum kepada laki-laki yang berada di sebelahnya yang sepertinya dia adalah suami ibu tersebut.
“Selamat, Bapak dapat lampu hijau dari istri Bapak untuk menikah lagi! Saya punya teman masih singgel dan siap menjadi istri kedua Bapak jika berkenan!” ucapku enteng sambil berusaha menahan emosi yang masih meninggi serta sulit terkendali.
Aku lihat wajah si Ibu sudah memerah padam seperti kepiting rebus.
Lagian, jadi perempuan bukannya mendukung sesama kaumnya yang sedang ditindas, malah berusaha membela suamiku serta gundiknya itu. Apa dia tidak takut jika kata-kata yang dia ucapkan berbalik kepada dirinya sendiri?
Setelah keluar dari gedung tersebut, gegas kubuang pakaian milik Mas Hakam, sebab merasa jijik karena pakaian itulah yang menjadi saksi robohnya benteng rumah tangga yang sudah kubina selama lima tahun lamanya, menerima segala kekurangan suami dari segi moril maupun materil. Aku juga selalu menutupi aib Mas Hakam, memuji-muji dia di depan semua orang seolah dia adalah suami terbaik di muka bumi ini.
“Sabar ya, Rin. Maaf kalau aku sudah membuat kamu jadi seperti ini. Tadinya aku berniat diam dan tidak memberi tahu tentang masalah ini sama kamu. Tapi, jujur aku tidak tega juga melihat kamu dikhianati seperti ini. Kamu itu sahabat terbaik aku yang selalu ada saat aku susah juga senang, jadi aku nggak mau sampai ada orang yang menyakiti perasaan kamu,” kata Irma sambil mengusap pelan bahuku.
Aku mencoba menarik kedua ujung bibir walaupun terasa kaku. Kutahan air mata ini supaya tidak tumpah, karena sampah tidak layak untuk ditangisi.
Aku harus tegar. Bisa berdiri sendiri tanpa Mas Hakam di sisi, juga berniat menggugat cerai dia secepatnya. Biar dia merasakan seperti apa hidup tanpa diriku yang selalu mencukupi kebutuhannya juga keluarganya yang tidak tahu diri itu. Biar mereka tahu kalau Hakam Zulfikar yang selalu mereka banggakan karena keberhasilannya juga kekayaannya tahu, kalau sebenarnya dia hanya seorang laki-laki yang tidak memiliki apa-apa jika tanpa Andarini sang istri.
“Rin, Rini, Sayang. Mas mau bicara sama kamu!” Aku menoleh ke arah sumber suara, dan ternyata Mas Hakam mengejarku hingga ke parkiran.
“Oke, sekarang Mas masuk ke dalam mobil!” titahku dan tidak ia bantah.
Aku sengaja ingin membawa dia pergi, supaya perempuan ulet bulu itu hanya duduk sendiri di pelaminan, karena mempelai laki-lakinya lebih memilih pergi dengan istri sahnya.
“Mas, kamu mau ke mana? Acara resepsi kita belum selesai loh! Kenapa kamu malah pergi dengan perempuan sin-ting ini!” teriak Ratih dan tidak dipedulikan oleh Mas Hakam. Pria dengan garis wajah tegas itu tidak menoleh apalagi menggubris ocehannya yang terdengar memekakkan telinga.
Pelan-pelan kulajukan mobilku keluar dari area parkir, membawa Mas Hakam pergi ke rumah mertua dan menurunkannya tepat di depan pintu pagar rumah mewah yang dibeli menggunakan uangku juga.
“Rin, Sayang. Maafkan Mas. Mas tidak bermaksud menyakiti perasaan kamu juga mengkhianati kamu. Mas menikahi dia karena terpaksa. Mas ingin memiliki keturunan dan ternyata kamu tidak bisa mengabulkan permintaan Mas serta Ibu yang satu itu. Jadi, Mas menurut saja ketika Ibu mendesak Mas untuk menikah dengan Ratih, karena saat ini dia sedang mengandung anaknya Mas.” Pelan Mas Hakam berujar, tanpa berani menatap wajahku.
“Apa kamu tidak bisa baca, Mas? Kamu itu mandul. Gabuk. Jadi nggak akan mungkin membuat wanita yang kamu gauli itu hamil, termasuk gundik kamu itu!” sungutku kesal karena Mas Hakam belum sadar juga kalau dia sudah dibodohi oleh si Ratih.
“Aku tahu, Rin. Itu semua pasti perbuatan kamu. Kamu sengaja memalsukan hasil pemeriksaan kita. Iya, ‘kan?” Dia mengangkat wajah menatap wajahku sekilas.
“Rin, Mas tidak pernah mempermasalahkan kalau kamu mandul, Sayang. Hanya saja, untuk saat ini biarkan Mas hidup dengan Ratih, setidaknya sampai dia melahirkan nanti dan kita yang akan mengasuh anak itu, Sayang.”
“Iiih, ogah aku mengurus anak yang nggak jelas asal-usulnya. Mendingan aku cerai sama kamu, nikah lagi dan punya anak dari laki-laki yang akan menikahi aku nanti.”
“Kamu seharusnya ikhlas dengan takdir kamu sebagai wanita tidak sempurna, Rini!”
Aku terperanjat mendengar kalimat yang keluar dari mulut Mas Hakam. Sepertinya otak suamiku ini perlu dicuci hingga bersih supaya bisa berpikir secara jernih. Bisa-bisanya dia masih tidak mempercayaiku kalau dialah sebenarnya yang mandul. Bukan aku.
“Silakan kamu periksa kembali ke dokter, Mas. Supaya kamu tahu memang benar kamu yang mandul dan aku tidak berbohong. Selama ini aku selalu mengajak kamu terapi tapi kamu selalu menolak dengan alasan subur, bahkan ketika aku menyerahkan hasil pemeriksaan kesuburan kita kamu juga menolak karena kamu pikir akulah yang tidak bisa memberi keturunan. Kamu terlalu merendahkan aku sehingga kamu lupa bahwa sebenarnya inti dari permasalahan ini adalah diri kamu sendiri. Silakan kamu nikmati hidup kamu dengan gundik kamu itu, Mas. Semoga kalian bahagia.” Kembali masuk ke dalam mobil, tidak memedulikan suami yang terus saja meminta supaya aku membawanya ikut serta pulang ke rumah.
Cahaya mentari pagi menerobos melalui celah-celah tirai yang sedikit terbuka. Pelan-pelan menyibak selimut tebal yang menutupi tubuh, merasa hampa kala pagi menyapa dan aku hanya seorang diri di dalam kamar sebagai seorang nestapa.
Ah, miris sekali hidupku ini. Mencintai laki-laki yang tidak setia, juga selalu mementingkan kebahagiaan dia serta Keluarganya sampai lupa membahayakan diri sendiri. Dan yang lebih menyakitkan, apa yang kuberikan tidak pernah dianggap oleh mereka, sebab keluarga besar Mas Hakam pikir kalau dia sudah menjadi orang sukses serta memiliki bisnis yang maju. Padahal Mas Hakam masih menjadi karyawan di salah satu perusahaan, dan gajinya juga tidak seberapa.
Kita lihat saja, Mas. Hidup kamu tidak akan pernah bahagia karena sudah berani bermain api denganku, dan aku pastikan kamu yang akan terbakar hingga hangus menjadi abu.
Sambil mengikat rambut turun dari tempat tidur, masuk ke dalam kamar mandi lekas membasuh tubuh yang terasa lengket. Aku harus segera pergi ke butik karena dengan bekerja aku bisa melupakan segala lara yang sedang bertakhta dalam d**a.
Selesai membasuh tubuh segera kukenakan pakaian, menyapukan sedikit bedak di wajah serta memoles bibir dengan lipstik berwarna merah muda agar tidak terlihat pucat. Mataku memicing ketika hendak mengambil cincin yang aku simpan di dalam kotak perhiasan, dan ternyata kotak tersebut dalam keadaan kosong. Semua isinya telah raib. Aku yakin ini semua pasti perbuatan Mas Hakam, karena hanya dia satu-satunya orang yang tahu di mana aku menyimpan seluruh perhiasan milikku.
Awas saja kamu, Mas!